Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M
(praktisi pendidik)
Ibu adalah malaikat tak bersayap. Kata-kata ini tentu sering kita dengar. Bagaimana ibu akan rela bertaruh nyawa demi anak-anaknya tercinta. Rela melakukan segala upaya untuk melindungi dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Sayangnya baru-baru ini terungkap kasus penjualan bayi ilegal yang ternyata lumayan tinggi di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat ada sekitar 213 praktik ilegal perdagangan bayi di tahun 2020 dan meningkat tajam menjadi 406 temuan di tahun 2021, 219 di tahun 2022 dan 206 di tahun 2023. Tentu saja jumlah ini belum seberapa karena mungkin masih ada kasus serupa yang lepas dari kontrol negara ( Tempo, 26 Feb 2024). Serupa yang disampaikan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menyebut bahwa kasus perdagangan bayi merupakan fenomena gunung es. Menurutnya, meskipun terdapat lima bayi yang diamankan dalam perdagangan gelap tersebut, masih banyak kasus serupa yang belum terungkap lantaran tidak tercium aparat berwenang, saat jumpa pers di Polres Metro Jakarta Barat, Jumat (REPUBLIKA.CO.ID24/2/2024).
Oleh karena itu, Kak Seto menekankan kerja sama masyarakat mulai dari level tetangga untuk peduli terhadap keberadaan dan hak anak di sekitar lingkungan tempat tinggal. Karena tugas perlindungan anak bukan hanya dibentuk dari atas (negara) tapi juga di kalangan masyarakat. Kak Seto juga mengusulkan agar Pemerintah DKI Jakarta membentuk unit khusus perlindungan anak di tingkat RT. Kak Seto menyebutnya dengan istilah Sparta (Seksi Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga) yang sudah terbentuk di beberapa kota atau kabupaten seperti Tangerang Selatan, Banyuwangi, dan Bengkulu Utara, dan kota lainnya sehingga kejadian serupa dapat dikurangi.
Dari temuan tersebut, polisi telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka perdagangan bayi berkisar antara sembilan hari sampai dengan tiga tahun. Mereka ialah wanita berinisial T (35) sebagai ibu kandung salah satu bayi, EM (30) sebagai pembeli bayi, dan AN (33) sebagai, suami siri EM. Ketiganya merupakan warga Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat (Jakbar). Akibat perbuatannya, mereka terancam hukuman 10 tahun penjara. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 76 F juncto Pasal 83 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 2 dan 5 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara. Hal itu disampaikan Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pol M Syahduddi saat jumpa pers di Jakarta, Jumat (24/2/2024).
Dalam aksinya, dua tersangka EM dan AN menyasar orang tua dengan kondisi sulit dengan iming-iming sejumlah uang. Untuk melancarkan aksinya EM masuk ke dalam grup media sosial adopsi ilegal untuk mencari orang yang ingin melahirkan tapi dalam kondisi ekonomi yang tidak baik. Di grup tersebut T kenal dengan EM dan akhirnya ada kesepakatan diantara mereka. Disepakati EM akan membayar sejumlah uang sebesar Rp 4.000.000 kepada saudara T yang baru dibayarkan sebesar Rp 1,5 juta dengan janji beberapa hari setelah bayi dibawa uang akan dikirim sisanya sebesar Rp 2,5 juta.
Asisten Deputi (Asdep) Perlindungan Khusus Anak dan Kekerasan Kementerian PPPA, Ciput Eka Purwanti dalam jumpa pers di Polres Metro Jakarta Barat, menyampaikan para ibu yang menjual anak atau bayinya umumnya berasal dari kelompok rentan secara ekonomi atau dengan kata lain miskin.
Kemiskinan adalah suatu hal yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Kelaparan kian hari semakin bertambah. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit, ternyata tidak sulit dijumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan jalan. Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru terus bertambah. Terlebih lagi setelah adanya pandemi covid 19.
Disadari atau tidak, semua itu merupakan buah pahit kapitalisme. Sebab memang sistem kapitalislah yang diterapkan saat ini dan kemiskinan adalah masalah yang tak akan terselesaikan. Bahkan tak sekadar kemiskinan, kesenjangan pun makin lebar antara orang kaya dan miskin. Harus diakui, kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru semakin menciptakan jurang masalah yang semakin dalam.
Berbeda dengan Islam. Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki banyak aturan untuk mengatasi berbagai problem kehidupan, termasuk kemiskinan. Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem kemiskinan.
Pandangan Islam Tentang Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan. Allah Swt. berfirman: Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah [2]: 268). Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan sebuah ideologi yang shahih, sangat konsen terhadap masalah kemiskinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan.
Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta. Jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang sahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya.
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.
Mekanisme tersebut adalah: mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya, mewajibkan negara untuk membantu rakyat miskin. mewajibkan kaum muslim untuk membantu rakyat miskin.
Selain itu pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan.
Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah. Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasulullah saw Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya) (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda, Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.
Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi.
Masalah kemiskinan juga muncul akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun keterampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
Selain itu, hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan, sangat tegas dan tak bisa ditawar karena sistem sanksi yang lemah tentu akan menyebabkan kejahatan berulang. Al-Qur'an telah memberikan tuntunan bagaimana seharusnya hukuman diberikan tentu setelah melalui proses peradilan sesuai dengan standar Islam karena hukum dalam Islam menyeluruh untuk semua individu tanpa pandang bulu. Seperti yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw., seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri maka hukum potong tangan tetap berlaku atasnya. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam selalu tajam ke segala arah.
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalananku panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Jadi saatnya masyarakat memahami bagaimana sistem Islam akan mampu menjadi rahmatan lil alamin di seluruh penjuru alam.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar