Oleh. Rita Handayani
(Penulis dan Founder Media)
Katanya Indonesiaku sudah merdeka dari tangan penjajah belanda? hingga tak ada lagi upeti, yang menjerat urat nadi. Tapi fakta di depan mata, lain dalam bercerita sebab terasa leher rakyat tetap tercekik olehnya. Setelah coba kutelusuri ternyata usai upeti pupus, munculah
pajak yang kembali memalak rakyat.
Kemalangan Rakyat di Pergantian Tahun
Aturan baru yang diteken
pada pergantian tahun kian menjadikan rakyat semakin malang. Inilah kado
untukku dan segenap rakyat dari para penggawa negeriku.
Menurut dari kanal media Investor yang terbit pada tanggal
28 Desember 2022 lalu. Aturan resmi tentang tarif baru pajak penghasilan alias
bahasa kerennya PPh, berlaku pada 1 Januari 2023, teruntuk perorangan maupun karyawan, Ini tertuang dalam PP 55/2022
tentang pengaturan dalam Bidang PPh.
Kudapati penjelasan dari objek pajak ini adalah penghasilan
yang sifatnya progresif. Sederhananya sih
artinya, kalau aku memiliki penghasilan pajak yang semakin besar otomatis pajak
yang menjeratku pun jadi lebih besar.
Usut demi usut setidaknya terdapat 5 lapis pada tarif pajak
edisi baru ini, diantaranya penghasilan yang mencapai Rp60 juta harus
menyetorkan 5% PPhnya, penghasilan Rp60 Juta sampai Rp250 juta dipungut PPh
15%, sedangkan untuk penghasilan Rp250 juta hingga Rp500 juta kena pajak 25%,
sementara jika penghasilannya Rp500 juta sampai Rp5 miliar berlaku PPh 30%, dan
kalau memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar akan ditimpa pajak 35%.
Keresahanku Sebagaimana Keresahan Rakyat
Apalah daya klaimnya sih
aturan pajak ini untuk keberpihakan kepada masyarakat yang memiliki pendapatan
rendah. Namun, nyatanya rakyat kian resah, karena fakta yang ada karyawan
bergaji 5 juta juga dikenai PPh.
Apabila kebijakan baru tersebut digunakan untuk ketentuan
berhitung, maka aku sebagai karyawan yang bergaji 5 juta ini dalam perbulan
atau misal 60 juta dalam per tahun maka artinya aku harus dong menyetorkan setiap tahunnya Rp300.000 atau Rp25.000 dalam
setiap bulannya.
Akhirnya aku pun merespon seperti halnya para warga
kebanyakan itu memberi respon, bahwa selalu saja rakyat yang kembali jadi
sasaran empuk untuk dipalak. Sementara pejabat yang kaya raya malah dibiarkan,
juga pengusaha beromzet triliunan mudah sekali mendapat keringanan pajak.
Tampaknya memang pemerintah kian tidak memihak pada rakyat cilik
Sedangkan untuk ukuran hidup sederhana saja bagiku gaji 5
juta perbulan itu belum cukup bisa memenuhi kebutuhan hidup yang layak untuk
keluargaku. Karena memang semua harga semakin mahal tidak hanya harga pangan
pokok saja. Tetapi juga, tarif listrik, air, iuran BPJS, ditambah sejumlah
fasilitas umum baik itu kesehatan atau pendidikan semua tidak sebanding dengan
gaji yang kuterima dalam tiap bulannya.
Klaim Pajak 'Dari, Oleh, dan Untuk' Rakyat
Yah meskipun
bebanku terasa semakin berat sebagaimana rakyat kebanyakan. Namun pembuat
kebijakan pun telak mengaku regulasi yang baru ini tidak membebani rakyat.
Malah sebaliknya, mengklaim bahwa ini adalah bukti mereka berpihak pada rakyat
yang punya pendapatan rendah.
Karena setiap masyarakat yang memiliki penghasilan besar
akan dikenai pajak semakin tinggi.
Seolah untuk meredam emosiku dan emosi rakyat, para penggawa
itu memberi penegasan, bahwasanya tujuan dari PPh adalah untuk menambah
pemasukan negara. Jadi dalam aturan PPh, karyawan sepertiku yang bergaji 5 juta
dan kena pajak adalah untuk negara yang nantinya untuk rakyat juga.
Bahkan penguasa terus memberi imbauan supaya seluruh rakyat
taat untuk bayar pajak sehingga negara dapat menjalankan roda
kepemerintahannya. Jargon tentang pajak pun mengemuka sebagaimana jargon
ideologinya, demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Penjelasan dari menteri ekonomi, pajak yang aku bayarkan itu
dikumpulkan untuk pembiayaan berbagai sektor publik seperti elpiji 3 kg, BBM
pertalite, dan TDL, juga berbagai fasilitas umum seperti rumah sakit,
puskesmas, sekolah, jalan raya, kereta api, kapal selam, internet, serta gaji
para PNS seperti polisi, guru, dokter hingga gaji para prajurit semua berasal
dari pajak.
Walaupun para pembuat kebijakan itu ngotot alasan kenaikan pajak semata hanya untuk rakyat. Nyatanya
aku tak merasakan kebermanfaatan akses umum yang tegak dari pajak. Karena semua
fasilitas umum yang sudah dijelaskan itu, yang katanya disubsidi dan dibangun
dari pajak semua serba mahal.
Misalnya saja pertalite, air, atau listrik yang katanya
disubsidi harganya tetap saja melangit tinggi. Demikian juga dengan akses umum,
seperti sekolahan, rumah sakit, jalan tol, kereta api, semua biayanya sangat
mahal.
Aku pun harus membayar iuran perbulan biaya kesehatan untuk
bisa mengakses BPJS. Terlebih lagi dengan akses jalan tol selain tarifnya
mahal, keberadaannya juga tidak bisa kunikmati setiap hari. Bahkan hanya
sedikit rakyat yang menggunakan fasilitas itu
Kesalahan dalam Regulasi Pajak
Persoalan pelik yang menimpa rakyat akibat regulasi pejabat
dalam hal pajak. Setidaknya dalam pandanganku menjadikan pajak sebagai sumber
utama untuk pendapatan negara adalah hal yang keliru. Karena hal itu akan
menjadikan negara selalu mencari legitimasi untuk menambah suku pajak. Meski
pada dasarnya hal itu sangat membebani kehidupan masyarakat.
Mau tidak mau, aku harus menyadari memang itulah konsekuensi
dari sistem yang diadopsi saat ini. Pajak memang menjadi sumber utama
pendapatan bagi negara demokrasi.
Akhirnya aku memahami kekayaan alam milik rakyat yang
seharusnya dikelola oleh negara kemudian hasilnya untuk kebutuhan masyarakat.
Namun atas nama liberalisasi kepemilikan. Swasta mudah memiliki kekayaan alam
secara sah. Hasilnya sumber daya alam negeriku banyak dikuasai oleh swasta baik
asing maupun lokal.
Imbasnya segala jenis harga produk maupun jasa kian
meninggi. Hal itu pun berdampak pada kehidupan rakyat termasuk aku semakin
terimpit, dan kemiskinan pun semakin mengapit.
Akupun memahami, hal ini wajar terjadi jika negara
menjadikan pajak sebagai sumber penghasilannya. Negara terus menerus harus
mencari legitimasi demi menambah pendapatannya, berupa pungutan pajak yang
berasal dari rakyat. Hingga terkesan tidak peduli meski hal itu membebani
rakyatnya di tengah kesulitan hidup yang mengatup.
Bahasan Pajak dalam Islam
Inilah paradigma dari sistem buatan manusia, demokrasi
kapitalis. Berbeda dengan sistem yang berasal dari pencipta manusia, yakni syariat
Islam.
Dalam penatakelolaan keuangan sistem Islam tidak menjadikan
pajak (dharibah) sebagai sumber pendapatan utama untuk kas negara atau
baitulmal.
Dharibah dalam skema pemungutannya tidak seperti pajak pada
skema demokrasi. Dharibah tidak menjadi tumpuan untuk kas negara, juga tidak
dibebankan untuk seluruh warga negara. Tetapi hanya kaum muslimin kaya saja
yang akan dikenakan dharibah.
Dharibah ini sifatnya hanya sementara dengan syarat jika kas
negara kosong dan ketika dibutuhkan dana yang sangat mendesak saja. pemungutan
dharibah akan berakhir jika keperluan tersebut terselesaikan atau jika kas
negara sudah terisi lagi.
Sepanjang sejarah tegaknya daulah Islam, sangat jarang
terjadinya baitulmal yang kosong. Tentu karena sumber pendapatan negara sangat
melimpah. Diantaranya adalah; Kepemilikan umum SDA yang diharamkan untuk
dikuasai swasta sehingga hasilnya mengalir deras untuk baitulmal (kas negara),
selain itu ada kharaj, fai, ghanimah, jizyah, 'ushr, dan khumus, serta zakat.
Sebagai sumber tetap pemasukan negara.
Dari persoalan pajak ini aku jadi yakin apabila syariat
Islam diterapkan maka rakyat tidak akan lagi terbebani dengan pajak. Dalam Islam
rakyat akan menjadi tuan yang harus dipenuhi seluruh kebutuhannya oleh
pemerintah. Akupun jadi membayangkan kehidupan yang sejahtera untuk seluruh
rakyat.
Wallahualam bissawab. []
0 comments:
Posting Komentar