SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Senin, 15 Januari 2024

Oleh. Rita Handayani

(Penulis dan Founder Media)






Katanya sih Negeri Demokrasi kedaulatan rakyat yang memiliki, tapi entah rakyat yang mana. Buktinya rakyat mayoritas tidak pernah diberi ruang dalam setiap pengambilan keputusan, tahu-tahu sudah ketuk palu. Yang ujungnya menimbulkan kontroversi seperti dalam perundangan UU ITE dan hasil revisinya. “Undang-undang pasal karet” ini malah menjadi alat pukul baru bagi rakyat yang kritis terhadap pemerintah.

Presiden Jokowi telah resmi menandatangani UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2028 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dikutip dari laman JDIH Setneg, alasan dari merevisi UU ITE tersebut dikarenakan banyaknya publik yang keberatan dalam penerapan aturan pidana pada UU ITE sebelumnya. Alasan selanjutnya karena aturan sebelumnya belum dapat menyelesaikan masalah. Selain itu, masih ada persepsi yang tidak tepat sasaran di dalam pelaksanaan aturannya. 

Masih Menuai Kritik 

Meski sudah direvisi, tapi Koalisi Masyarakat Sipil, yang merupakan gabungan dari 25 organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen, Amnesty International Indonesia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Masih mengkritik dan menuntut perbaikan.

Mereka menilai UU Nomor 1 Tahun 2024 tidak menyelesaikan masalah dalam kebebasan berekspresi di Indonesia. Sebagaimana pernyataan dari Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, “Revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (5/1/2024). 

Isnur juga mengkritik keras upaya pembahasan revisi yang tertutup. Hal itu menjadikan publik minim ruang dalam terlibat dan mengawasi dari proses revisi. Mereka malah melihat isi revisi tersebut tidak menghilangkan masalah.

“Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama,” ungkap Isnur.

Pasal-pasal Bermasalah

Adapun pasal-pasal bermasalah itu, diantaranya adalah: Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B. 

Juga adanya pasal tambahan yakni Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Pasal 27A disebut Isnur, bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. 

Juga terdapat Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat 3 tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal tersebut berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan apa maksud dari pemberitahuan bohong dalam pasal ini. 

“Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum,” ujar Isnur. 

Oleh karena itu, terang Isnur, koalisi dengan tegas menolak pengesahan revisi UU ITE oleh DPR dan pemerintah. Karena telah mengabaikan partisipasi publik dan juga masih melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM. 

Untuk itu Koalisi masyarakat sipil juga telah mendesak supaya DPR dan pemerintah menerapkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Serta mendorong implementasi revisi UU ITE bukan untuk tujuan kriminalisasi rakyat yang kritis. 

Dalam perjalanannya UU ITE sudah banyak memakan korban dan sering digunakan orang kaya atau yang punya jabatan untuk menjerat orang yang berseberangan dengannya.

Salah satunya adalah, Rio Suryanto, seorang warga dari Kabupaten Manggarai Barat, yang saat ini sedang diperkarakan dengan kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Rio merespon revisi UU ITE, dengan mengatakan, “UU ini, termasuk hasil revisi kedua, menunjukkan penguasa yang tidak boleh dikritik.”

“Para aktivis ke depan sangat terancam, karena tetap saja ada upaya dari pemerintah untuk membungkam suara-suara kritik,” ungkapnya kepada Floresa Pada 6 Januari

Semua itu menunjukkan bahwa revisi jilid II UU ITE justru sangat rawan atas konflik kepentingan. Hal tersebut sekaligus menyamarkan batas mana kawan dan mana lawan.

Dengan kata lain, selama terdapat kepentingan dan juga kemanfaatan, maka UU tersebut dapat digunakan untuk memukul pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa walaupun sebelumnya adalah kawan. Begitu juga sebaliknya, pihak yang sebelumnya adalah lawan sangat mungkin bisa dirangkul saat dianggap bisa menguntungkan penguasa.

Media dalam Islam

Bongkar pasang Undang Undang seperti dalam revisi ke II UU ITE ini tidaklah mengherankan. Hal demikian sudah biasa terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme. Karena berasas pada kemanfaatan dan berjalan untuk memuluskan berbagai kepentingan.

Hal itu menjadikan standar benar dan salah/hak dan batil menjadi samar bahkan tidak jelas. Seperti pada fungsi teknologi informasi yang seharusnya memudahkan urusan manusia, tapi di tangan sistem batil ini malah disetir menjadi alat legalisasi represifisme oleh penguasa. Tentu ini tidak boleh terjadi.

Jelas kondisi ini sangat berbeda dengan strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem Islam. Tidak lain tujuannya adalah untuk menjadi sarana dakwah dan penyampai kebenaran. Di dalamnya, ketakwaan penguasa sangat berperan dalam mengelola ITE agar sejalan dengan aturan Allah Taala secara kafah.

Dalam bidang teknologi informasi, Negara dalam Islam tidak akan menggunakannya untuk kepentingan memata-matai rakyat demi kepentingan yang tidak syar’i. Karena Telah mengharamkan aktivitas memata-matai sesama muslim.

Sebagaimana firman Allah Taala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Di lain sisi, teknologi informasi serta berbagai sarana media yang lainnya akan difungsikan secara strategis. Diantaranya adalah untuk mencerdaskan umat, dan penyalur aspirasi rakyat, serta sebagai alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat, perangkat negara.

Dalam Islam, rakyat punya kewajiban untuk ikut mengawasi jalanya pemerintahan. Penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan juga menjaga agar jalannya pemerintahan terhindar dari kezaliman.

Sungguh, dalam sistem Islam akan memosisikan media dan teknologi informasi sebagai sarana dalam berperan aktif untuk menjaga semua elemen masyarakat agar senantiasa taat dan dalam keridaan Allah Taala. Tidakkah kita menginginkannya?

Wallahualam bissawab. 





0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts