Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M
(praktisi pendidik)
Adapun pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengurangi laju pengurangan hutan atau deforestasi. Komitmen ini tercatat dalam dokumen Enchanced Nationally Determined Contribution (ENDC) September 2022. Menurut dokumen tersebut, dalam skenario kondisi normal (business as usual), selama periode 2021-2030 Indonesia diproyeksikan mengalami deforestasi rata-rata 820 ribu ha/tahun.Namun, dalam ENDC, pemerintah menargetkan deforestasi 2021-2030 akan turun sekitar 56% menjadi rata-rata 359 ribu ha/tahun dengan usaha sendiri. Jika ada bantuan internasional, pemerintah bahkan menargetkan laju deforestasi bisa turun 78% menjadi rata-rata 175 ribu ha/tahun.
Sumber Kekayaan yang Gagal
Hutan yang luasnya 120 juta hektare dan merupakan 60 % luas daratan Indonesia, sebenarnya merupakan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis (Nurrochmat, 2005). Namun kekayaan tidak banyak gunanya bagi rakyat.
Pemberian HPH kepada pengusaha dimulai sejak 1967 melalui UU Pokok Kehutanan No 5 Tahun 1967, yang kemudian direvisi dengan UU Kehutanan no 41 Tahun 1999. Mengapa direvisi? Sebab UU No 5/1967 itu hanya menekankan produksi (alias rakus). Maka lahirlah UU No 41/1999 yang memperhitungkan konservasi dan partisipasi masyarakat
Karena hanya menekankan produksi, wajar jika hutan Indonesia dikelola seperti halnya pengelolaan tambang (mining management), sehingga aspek kelestarian berada di titik terendah, sementara kegiatan penebangan berada di titik tertinggi yang tentunya berdampak pada Kerusakan hutan yang sangat dahsyat. PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan hutan lebih dari 50 juta ha (hektare). Kini areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta ha. Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia, ternyata hasilnya hampir-hampir tidak dirasakan mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.
Sebab Kegagalan Pengelolaan Hutan
kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat penerapan sistem sekuler kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan.
Kesalahan pembuat kebijakan itu dengan kata lain sesungguhnya adalah kesalahan ideologis, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi nyata dari ideologi. Tegasnya, yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme (Heilbroner, 1991). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan) telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991). Inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi –misalnya perusahaan HPH menebang melebihi volume yang dilaporkan– dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia).
Pengelolaan hutan menurut Islam
1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadis Nabi saw.:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140). Hadis ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).
2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara bukan oleh pihak lain (swasta atau asing).
Zallum (1983:81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum: Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya. Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah –sebagai wakil kaum muslimin– yang berhak untuk mengelolanya.
Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar.
Sabda Rasulullah saw: “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim)
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
3. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.
Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan.
Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).
4. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.
Dalam kaidah fikih dikatakan, “Adh-dlarar yuzal”, artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi saw bersabda, “Laa dharara wa laa dhiraara.” (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.
Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.
5. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.
Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).
Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal logging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional.
Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar