Oleh. Sendy Novita, S.Pd,M.M
(Penulis dan Pendidik Generasi)
Munculnya Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah yang diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 14 September 2023 menerangkan bahwa instansi pemerintah, badan hukum, lembaga sosial, maupun masyarakat perlu mengurus izin penggunaan air tanah dari sumur bor atau gali. Diperlukannya penyelenggaraan persetujuan penggunaan air tanah sebagai perangkat utama pengendalian dan pengambilan air tanah adalah untuk menjaga konservasi air tanah, hal itulah yang menjadi pertimbangan pada aturan tersebut. Isi aturan juga menyebutkan, penggunaan air tanah paling sedikit 100 meter kubik per bulan per kepala keluarga, atau penggunaan air secara berkelompok dengan ketentuan lebih dari 100 meter kubik per bulan per kelompok, perlu untuk mengajukan izin ke Kementerian ESDM (https://money.kompas.com/read/2023/10/27/083000926/aturan-baru-masyarakat-pakai-air-tanah-dari-sumur-wajib-izin-kementerian-esdm?page=all).
Plt Kepala Badan Geologi ESDM, Muhammad Wafid menjelaskan bahwa aturan ini tidak bertujuan untuk membatasi masyarakat melainkan untuk menjaga keberlanjutan sumber air bawah tanah sehingga aturan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap warga yang pemakaiannya tidak mencapai 100.000 liter per bulannya. Secara rinci, aturan ini berlaku jika air tanah dipergunakan untuk kebutuhan pokok sehari-hari serta pertanian di luar sistem irigasi yang sudah ada. Berlaku pula untuk penggunaan air yang digunakan dalam rangka kepentingan penelitian, kesehatan, pendidikan, taman kota, rumah ibadah, fasilitas umum, serta instansi pemerintahan juga yang digunakan secara berkelompok yang berasal dari pemerintah, swasta, atau perseorangan.
Aturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewajibkan warga meminta izin khusus dari pemerintah, jika ingin menggunakan air tanah. Tentu menjadi sorotan ketika kekeringan melanda sejumlah daerah di Indonesia. Diantaranya pengamat planologi dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, yang mempertanyakan bagaimana Kementerian ESDM melakukan pengawasan penggunaan air tanah sekaligus pemerintah, jika masyarakat ingin beralih dari air tanah ke PAM. Selain itu apakah pemerintah mampu menjamin kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air PAM?
Air adalah salah satu kebutuhan hidup yang paling penting, termasuk dalam sumber alam yang dapat diperbaharui. Karena secara terus menerus dipulihkan melalui siklus hidraulis yang berlangsung menurut kodrat. Namun, air adalah sumber alam yang lain dari yang lain dalam artian jumlah keseluruhan air yang bisa didapat di seluruh dunia adalah tetap. Persediaan totalnya tidak dapat ditingkatkan atau dikurangi melalui upaya upaya pengelolaan untuk merubahnya (Emil Salim, 1986: 193).
Pembangunan yang digalakkan pada umumnya lebih menekankan pada pembangunan sektor industri. Tanpa memikirkan jangka panjang. Sehingga menimbulkan ketegangan dan sengketa lingkungan.
Mengelola lingkungan, terutama menjaga kualitas dan ketersediaan air bagi kehidupan bukanlah persoalan mudah, untuk itu perlu penjagaan sehingga dibutuhkan kesiapan struktur dan infrastruktur yang memadai.
Penataan lingkungan harus jelas dan berada dalam pengelolaan yang harus peduli dengan kelestarian lingkungan hidup. Lebih penting lagi adalah memiliki sense of ecology. Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan harus melalui pengkajian apakah akan berakibat negatif terhadap lingkungannya atau positif.
Itulah pentingnya nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran agama untuk disebarluaskan. Agar semua merasa bahwa menjaga alam, lingkungan (terutama air) adalah bagian dari ajaran suci. Sehingga alam juga dapat memberikan kekayaan untuk kemakmuran manusia.
Islam adalah agama universal yang memuat berbagai persoalan kehidupan manusia. Apresiasinya terhadap air ternyata sungguh menakjubkan. Air merupakan sumber kehidupan yang terlarang untuk dimonopoli baik untuk kepentingan individu maupun kelompok, sebagaimana Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api,” dalam riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah dinyatakan “tiga hal yang menjadi milik public (tidak boleh diprivatisasi) adalah air, tempat berlindung dan api”.
Mudatsir mengutip pendapat Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menggolongkan air sebagai harta bersama seluruh manusia. Sehingga tidak boleh ada penguasaan sumber air secara individu. Dalam artian air yang berkaitan dengan sarana umum semisal mata air, sungai atau danau adalah menjadi milik umum, dan dilarang bagi siapapun untuk memilikinya secara pribadi. Tetapi air dalam jumlah kecil dan tak berkaitan dengan sarana umum, seperti sumur rumah tangga boleh dimiliki secara pribadi (Mudatsir dalam http:// www.beritacerbon.com)
Maka penguasaan air haruslah seperti penguasaan listrik, gas dan minyak, semua harus dikuasai negara secara nasional. Artinya air harus seperti listrik, dikuasai dan dikelola oleh Negara (bukan pemerintah daerah otonom) untuk selanjutnya didistribusikan oleh negara (melalui BUMN) ke seluruh daerah sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing daerah. Dalam relasi yang terjadi antar pemerintah (pengelola) dan rakyat (konsumen) bukanlah hubungan antara penjual dengan pembeli, tetapi harus dalam kerangka pemerintah sebagai pelayan umat.
Bukan itu saja, syara’ melarang negara mempersulit rakyatnya sebagaimana Rasulullah saw, mendoakan penguasa yang mempersulit umat dengan celaan. ”Ya Allah, siapa saja yang memegang urusan umatku dan menyulitkan mereka, maka balaslah dengan perlakuan yang sama. Siapa saja yang memegang urusan umatku dan bersikap lembut kepada mereka, maka balaslah dengan perlakuan yang sama. (HR Muslim dan Ahmad)
Ini mencakup siapa saja yang menangani urusan kaum muslimin, baik penguasa maupun pegawai negara. Kemudian menyulitkan atau membuat kemudharatan terhadap mereka. Baik dengan perkataan, perbuatan, membebani rakyat dengan beban berat, mengabaikan urusan rakyat, tidak memenuhi keperluan mereka, membuat aturan berbelit-belit yang mempersulit, menunda-nunda pelayanan, tidak menghalangi bahaya yang akan menimpa rakyat, atau menyerahkan kekayaan milik rakyat, kepada swasta apalagi asing. Semua itu akan menyulitkan dan memberatkan rakyat, bahkan menjerumuskan mereka ke dalam bahaya maka Allah akan balas dengan perlakuan yang sama di akhirat kelak.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar