Oleh. Rita Handayani
(Penulis dan Founder Media)
Pemerintah pusat dan daerah masih getol melakukan segala cara untuk dapat mengeruk pajak dari rakyat. Jika slogan pajak, seperti “Orang Bijak Taat Pajak” dan “Bangga Bayar Pajak” sudah biasa didengungkan di telinga masyarakat. Kali ini, pemerintahan menempuh cara lain agar bisa lebih menarik perhatian masyarakat untuk membayar pajak. Yakni dengan program Ambyar Pak To.
Pemerintah Kabupaten Blora melalui Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah BPPKAD meluncurkan program "AmByar Pak To" (Ayo Bayar Pajak Restoran) untuk pemilik warung, resto dan konsumen di Blora, (blorakab.gp.id, 21/6/2024) di pendopo kabupaten Blora.
Apa itu Ambyar Pak To?
"AmByar Pak To" singkatan dari Ayo Bayar Pajak Restoran, ditujukan untuk pemilik warung, resto dan konsumennya. Ini dalam rangka sosialisasi kewajiban pajak restoran sebesar 10 persen kepada seluruh Wajib Pajak. Ini sungguh tidak ubahnya alat palak, meski didesain dengan shoft dan menguntungkan rakyat. Sejatinya tetap pajak dalam sistem kapitalis merupakan pangkal kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.
Meski Wakil Bupati Blora Tri Yuli Setyowati, beralasan “Pajak daerah merupakan salah satu unsur pembentuk PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kontribusi pajak restoran sangat erat hubungannya dengan kesadaran pembayaran pajak oleh Wajib Pajak, potensi pajak restoran sebenarnya cukup besar dan masih bisa dioptimalkan lagi,” katanya dikutip dari Pajak.com (1/10).
Memang dasar hukum pajak restoran ini tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah; Peraturan Bupati Blora Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Kabupaten Blora Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah; Peraturan Bupati Blora Nomor 13 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaporan, Pembayaran, dan Pengawasan Pajak Daerah melalui Sistem Elektronik.
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Restoran yang dipungut Pemerintah Kabupaten Blora ini, sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2023 dan realisasinya telah melampaui target. Sementara program Ambyar Pak To, diluncurkan oleh Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah BPPKAD (pada 21/6/2024) di pendopo kabupaten Blora. Bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi pemahaman dan memperluas kesadaran warga Blora dalam membayar pajak makannya di restoran.
Sementara definisi restoran dalam peraturan daerah ini adalah rumah makan atau warung makan yang memiliki omset Rp5 juta setiap bulannya. Omset, bukan laba bersih. Dengan acuan tersebut realisasi pendapatan dari pajak restoran yang dipungut Pemkab Blora pada tahun 2023 lalu saja mencapai lebih Rp5,7 miliar. Padahal Pemkab mematok target di angka pendapatan Rp4,6 miliar.
Dengan realisasi yang tinggi itu, maka di tahun 2024 ini BPPKAD ingin lebih menggenjot lagi, melalui program Ambyar Pak To dengan cara memberikan berbagai hadiah. Total hadiah yang disediakan mencapai Rp100 juta. Untuk jenis hadiahnya bervariasi, mulai dari sepeda listrik (sebagai hadiah utama), kemudian ada smartphone, logam mulia dan juga tabungan Bima. Pengundian hadiah perdananya dilakukan di akhir bulan Juli 2024 kemarin.
Untuk bisa mendapatkan hadiah tersebut, bagi masyarakat atau konsumen dalam setiap pembelian makanan atau minuman sebesar Rp 20.000,00 di restoran atau rumah makan tertentu pada notanya ada pungutan pajak. Jika tidak disertai pungutan pajak tidak bisa diikutkan dalam undian. Customer akan mendapatkan 1 (satu) buah kupon elektrik dan berlaku kelipatannya.
Ketentuan tersebut untuk pembelian yang dilakukan pada bulan Juli-Desember 2024. Dengan membayar pajak 10 persen dan tercantum dalam nota pembelian, kemudian melakukan upload nota pembelian serta mengisi identitas pada aplikasi melalui Barcode yang tersedia di restoran/tempat makan.
Program "Ambyar Pak To" ini ditujukan kepada wajib pajak, yaitu restoran/rumah makan yang telah dipasang alat rekam pajak. Penilaiannya didasarkan atas kriteria-kriteria tertentu oleh Tim Penilai.
Setidaknya terdapat 165 usaha makan dan minum di Kabupaten Blora, mulai dari kota hingga desa yang ikut dalam program ini. Saat peluncurannya, Pemkab mengundang sebanyak 165 pelaku usaha tersebut dan 35 usaha sudah dipasang tapping box dan poster, sedangkan 130 lainnya belum dipasang tapping box.
Yang ikut program ini kebanyakan dari mereka adalah pengusaha makan minum waralaba. Tapi juga tidak sedikit usaha rumahan. Seperti Sate Kambing Karmani Jepon dan Sate Kambing Patalan. Dengan adanya pajak 10 persen, harga sate kambing yang awalnya Rp 50 ribu per 10 tusuk maka kini konsumen harus membayar sejumlah Rp 55 ribu.
Sedangkan keuntungan yang dijanjikan bagi pemilik usaha, yang mengikuti program Ambyar Pak To ini, Bupati Arief akan membantu mempromosikan usaha kuliner mereka yang sudah membayar pajak dengan menggandeng komunitas Blora Sosial Media (Blosmed). Agar nantinya bisa dipromosikan semakin luas. Sehingga bisa semakin ramai dan pendapatannya pun meningkat.
“Yang taat pajak nanti saya datangi langsung, saya up langsung agar yang nonton puluhan ribu. Nanti kalau kita arahkan seperti itu Insya Allah warungnya akan menambah pelanggan. Saya akan promosikan, tamu-tamu saya akan saya arahkan kesitu,” kata Bupat Blora.
Pihaknya bersama Blosmed, ada sekitar 30 lebih akun medsos akan mempromosikan makanan warung makan yang berada di Blora. Syaratnya harus ikut membantu Pemkab dalam melaksanakan kebijakan pajak restoran. (Tim Kominfo Blora).
Dari pajak ini tujuan nantinya akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk membangun jalan, infrastruktur, dll. Serta kedepannya Bupati Blora mencanangkan untuk memajukan wisata kuliner di Kabupaten Blora dengan mengadakan banyak event-event.
Mengenal Jenis Pajak di Indonesia
Pajak memang menjadi bagian dari sumber pemasukan yang paling besar bagi APBN dalam sistem kapitalis, salah satunya Indonesia. Pemungutan pajak di Indonesia sendiri dikelola oleh pemerintah pusat, provinsi, dan daerah.
Berikut ini pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
4. Bea Materai.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB perkebunan, Perhutanan, Pertambangan)
Sementara pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah ada pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.
Pajak provinsi terdiri dari:
1. Pajak Kendaraan Bermotor.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
4. Pajak Air Permukaan.
5. Pajak Rokok.
Sementara pajak kabupaten/kota terdiri dari:
1. Pajak Hotel.
2. Pajak Restoran.
3. Pajak Hiburan.
4. Pajak Reklame.
5. Pajak Penerangan Jalan.
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Bantuan.
7. Pajak Parkir.
8. Pajak Air Tanah.
9. Pajak Sarang Burung Walet.
10. ĶPajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Sejak tahun 2014, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan masuk dalam kategori pajak daerah. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan masih tetap merupakan pajak pusat. (Sumber: Pajak.go.id)
Pajak, Sumber Utama APBN Kapitalisme
Sumber pendapatan Negara Indonesia secara umum berasal dari 3 sumber, yaitu sumber pendapatan dari pajak, sumber pendapatan bukan dari pajak, dan pendapatan dari hibah.
Demikianlah dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi negara. Bahkan pajak memiliki peranan penting dalam membangun negara serta mendukung jalannya pemerintahan. Pajak juga menjadi instrumen penting untuk bangkitnya sektor ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri bahkan menyebut pajak sebagai tulang punggung nasional. Sehingga, partisipasi masyarakat dalam membayar pajak menjadi tumpuan bagi pembangunan negara. Walaupun sebenarnya, banyak masyarakat mengeluh mengenai pungutan pajak.
Saking pentingnya pajak bagi pembangunan negara, Menkeu bahkan pernah mewacanakan adanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) otomatis menjadi NPWP. Wacana ini langsung menuai protes. Tentu sangat beralasan apabila masyarakat memprotes wacana ini. Karena jangankan untuk membayar pajak, kehidupan yang serba sulit sudah sangat melilit keseharian masyarakat.
Sayangnya, konsep Kapitalisme yang menempatkan pajak sebagai sumber pendapatan terbesar ini bersifat baku dan kontinu. Padahal, kalau saja negeri ini mau sedikit lebih arif dalam mengelola sumber daya alam yang ada, sesungguhnya kekayaan itu akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat hingga pembangunan negara. Apabila kita menyelami konsep Islam tentang sumber pendapatan negara, akan terlihat perbedaan yang sangat signifikan terkait sumber-sumber pemasukan negara.
Sumber APBN dalam Islam
Jika dalam sistem kapitalisme lebih menitikberatkan sumber pendapatannya pada pajak dan utang, sumber-sumber pemasukan APBN Islam dalam Daulah Khilafah, atau yang dikenal dengan sebutan Kas Baitulmal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak apalagi utang. Bahkan Negara sebisa mungkin untuk tidak memungut pajak dari rakyatnya.
Sumber-sumber utama penerimaan negara di Baitulmal semuanya terstandarisasi oleh syariat Islam. Terdapat tiga sumber utama pendapatan negara yakni: Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti zakat, sedekah, hibah, dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni minyak bumi, tambang, gas, ekosistem hutan dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, fai’, kharaj, usyur dll.
Jika Baitulmal mengalami defisit anggaran, sementara ada kewajiban negara dan kaum muslimin yang harus tertunaikan. Maka saat itulah kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim baik dalam bentuk pajak maupun pinjaman.
Contohnya, saat terjadi kas negara kosong, sedangkan ada fakir miskin yang harus disantuni dan jika tidak terpenuhi bisa terjadi kemudaratan yang bisa menyebabkan pada kematian (karena yang dibutuhkan, kebutuhan vital seperti makan). Maka para aghnia (dalam hal ini laki laki muslim yang kaya) akan ditarik pajak untuk biaya menyantuni fakir dan miskin tersebut. Dan pemberlakuan pajak ini dalam Islam bersifat temporal. Bukan pemasukan paten sebagaimana dalam sistem Kapitalisme. Jika permasalahannya sudah terselesaikan maka pemungutan pajak pun dihentikan.
Demikian juga jika terjadi kondisi tertentu seperti terjadi bencana alam sedangkan Baitulmal mengalami defisit, maka pada saat itu juga tanggung jawab beralih kepada seluruh kaum Muslim. Setelah pembiayaan tercukupi, maka selesailah pula kewajiban kaum muslimin dalam bayar pajak.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, orang kaya dalam hal ini ialah mereka yang mempunyai kelebihan atas kebutuhan pokok dan sekundernya. Pajak yang terkumpul tersebut pun guna pembiayaan jihad, industri militer dan penunjangnya; pemberian bantuan kepada kaum fakir, miskin dan ibnu sabil; pembiayaan gaji orang yang diupah oleh negara, seperti tentara, pegawai, hakim dan guru; pembiayaan untuk kemaslahatan yang sangat mendesak dan akan mengakibatkan bahaya bagi umat jika terabaikan; pembiayaan untuk bencana, seperti gempa bumi, longsor, juga banjir.
Dengan demikian, masyarakat yang mengembangkan harta mereka melalui usaha atau syirkah tidak lagi perlu takut ditarik pajak jika suatu saat pendapatan mereka mencapai omset yang besar. Demikian juga para konsumennya tidak akan ada penarikan pajak. Karena dalam hukum syara penarikan pajak dalam kategori ini haram dan bathil.
Syariat telah mengatur bagaimana kaum muslimin dalam menyucikan harta mereka yakni melalui zakat mal, infak, sedekah, ataupun bentuk tabarruat lainnya. Tentu hal ini sangat kontras dengan sistem hukum Kapitalisme yang memungut pajak secara merata, baik kaya maupun miskin.
Dengan memahami hal ini, sudah selayaknya kita menyadari bersama bahwa hanya Islam lah yang memiliki aturan yang khas. Demikian pula terkait posisi penguasa sebagai pengurus rakyat yang akan membuat mereka optimal dalam pengelolaan aset-aset negara untuk kepentingan rakyat. Tidak seperti sekarang ini, kekayaan alam dikelola oleh asing dan aseng, rakyat yang seharusnya menikmati kekayaan tersebut malah dibebani tanggung jawab membangun negara dengan membayar pajak. Sungguh sangat menyedihkan!
Wallahualam bissawab.