SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Minggu, 12 November 2023

Oleh. Rita Handayani

(Penulis dan Founder Media)





Merdeka harusnya sejahtera, apa jadinya jika warga negara berebut lahan dan tanah dengan negara? 


Fakta yang terjadi di negeri demokrasi salah satunya adalah meski sudah terlepas dari penjajah dan merdeka, namun sengketa soal pertanahan masih marak ditemui. Persoalan sering kali berkaitan dengan aset negara baik itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga pemerintah daerah (Pemda) yang telah didiami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Bahkan tak jarang, konflik permasalahan tanah ini berlangsung selama puluhan tahun, dan terkatung-katung.


Seperti kasus yang terjadi di Wonorejo, Kabupaten Blora, permasalahan tanah ini dimulai ketika warga menempati tanah sejak di masa penjajahan Jepang. Kawasan itu sebelumnya adalah hutan petak yang kemudian dilepaskan juga telah diterbitkan Hak Pakai atas nama Pemkab Blora. Berbagai upaya telah dilakukan oleh negara, untuk menyelesaikan konflik ini, salah satunya upaya yang terakhir adalah dengan Reforma Agraria.


Hasilnya dari upaya reforma agraria ini diterbitkannya 1.043 sertifikat tanah dari Presiden RI kepada masyarakat Kabupaten Blora. Keterangan dari presiden RI, Jokowi. Sertifikat itu merupakan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora yang bisa digunakan oleh masyarakat selama 80 tahun. Dengan ketentuan yang berlaku 30 tahun kemudian dapat diperpanjang 20 tahun, serta bisa diperbarui 30 tahun (sinarpagibaru.id, 10/3/2023)


Apa itu Reforma Agraria?


Reforma agraria merupakan penataan ulang/penataan kembali terkait susunan kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Dengan tujuan untuk menolong rakyat kecil, mewujudkan keadilan serta meniadakan/setidaknya untuk mengurangi ketidakmerataan.


Dalam praktiknya, ada setidaknya tiga persoalan pokok dalam pelaksanaan reforma agraria. Diantaranya adalah pertama terjadinya ketimpangan dalam penguasaan tanah negara. Kedua munculnya konflik agraria yang dipicu oleh adanya tumpang tindih kebijakan distribusi lahan yang terjadi pada masa lalu. Ketiga terjadinya krisis sosial serta timbulnya ekologi di pedesaan.

Dari tiga persoalan pokok itulah, maka pemerintah merasa sangat perlu untuk dilakukannya reforma agraria. Program ini memiliki tujuan untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah.

Juga bertujuan dalam menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan serta pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria. Selanjutnya untuk mengurangi konflik atau sengketa pertanahan dan juga keagrariaan. Terakhir untuk memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, serta meningkatkan ketahanan pangan dan energi masyarakat.

Reforma Agraria ini salah satu Program Prioritas Nasional yang ditingkatkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK untuk upayanya dalam membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup.


Namun tak bisa dipungkiri, peluang lebarnya konflik agraria yang kompleks juga meluas rentan terjadi di negeri ini adalah akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme tidak ada kejelasan status kepemilikan lahan.


Maraknya para mafia tanah tidak tersentuh hukum, menjadikan semakin tajam ketimpangan penguasaan lahan. Siapa yang bermodal dan punya akses kepada kekuasaan bisa leluasa menguasai lahan. Untuk itulah butuh sistem pembanding, satu-satunya yang layak dikaji adalah sistem Islam. Bagaimana Islam mengatur pengelolaan hak tanah?


Pengelolaan Hak Tanah dalam Islam


Islam yang merupakan sistem kehidupan mempunyai aturan yang khas dalam setiap perkara, termasuk didalamnya terkait pengelolaan dan hak kepemilikan tanah. Tentu seharusnya negara dan juga aparat pemerintahan wajib berpihak pada syariat Islam. Juga tidak mengambil keuntungan dari segala proses dalam melayani rakyatnya. 


Negara yang menggunakan syariat Islam akan mencegah salah satu pihak untuk menzalimi pihak yang lain. Negara juga akan menindak tegas jika terjadi pelanggaran hukum misalnya berupa kekerasan. 


Sementara pada lahan yang tidak (mampu) digarap/dikelola atau tanah mati, maka negara akan menyerahkannya ke pihak lain. Tanah mati yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya atau tidak ada yang memanfaatkannya. Sementara yang dapat maksud dari menghidupkan tanah mati adalah dengan mengolah atau menanaminya atau juga mendirikan bangunan di atasnya. Jadi, menghidupkan tanah mati yaitu dengan memanfaatkannya apapun caranya yang bisa menjadikan tanah itu hidup.


Hal tersebut berlaku secara umum serta mencakup untuk semua bentuk tanah di Negara dalam sistem Islam atau tanah Negara Kufur, baik statusnya usyriyah (penguasaan tanah tanpa peperangan) atau kharajiyah (ditaklukkan dengan peperangan).


Akan tetapi, kepemilikan atas tanah itu terdapat syarat yaitu harus dikelola minimal tiga tahun sejak tanah dibuka dan terus-menerus dihidupkan baik dengan cara menggarapnya atau memanfaatkannya. Jika tanah belum pernah dimanfaatkan selama tiga tahun setelah tanah itu dibuka, misalnya dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut. Maka hak kepemilikan tanah atas orang tersebut telah hilang.


Sebagaimana yang telah dikatakan Khalifah Umar bin Khaththab, “Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”


Demikian juga Umar ra. menyatakan serta melaksanakan tindakan tersebut dengan kesaksian dan didengar oleh para sahabat. Mereka (para sahabat) tidak mengingkarinya. Sehingga ketetapan ini menjadi ijma sahabat.


Sementara kepemilikan tanah di dalam syariat Islam adalah hak yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Atas manusia dalam memanfaatkan tanah.


Cara Kepemilikan Hak Tanah


Ada 6 cara berdasarkan hukum Islam , Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah bisa dimiliki oleh individu muslim dengan 6. Yaitu jual beli, waris, hibah, iqtha’ (pemberian negara kepada rml

 ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hlm. 51).


Boleh bagi pemilik tanah untuk menanami tanah yang digarapnya dengan alat benih, hewan, serta para pekerjanya. Juga boleh mempekerjakan para pekerja untuk menanami Tanahnya. Apabila tidak mampu dalam pembiayaannya, maka akan dibantu oleh negara dengan dana Baitul Mal (kas negara).


Namun, apabila tanah tidak ditanami oleh pemiliknya, maka negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain untuk digarap. Jenis pemberian ini adalah cuma-cuma dari negara tidak ada kompensasi apa pun. (Ini berbeda dengan sertifikat tanah yang diberikan pemerintah kepada warga Blora yang harus ada biaya untuk perpanjangan masa berlaku sertifikat juga pemilik sertifikat tanah dikenai pajak)


Jika pemiliknya tidak menggarap tapi tetap menguasainya, akan diberi waktu selama tiga tahun. Setelah tiga tahun tersebut tanah tersebut tetap dibiarkan atau ditelantarkan, negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan memberikannya kepada yang lain.


Dalam sistem Islam, terdapat aturan soal kepemilikan, pengelolaan juga distribusi harta, termasuk di dalamnya aturan tentang lahan. Bahwasanya lahan ada milik individu, milik negara, dan milik umum. Namun pengaturan agraria tersebut hanya bisa terealisasi jika negara menerapkan Islam, bukan sistem yang lain.


Wallahualam bissawab.

0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts