Oleh: Rita Handayani
(Penulis)
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk merevisi regulasi yang kini mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) atau ekspatriat memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (KOMPAS.com, 17 Oktober 2025) merupakan titik balik krusial dalam tata kelola kekayaan negara. Kebijakan ini, yang disokong dalih untuk mencapai "standar bisnis internasional," harus disikapi dengan kritis. Dalam perspektif Islam Kaffah, langkah ini bukan sekadar urusan profesionalisme, tetapi adalah ancaman serius terhadap kedaulatan ekonomi umat.
BUMN: Harta Milik Umum yang Wajib Dilindungi
Dalam hukum Islam (Syariah), BUMN yang mengelola sumber daya vital (seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur strategis seperti maskapai Garuda Indonesia) dikategorikan sebagai Harta Milik Umum (Milkiyah ‘Ammah). Konsekuensinya:
- Pengelolaan adalah Amanah Negara: Harta milkiyah ‘ammah wajib dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk mencari laba maksimal (profit-oriented) seperti perusahaan swasta di bawah sistem kapitalisme.
- Kedaulatan di Tangan Umat: Kepemilikan dan kendali atas aset strategis ini harus berada di tangan umat Islam.
Ketika Presiden menyatakan bahwa regulasi telah diubah agar "ekspatriat, non-Indonesia bisa memimpin BUMN kita," ini secara substansi adalah penyerahan amanah kekuasaan (wilayah) atas aset umat kepada pihak asing.
Bahaya Pokok (Ancaman) Pimpinan Asing Menurut Syariah
Mengangkat WNA, yang notabene tidak terikat pada akidah dan hukum Islam, ke posisi puncak BUMN menimbulkan dua ancaman fundamental:
1. Ancaman terhadap Kedaulatan Politik dan Ekonomi
Keputusan strategis BUMN sangat memengaruhi kebijakan nasional. Apabila puncak kepemimpinan diisi oleh WNA, mereka berpotensi besar membawa kepentingan geopolitik dan ekonomi negara asalnya atau kepentingan korporasi global.
Dalam fiqih siyasah (politik Islam), jabatan kepemimpinan strategis dilarang diserahkan kepada non-Muslim, apalagi WNA. Mengapa? Karena pemimpin di posisi puncak adalah pembuat keputusan yang akan menentukan arah kebijakan, yang harus tunduk sepenuhnya pada kemaslahatan umat.
- Pelemahan Posisi Tawar: Ekspatriat yang ditunjuk mungkin menjadi jembatan bagi perusahaan atau kekuatan asing untuk mengamankan kontrak, sumber daya, dan pasar, yang pada akhirnya merugikan negara.
- Alih-Fungsi Aset: WNA yang berorientasi kapitalis akan cenderung memprioritaskan laba dan divestasi (penjualan aset) demi efisiensi, mengabaikan fungsi sosial BUMN sebagai penyedia layanan dasar dan stabilitas ekonomi nasional.
2. Penolakan terhadap Profesionalisme Lokal
Dalih untuk merekrut "talenta-talenta terbaik" menunjukkan kelemahan internal yang diselesaikan dengan cara yang keliru. Islam Kaffah tidak menolak profesionalisme; sebaliknya, Islam memerintahkan penggunaan ahli (kafa'ah) dan orang yang berintegritas (amanah).
Jika memang talenta lokal tidak memadai, solusi Islam adalah:
- Reformasi Pendidikan Total: Membangun sistem pendidikan yang mencetak ahli dan profesional Muslim dengan standar keilmuan tertinggi, yang juga terikat pada etika syariah.
- Pemanfaatan Tenaga Ahli (Konsultan): Tenaga ahli asing dapat digunakan sebagai konsultan atau tenaga alih teknologi dengan kontrak jelas. Namun, kekuasaan pengambilan keputusan dan kepemimpinan wajib dipegang oleh kaum Muslim yang berjuang untuk tegaknya syariat.
Kapitalisme Gagal: Kepemimpinan BUMN Harus Kembali ke Syariah
Kebijakan Direksi WNA adalah gejala dari sistem kapitalisme sekuler yang telah gagal. Kapitalisme mendefinisikan keberhasilan negara dari besaran laba (return) BUMN, bukan dari terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Oleh karena itu, BUMN dianggap setara dengan perusahaan swasta yang boleh dipimpin siapapun asal menguntungkan.
Islam memberikan solusi tuntas:
- Kepemimpinan Berbasis Iman dan Kompetensi: Pemimpin BUMN haruslah Muslim yang memiliki kompetensi teknis sekaligus integritas moral tinggi (kafa'ah dan amanah), sesuai tuntutan syariah.
- Pengelolaan Berbasis Kemaslahatan: BUMN dikelola untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa publik yang stabil dan terjangkau, serta menjadi sumber utama pendanaan negara (Baitul Mal), bukan sekadar lahan bisnis asing.
Umat Islam wajib menolak kebijakan yang secara ideologis melemahkan kedaulatan ekonomi bangsa. Hanya dengan kembali pada syariat Islam Kaffah, kedaulatan atas harta milik umum dapat dipertahankan, dan kepemimpinan BUMN dapat dijamin integritasnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan kepentingan asing.
0 comments:
Posting Komentar