Oleh. Sendy Novita, S.Pd,M.M
(praktisi pendidik)
Akhir-akhir ini, dunia pendidikan kembali dihebohkan. Bukan tentang sebuah prestasi tapi pembiayaan kuliah yang makin melesat tinggi. Tentu saja hal ini menuai aksi, tidak hanya para mahasiswa, bahkan orangtua dan beberapa pengamat hanya bisa mengurut dada. Kenaikan UKT atau Uang Kuliah Tunggal sudah mulai diterapkan di sejumlah PTN diantaranya Unsoed ( Universitas Jenderal Soedirman), Unri ( Universitas negeri Riau), hingga USU ( Universitas Sumatera Utara) Medan.
Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Srie Tjahjandarie membantah saat ini ada kenaikan UKT. Menurutnya, bukan UKT-nya yang naik, tetapi kelompok UKT-nya yang bertambah ( CNN Indonesia, Sabtu, 18 Mei 2024). Sementara itu, pemerintah sendiri mengaku telah mengucurkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi atau BOPTN meski bantuan tersebut belum bisa menutup kebutuhan operasional perguruan tinggi menyebabkan pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa digratiskan seperti di beberapa negara lain sehingga pembiayaan pendidikan tinggi malah kemudian dibebankan kepada masing masing mahasiswa lewat UKT.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud) Nadiem Makarim telah menetapkan Permendikbud Ristek Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbud Ristek. Dalam aturan itu, pemimpin PTN wajib menetapkan tarif UKT Kelompok 1 dan 2. Kelompok UKT 1 sebesar Rp500 ribu, sementara UKT 2 sebesar Rp1 juta. Salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Pemimpin PTN dapat menetapkan kelompok selain kelompok tarif UKT dengan nilai nominal tertentu paling tinggi sama dengan besaran BKT yang telah ditetapkan pada setiap program studi.
Sedang Pasal 12 menyebutkan persentase jumlah mahasiswa yang dikenakan tarif UKT kelompok I dan kelompok II serta mahasiswa penerima beasiswa dari keluarga kurang mampu berjumlah paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima oleh PTN setiap tahun. Sementara itu, pemimpin PTN dapat meninjau kembali tarif UKT bagi mahasiswa jika terdapat perubahan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa jika ada ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa.
Mahalnya pendidikan di Indonesia bisa digambarkan dari HSBC Global Report 2018. Menurut HSBC Global Report, Indonesia termasuk negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan per anak mulai dari PAUD hingga sarjana mencapai sekitar Rp 258 Juta. Inilah yang menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-13 dengan negara yang biaya pendidikannya termahal di dunia.
Mahalnya pendidikan sebenarnya tak hanya di sekolah swasta. Meski ada kebijakan bebas SPP di sekolah negeri, bukan berarti pendidikan diperoleh dengan gratis. Masih banyak komponen biaya lain seperti seragam, buku, transportasi, uang saku dan kebutuhan siswa lain yang harus dipikirkan. Walhasil, mendapatkan pendidikan terbaik akhirnya butuh biaya tinggi menyebabkan mayoritas warga masyarakat mengeluh. Maka layak menjadi wacana, mengapa pendidikan di Indonesia mahal? Lalu bagaimana jaminan dari pendidikan tersebut?
Pendidikan dalam Sistem Kapitalis Memang Mahal
Mahalnya biaya pendidikan merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak, baik menyangkut tata kelola negara yang kapitalistik maupun sistem pendidikannya. Penyebabnya adalah pertama, tata kelola negara kapitalistik yang berlandaskan konsep New Public Management. Konsep yang berperan besar melahirkan petaka bagi biaya pendidikan.
Pandangan ini membuat negara berlepas tangan dari kewajiban utama sebagai pelayan rakyat. Selanjutnya, masyarakat –termasuk korporasi/swasta– didorong berpartisipasi aktif. Hadirnya sekolah-sekolah swasta –meski berbiaya tinggi– menjadi capaian bagus selama memberi kontribusi bagi capaian pendidikan. Negara hanya menjadi regulator (pembuat aturan) bagi kepentingan siapa pun yang ingin mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan.
Padahal, pasar pendidikan amat menggiurkan dan makin berkembang. Tak hanya jumlah siswa, berbagai sarana prasarana juga infrastruktur adalah potensi keuntungan yang bisa dikeruk. Belum lagi soal kurikulum. Jualan aplikasi, bimbingan, atau konsultasi belajar dan sebagainya menjadi sasaran empuk para kapitalis. Hal ini juga sejalan dengan paradigma kapitalis Knowledge Based Economy (KBE). Yakni, pendidikan merupakan komoditas ekonomi yang layak dikomersilkan.
Lepasnya negara menjadikan hubungan negara dengan rakyat tak lebih bagai hubungan dagang. Perhitungan untung rugi menjadi patokan. Pelayanan pendidikan diberikan minimalis jika tidak menghasilkan untung finansial. Sebaliknya, jika masyarakat menghendaki tambahan kualitas, dibebankan kepada masyarakat sendiri. Maka lahirlah berbagai pungutan.
Kedua, turunan dari konsep New Public Management dalam sistem pendidikan yaitu konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Esensi dari MBS adalah kemandirian (otonomi) sekolah dalam mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.
Ketiga, tata kelola keuangan dan ekonomi negara yang kapitalistik melahirkan kemiskinan negara. Dampaknya, negara minim memberikan anggaran pendidikan. Negara tak mampu lagi memberikan fasilitas pendidikan memadai, membangun dan memperbaiki sekolah-sekolah, termasuk menggaji guru honorer secara layak. Tata kelola anggaran yang rusak ini telah menambah beratnya biaya pendidikan. maka, mahalnya biaya pendidikan terjadi karena kehidupan kapitalistik neoliberal yang diemban negara dan diimplementasikan dalam sistem pendidikan.
Pendidikan Murah Berkualitas hanya dalam Sistem Islam yang Kaffah
Tentu menjadi pertanyaan, apakah mungkin suatu negara bisa memberikan layanan pendidikan murah dan berkualitas? Dalam sistem kapitalis neoliberal sudah terjawab, mustahil. Berlaku hukum ekonomi kapitalis dalam hal apapun. Jika mau berkualitas, maka harus berani merogoh kantong lebih tebal atau membayar lebih mahal.
Apakah biaya pendidikan tak bisa diwujudkan dalam kualitas yang bagus dan murah bahkan gratis? tentu saja bisa diwujudkan jika paradigma kapitalis dalam mengelola pendidikan ditinggalkan. Dan selanjutnya diganti dengan paradigma sahih, yakni Islam yang dijalankan dalam sistem yang kaffah.
Islam tidak mengenal paradigma New Public Management dan konsep turunannya semisal MBS. Negara berperan dan bertanggung jawab penuh dalam pelayanan pendidikan. Meski demikian, dalam sistem Islam dimungkinkan terdapat peran serta masyarakat maupun sekolah swasta, hanya saja keberadaannya tidak boleh mengambil alih peran negara. Daulah (negara) menjaga betul agar layanan pendidikan sampai kepada tiap individu rakyat dengan biaya yang amat murah bahkan gratis. Hal ini merupakan kewajiban syariat kepada negara.
Dulu Rasulullah Saw. pernah membebaskan budak tawanan Perang Badar dengan tebusan mereka mengajari anak-anak Madinah. Padahal harta tebusan itu sebenarnya milik Baitul Mal (kas negara). Dengan demikian, Rasulullah saw. telah membiayai pendidikan rakyatnya dengan harta dari baitulmal. Hal ini menjadi dalil kewajiban negara membiayai pendidikan rakyatnya.
Biaya pendidikan yang dimaksud tentu bukan hanya untuk gaji pengajar. Berbagai keperluan pendidikan lainnya, baik sarana prasarana, infrastruktur, mulai dari ruang belajar hingga perpustakaan, laboratorium dan lainnya hingga keperluan pendukung lain seperti transportasi dan sebagainya seharusnya disediakan negara. Sehingga rakyat tidak kesulitan mendapatkan akses pendidikan berkualitas.
Tentang anggaran, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam Islam yang kaffah. Sebab, dengan menjalankan hukum syariat dalam mengelola anggaran negara, baik sumber pemasukannya maupun pengeluarannya, negara memiliki sejumlah dana mencukupi bagi kehidupan masyarakat dalam negara, termasuk untuk pendidikan.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang sarat dengan korupsi, serta kas negara yang minus karena kekayaan alamnya dikelola secara kapitalistik sementara kas negara dipenuhi dengan utang ribawi dan pajak yang mencekik rakyat. Kondisi demikian jelas tidak akan membawa keberkahan bagi pendidikan. Sudahlah mahal, tidak berkah pula. Padahal yang diharapkan tentunya adalah yang murah berkualitas dan berkah.
Demikianlah, negara yang menjalankan syariah Islam secara kaffah menjamin kebutuhan pendidikan yang berkualitas dan murah. Inilah keberkahan hidup yang hanya dapat diperoleh dari ketundukan manusia kepada aturan Allah Swt.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar