Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M
(praktisi pendidik)
Bupati Blora H. Arief Rohman mendampingi lima kepala desa (Kades) yang warganya terdampak pembangunan Bendungan Karangnongko. Untuk konsultasi ke Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta (Blora, InfoPublik, Jumat 22 Maret 2024). Sekaligus menindaklanjuti keinginan masyarakat agar lokasi relokasi tidak jauh dari desa semula dan yang paling memungkinkan adalah lahan hutan KHDTK UGM Getas.
Bupati Blora menegaskan, pihaknya dalam upaya mencari solusi terbaik bagi warga lima desa di Kradenan yang terdampak Proyek Strategi Nasional (PSN) Bendung Gerak Karangnongko. Salah satunya, dengan meminta Fakultas Kehutanan UGM bersama-sama mencari lokasi terbaik untuk relokasi masyarakat kami yang akan terdampak pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) Karangnongko.
Disampaikan dalam kesempatan tersebut, Bendungan yang akan membendung Sungai Bengawan Solo di perbatasan Kradenan (Blora) dengan Margomulyo (Bojonegoro), genangannya akan mengular sampai Ngawi. Sehingga ada beberapa desa di Blora yang akan direlokasi dengan skema ganti untung dan harapan terbaik adalah proses relokasi bisa difasilitasi oleh Fakultas Kehutanan dengan Kementerian LHK, dan Kementerian PUPR.
Lima kades yang hadir dalam audiensi dengan Fakultas Kehutanan UGM dan Direktur KHDTK UGM tersebut, diantaranya adalah Kepala Desa Mendenrejo, Ngrawoh, Nginggil, Nglebak, dan Kepala Desa Megeri. Kepala Desa Ngrawoh, Purwondo menyampaikan bahwa 80 persen wilayah desanya akan terdampak genangan air dari Bendung Gerak Karangnongko. Soal pembangunan itu sendiri, dikatakan Purwondo warganya tidak menolak karena diharapkan bisa ikut merasakan manfaatnya, misalnya melalui pengembangan desa wisata. Hanya saja ada sisi lain yang membuat beban pikiran masyarakat yaitu adanya dua opsi yang ditawarkan. Ganti untung atau tukar guling/relokasi.
Bendungan Karangnongko rencananya dibangun di perbatasan Kabupaten Blora, Jawa Tengah dengan Kabupaten Bojonegoro. Tepatnya di selatan Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, yang berbatasan dengan Desa Ngelo, Kecamatan Margomulyo. Bendungan Karangnongko telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN) yang diprediksi dapat menampung sebanyak 59,1 juta meter kubik air, dengan luasan genangan 1026,5 Ha.
Sementara untuk wilayah Kabupaten Blora, terdapat permukiman di dua desa terdampak genangan bendungan Karangnongko. Yakni Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil, Kecamatan Kradenan. Permukiman di dua desa ini sedang diusulkan tidak dipindahkan jauh dari lokasi bendungan. Untuk itu Pemkab Blora mengusulkan agar dua desa tersebut direlokasi di wilayah hutan Perhutani atau ke wilayah KHDTK UGM. Hasilnya nanti seperti apa, akan disosialisasikan ke masyarakat.
Menurut Mas Arief, pembangunan bendungan Karangnongko akan dimulai dari wilayah Bojonegoro terlebih dahulu karena di sisi timur Bengawan Solo tidak banyak pemukiman. Sedangkan wilayah Blora, lanjut Mas Arief, sisi barat Bengawan Solo menunggu kepastian relokasi pemukiman warga Desa Ngrawoh dan Desa Nginggil yang akan diupayakan konsultasi bersama ke kementerian.
Sementara itu, Kepala BBWS Bengawan Solo, Maryadi Utama, menyampaikan bahwa anggaran pembangunan konstruksi Bendungan Karangnongko sebesar Rp1,5 triliun. Anggaran itu langsung dari APBN Pusat dengan sistem tahun jamak. Lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan konstruksi bendungan seluas 246,18 ha. Sedangkan pembangunan fisik secara bertahap akan dilakukan hingga 2026, dan akan mulai digenangi pada 2027 dan menurut rencana bukan lagi Bendung Gerak seperti yang diberitakan dahulu tapi diubah menjadi Bendungan sehingga yang tadinya ada saluran pengelak, diubah menjadi saluran pelimpas, jelasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta menjelaskan lahan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) tersebut ada di pemerintah pusat. Pihaknya siap mengawal aspirasi masyarakat ke kementerian terkait dengan memberikan pertimbangan teknis. Menurutnya bahwa penting untuk melibatkan pemberi kelola yakni KLHK, yang mana hasil diskusi ini nantinya UGM akan menyampaikan pertimbangan-pertimbangan teknis.
Jika wilayah Blora masih perlu waktu untuk berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait, warga Bojonegoro justru masih menggantung nasibnya yaitu warga dua desa yang terdampak pembangunan Bendungan Karangnongko di Kecamatan Margomulyo. Hingga hari ini komitmen yang diharapkan warga Desa Ngelo dan Desa Kalangan, Kecamatan Margomulyo untuk mendapatkan lokasi relokasi di lahan perhutani sebagai hak milik, belum diwujudkan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Agus Rismanto Susanto sebagai kuasa hukum warga mengatakan, telah berkirim surat kepada pihak yang berkaitan dengan pembangunan bendungan tersebut yang tembusannya disampaikan kepada Gubernur dan Presiden. Dalam surat tersebut telah dibeberkan kronologi proses pembebasan lahan yang belum memenuhi tahapan yang sesuai aturan yang berlaku. Bahkan, janji untuk berkirim yang kedua kali terkait penempatan relokasi yang diminta warga belum dilakukan. "Saat ditanya komitmen warga, sudah diberikan keleluasaan warga yang mau diukur sudah diukur dan diumumkan, namun yang tidak mau diukur ya tidak boleh ada pemaksaan karena mereka ingin surat jaminan rekomendasi dari KLHK," ujar Gus Ris panggilan akrabnya. Justru pemkab memaksa ground breaking hingga akhirnya batal tanpa diketahui alasannya, jika tetap dilakukan tentu situasi warga akan rawan kericuhan.
Dampak Pembangunan Bendungan
Tahapan-tahapan yang kini berjalan, baik yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro maupun BBWS justru akan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara, jika di belakang hari proyek Pembangunan Bendungan Karangnongko gagal dilaksanakan, disebabkan sumber permasalahan utama adalah pembebasan lahan warga Desa Ngelo yang sampai hari ini tidak ada kejelasan sikap dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Sejak tahun 2014, pembangunan bendungan menjadi salah satu hal yang diprioritaskan dan telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, paling tidak terdapat 65 bendungan yang telah dibangun. Dalam konteks pengelolaan BMN, utilisasi aset bendungan mungkin “hanya” termasuk ke dalam kluster Penetapan status penggunaan (PSP). PSP sendiri merupakan salah satu bentuk utilisasi Barang Milik Negara (BMN) yang paling dominan dan sering kali dianggap “remeh” karena sifatnya hanya menetapkan tipe penggunaan suatu aset. Namun demikian, di balik penggunaan suatu aset seringkali terdapat dampak yang secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar lokasi aset.
Sebagai contoh, jika kita mau melihat lebih jauh, maka aset bendungan sejatinya punya manfaat yang nyata bagi masyarakat, misal terciptanya ketahanan irigasi, pengendalian banjir, mendorong potensi pariwisata, pengembangan energi tenaga air, mendorong terbukanya jenis lapangan kerja baru, dan sebagainya namun demikian perlu juga dipahami dampak yang ditimbulkan dalam ekonomi, sosial, dan lainnya sebagaimana telah diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja BMN (PMK 349).
Ringkasnya, dengan adanya pembangunan bendungan memang memberikan dampak positif terhadap produktivitas pertanian, ketahanan irigasi, dan juga mendorong penurunan angka kemiskinan. Namun demikian, hasil ini ternyata hanya berlaku kepada masyarakat yang tinggal di area hilir, sementara masyarakat di area hulu justru merasakan efek yang sebaliknya, yaitu produktivitas pertanian menurun, kemiskinan meningkat, dan rawan banjir.
Mengapa hal ini terjadi?
Pembangunan aset bendungan akan menyebabkan perubahan yang cukup ekstrem di area hulu. Jika hal ini tidak dimitigasi dengan baik, maka dapat berdampak pada risiko hilangnya atau berubahnya lapangan pekerjaan, sistem irigasi hulu yang cenderung terbatas, atau potensi banjir ketika sistem irigasi tidak berjalan baik. Eksternalitas positif yang diharapkan, misal dari sektor pariwisata, ternyata juga tidak cukup signifikan untuk mengurangi kesenjangan antara hulu dan hilir.
Penelitian ini juga telah dilakukan untuk konteks Indonesia oleh Gunawan Aribowo dan Muhammad Halley Yudhistira dalam papernya Large Dams and Welfare: Empirical Study in Indonesia yang terbit di Economic Development Analysis Journal tahun 2021. Mereka tidak melihat dampak bendungan secara spesifik tapi lebih fokus kepada bagaimana implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum.
Aset bendungan juga terbukti mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di area hilir, namun efeknya justru negatif di area hulu. Hal ini juga disebabkan oleh turunnya produktivitas pertanian dan aktivitas pekerjaan di area hulu. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan bendungan berpotensi menimbulkan pelebaran kesenjangan antar hulu dan hilir yang pada akhirnya memperbesar ketimpangan di suatu daerah.
Keadilan Islam Mengatasi Masalah Lahan
Dalam Islam, kekuasaan dan kepemimpinan dipandang sebagai amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt. Oleh karena itu, setiap penguasa takut jika kebijakannya akan membawa penderitaan kepada rakyatnya, terutama jika menyangkut hak kepemilikan lahan.
Dalam sistem pemerintahan Islam, amanah kepemimpinan sepaket dengan penerapan aturan Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah satu yang diatur dalam hukum syarak adalah mengenai status kepemilikan lahan. Lahan hunian, pertanian, ladang, kebun, dan lahan-lahan yang telah ditempati merupakan kategori lahan milik individu/pribadi. Hutan, tambang, dan lautan merupakan lahan milik umum. Lahan kosong yang belum dihuni atau dikelola merupakan lahan milik negara.
Berdasarkan pembagian ini maka negara tidak boleh (haram) membuat kebijakan untuk melegalisasi perampasan hak lahan milik individu atau umum. Sedangkan lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya diserahkan pada negara untuk kemaslahatan rakyat karena jaminan optimalisasi pemanfaatan lahan, semua diatur dalam UU Daulah yang telah disesuaikan dengan hukum syarak.
Sifat para khalifah yang takut untuk mengambil hak rakyatnya merupakan bentuk ittiba’ mereka terhadap Rasulullah saw.
“Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim)
Hukum ini telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang kerap melakukan inspeksi untuk memastikan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan warganya. Kebijaksanaan Khalifah Umar terlihat saat ia dengan tegas menegur Gubernur Mesir, Amr bin Ash ketika berencana menggusur gubuk reyot milik kakek Yahudi untuk proyek perluasan Masjid. Padahal, sebelumnya, Amr bin Ash telah berdiskusi secara baik-baik dengan kakek Yahudi tersebut, bahwa gubuknya akan dibeli dan dibayar dengan harga dua kali lipat.
Nasehat pahit dari Khalifah Umar membuat Amr bin Ash menangis dan menyesali perbuatannya. Kemudian, ia membatalkan rencana penggusuran gubuk milik Yahudi tersebut. Begitulah, keadilan hukum Islam yang pernah diterapkan selama berabad-abad. Banyaknya kasus sengketa yang terjadi antara rakyat dan penguasa, seharusnya menyadarkan kita tentang keadilan hukum Islam dalam urusan pembagian lahan.
Kisah Khalifah Umar bin Khattab, menjadi cermin seorang penguasa yang adil, ia berkenan mendengarkan keluhan satu warganya yang bahkan tidak sejalan dalam Iman dengannya. Bandingkan dengan hari ini, bukan hanya satu orang saja, tetapi ribuan orang di banyak daerah tanahnya telah diambil paksa oleh “negara”. Rakyat seolah tidak didengar suaranya.
Berbagai aksi ambil paksa tanah oleh pihak yang mengatasnamakan negara memang selalu menyisakan luka yang mendalam. Sebab yang diambil bukan hanya perkara segunduk tanah melainkan lebih dalam dari hal itu yakni akar sosial, budaya, memori dan bahkan kehidupan si penghuni tanah itu sendiri. Dan jika boleh jujur tentu tidak ada seorang anak manusia pun yang berkenan dipisahkan dari akar kehidupannya.
Jika pembahasan yang menjadi hal utama dalam pembebasan tanah adalah demi kepentingan “negara”, maka pendekatan kemanusiaan dan keadilan sosial yang mestinya dikedepankan. Bukan dengan pendekatan kekerasan sehingga muncul celetukan dari warganet di dunia maya, yang menyatakan bahwa mengukur tanah itu harusnya dengan meteran bukan dengan aparat berseragam yang dikerahkan berkompi-kompi, demikian sindiran warganet di sosial media.
Menarik jika kita boleh meminjam ungkapan dari sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer yang pernah berkata, “Orang yang tak pernah mencangkul justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang lain.”
Tampak sekali jika penulis yang pernah berseteru keras dengan Buya Hamka itu sangat keras menyindir para “kaum berdasi”. Yang tidak pernah turun ke sawah (kehidupan rakyat kecil) yang kerjanya membuat undang-undang di parlemen dan otaknya dipenuhi gambaran cuan dari berbagai proyek besar yang tidak jarang diatasnamakan demi proyek nasional. Entah mereka disebut penguasa yang sedang berusaha atau pengusaha yang sedang berkuasa, karena saat ini kian sulit ditarik garis pembeda di antara keduanya.
Padahal tidak selamanya mereka yang gemar berteriak atas nama negara adalah mereka yang paling cinta negaranya. Juga tidak mesti pula mereka yang selama ini luput dari sorotan malah merekalah yang hakikatnya paling cinta negara. Mereka buktikan dengan kerja-kerja nyata seperti menggarap sawah dan laku khas masyarakat kecil lainnya.
Ingat bahwa Nelson Mandela pernah berkata, “Penjahat itu tak pernah membangun Negara, mereka hanya memperkaya diri sambil merusak Negara.” Kalimat Presiden anti-Apartheid itu tampak benar adanya, kini terjadi di berbagai belahan bumi tidak terkecuali di negeri tercinta ini. Hal itu terbukti dengan perlakuan istimewa yang masih terjadi kepada para maling uang rakyat dan cukong perusak lingkungan serta pengusaha hitam yang bermandi cuan. Padahal merekalah yang selama ini merusak negara dengan mengatasnamakan negara.
Walhasil, sudah seharusnya rakyat dan wakil rakyat bisa saling memahami dan menyelesaikan segala sesuatu dengan kepala dingin dan pendekatan musyawarah. Semangat mendahulukan kepentingan rakyat hendaknya dinomor-satukan di atas kepentingan konglomerat. Jangan ada pihak yang sedang diamanahi kekuasaan, bermain-main dengan kepentingan pribadi atau golongannya dengan mengatasnamakan kepentingan negara.
Semoga kisah keadilan Sayidina Umar bin Khattab radiallah anhu di atas bisa menjadi pengingat dan cermin bagi mereka yang sedang mendapat amanah mengurusi hajat hidup rakyat saat ini. Islam adalah agama yang terdepan dalam melawan kezaliman, dan tentunya para pemimpin beragama Islam seharusnya menjadi garda terdepan dalam melawan kezaliman dan bukan malah menjadi pelaku kezaliman itu sendiri. Ingat, Rasulullah saw. pernah bersabda;
“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari)
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar