Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M. (Praktisi Pendidik dan Pemerhati Masyarakat)
Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan dengan tren Rp10.000 di tangan istri yang tepat. Banyak ibu rumah tangga membuat konten yang menggambarkan bagaimana mereka berusaha mengatur uang sepuluh ribu rupiah untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang menjadikannya tantangan belanja cerdas, ada pula yang memaknainya sebagai satire halus terhadap kenyataan pahit: di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, uang sepuluh ribu kini tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Sebagian ibu benar-benar mencoba menunjukkan kreativitas dan kemampuan manajemen rumah tangga mereka. Namun, di balik itu, ada pesan getir yang terselip. Bagaimana mungkin rakyat harus bertahan hidup dengan nominal sekecil itu, sementara kebutuhan pokok terus melambung dan lapangan kerja semakin sempit? Apakah cukup hanya dengan istri yang tepat untuk menyelesaikan masalah struktural ekonomi yang carut-marut?
Fenomena ini sejatinya mencerminkan satire sosial atas kegagalan sistem ekonomi sekuler kapitalistik. Sistem yang selama ini diterapkan di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia—menjadikan uang dan materi sebagai pusat kehidupan—telah menciptakan ketimpangan luar biasa. Kekayaan menumpuk pada segelintir elite dan korporasi besar, sedangkan rakyat kecil semakin terhimpit oleh biaya hidup, pajak, dan harga kebutuhan yang tak terkendali.
Ekonomi Sekuler: Sistem yang Tak Pernah Berpihak pada Rakyat
Sistem ekonomi sekuler memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, kebijakan ekonomi disusun bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi kepentingan pasar dan investasi. Pemerintah lebih sibuk menarik modal asing, memberi karpet merah bagi investor, sementara petani, buruh, dan pedagang kecil dibiarkan berjuang sendiri dalam kerasnya persaingan.
Akibat dari paradigma sekuler ini bisa kita rasakan hari ini:
- Harga bahan pokok tak sebanding dengan pendapatan masyarakat.
- Angka pengangguran terus meningkat.
- Kesenjangan sosial makin lebar, dan
- Kemiskinan menjadi warisan antargenerasi.
Faktanya, sebagian besar sumber daya alam dikuasai swasta dan asing. Tambang emas, batu bara, minyak, bahkan air dikelola korporasi yang berorientasi pada laba. Rakyat hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Inilah bukti bahwa sistem ekonomi kapitalis telah gagal total dalam mewujudkan kesejahteraan. Ia hanya melahirkan kesenjangan, bukan keadilan.
Islam: Sistem Ekonomi yang Adil dan Manusiawi, sebagai aturan dari Sang Pencipta
Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam memiliki politik ekonomi yang khas dan manusiawi. Islam tidak menilai kesejahteraan dari besarnya PDB atau pertumbuhan ekonomi, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Negara dalam pandangan Islam wajib meriayah (mengurus) rakyatnya, memastikan setiap orang mendapatkan akses terhadap sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri mencontohkan bagaimana negara Islam pertama di Madinah mengatur ekonomi dengan prinsip keadilan dan keberkahan. Rasulullah ﷺ:
- Menetapkan kepemilikan publik dan negara. Sumber daya alam seperti air, padang rumput, dan api (energi) tidak boleh dimonopoli. Semua itu harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.
- Melarang riba dan penimbunan harta. Sistem bunga dan spekulasi yang menjadi tulang punggung ekonomi kapitalis justru menjadi sebab kesengsaraan umat. Dalam Islam, uang tidak boleh menjadi komoditas, melainkan alat tukar yang adil.
- Menegakkan zakat dan distribusi kekayaan. Zakat bukan sekadar amal, melainkan instrumen ekonomi yang mendistribusikan kekayaan dari orang mampu kepada yang membutuhkan.
- Menjamin pekerjaan bagi laki-laki dewasa. Negara Islam bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja dan memberi bantuan bagi yang belum mampu bekerja.
- Menyediakan kebutuhan dasar secara gratis. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara, bukan dikomersialisasi seperti saat ini.
Bukti Historis Kesejahteraan di Bawah Sistem Ekonomi Islam
Bukti nyata dari penerapan sistem ekonomi Islam dapat kita lihat pada masa Khilafah Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz. Pada masa Umar bin Khaththab, Baitul Mal (perbendaharaan negara) berfungsi optimal dalam mendistribusikan kekayaan. Beliau menolak memungut pajak dari rakyat yang sedang kesulitan dan memastikan setiap orang, termasuk non-Muslim, mendapatkan haknya.
Sementara itu, pada masa Umar bin Abdul Aziz, keadilan ekonomi mencapai puncaknya. Dikisahkan bahwa pada masa pemerintahannya, nyaris tidak ada lagi rakyat yang mau menerima zakat, karena semua sudah tercukupi kebutuhannya. Gaji pegawai dinaikkan, harga stabil, dan negara tidak berutang kepada siapa pun. Semua itu karena Islam diterapkan secara kaffah, bukan setengah hati.
Bandingkan dengan kondisi sekarang. Meski teknologi semakin maju dan sumber daya alam melimpah, kemiskinan tetap menjadi momok. Ini menunjukkan bahwa bukan karena kurangnya potensi, tetapi karena sistem yang salah. Selama kita masih berpegang pada sistem sekuler kapitalistik, penderitaan ekonomi akan terus berulang dalam berbagai bentuk.
Menuju Solusi Sistemik: Kembali kepada Islam Kaffah
Islam bukan sekadar sistem spiritual, tetapi juga sistem hidup yang menyeluruh (kaffah). Al-Qur’an telah memberikan pedoman yang sempurna tentang bagaimana mengatur harta, berdagang, hingga menyalurkan rezeki. Ketika Al-Qur’an dijadikan dasar kebijakan, maka akan lahir pemimpin yang amanah, rakyat yang jujur, dan ekonomi yang penuh keberkahan.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa Islam bukan hanya agama pribadi, tetapi sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia, termasuk kemiskinan. Nabi Muhammad ﷺ telah mencontohkan bagaimana sebuah negara yang berlandaskan wahyu mampu menyejahterakan rakyatnya. Para khalifah setelah beliau meneruskan sistem itu dengan adil dan amanah.
Maka, solusi atas kemiskinan dan pengangguran bukan sekadar program bantuan sosial atau kampanye moral untuk hemat. Solusi satu-satunya adalah kembali pada sistem Islam secara kaffah, di mana negara menjalankan fungsi pengurusan rakyat berdasarkan syariat, bukan kepentingan pasar. Dalam sistem itu, setiap individu dijamin kebutuhannya, setiap sumber daya dikelola untuk kemaslahatan umum, dan setiap kebijakan berpijak pada keadilan Ilahi. Wallahu alam.
0 comments:
Posting Komentar