Penulis: Erni Susilaningrum, S.T mb
(Penulis dan Aktivis Kota Blora)
Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor I/2025 yang berfokus pada efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2025. Tujuan utama kebijakan ini adalah mengoptimalkan penggunaan anggaran guna mendukung prioritas pembangunan serta menjaga stabilitas keuangan negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa efisiensi anggaran kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp306,69 triliun tetap sesuai dengan rencana awal, meskipun terjadi protes dan penyesuaian pada berbagai institusi pemerintah. Penghematan ini difokuskan pada belanja barang dan modal, termasuk perjalanan dinas, alat tulis kantor, seminar, kajian, acara seremonial, serta peringatan. Sementara itu, belanja gaji pegawai tetap dipertahankan. (IDNFinancials, 14/02/2025)
Gelombang Protes dan Kekhawatiran Publik
Instruksi Presiden ini mendapat respons luas dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa, hingga melahirkan gerakan protes di media sosial dengan tagar #IndonesiaGelap dan #KaburDuluAja. Masyarakat mengkhawatirkan dampak kebijakan ini, terutama pada layanan publik yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan rakyat. Hingga kini, protes masih berlanjut dengan berbagai elemen masyarakat menyuarakan keresahan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat.
Presiden Prabowo sendiri tetap berkomitmen melanjutkan efisiensi anggaran dalam tiga tahap, dengan target pemangkasan mencapai US$44 miliar atau sekitar Rp750 triliun. Dana hasil efisiensi ini sebagian besar dialokasikan untuk investasi melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Dalam pidato di acara HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Prabowo menjelaskan bahwa US$24 miliar dari anggaran tersebut digunakan untuk meningkatkan gizi masyarakat agar tidak ada lagi anak Indonesia yang mengalami kelaparan. Sementara itu, sisa US$20 miliar atau Rp325 triliun akan diserahkan ke Danantara untuk dikelola sebagai investasi jangka panjang. (CNN Indonesia, 17/02/2025)
Dampak Efisiensi Anggaran terhadap Sektor Publik
Meskipun pemerintah mengklaim efisiensi anggaran bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan dana negara, pemangkasan besar-besaran pada belanja operasional lembaga negara hingga Rp256,1 triliun serta pengurangan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun menimbulkan dampak serius. Beberapa sektor yang paling terdampak adalah infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan di daerah.
Di sektor pendidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) harus mengalami pengurangan anggaran sebesar Rp8,01 triliun. Konsekuensinya, program seperti Program Indonesia Pintar (PIP) berisiko terhambat, serta berpotensi mengabaikan amanat mandatory spending pendidikan yang seharusnya mencapai 20% dari APBN dan APBD.
Sementara di sektor kesehatan, pemangkasan anggaran Kementerian Kesehatan sebesar Rp19,6 triliun mengancam keberlangsungan pengadaan obat dan vaksin. Program nasional seperti eliminasi tuberculosis (TBC) 2030 pun berisiko gagal, terutama di tengah kondisi layanan kesehatan di berbagai daerah yang masih jauh dari ideal.
Ironisnya, meskipun kebijakan efisiensi anggaran ini berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik, survei menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo mencapai 81% dalam 100 hari pertama. Namun, jika pemangkasan anggaran terus berlanjut, kualitas layanan publik yang merosot bisa menjadi awal krisis yang berlawanan dengan komitmen pemerintah dalam menyiapkan SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045.
Ketimpangan Prioritas dalam Kebijakan Pemerintah
Gerakan protes #IndonesiaGelap menjadi gambaran bagaimana masyarakat semakin kehilangan harapan terhadap kondisi negara. Pergantian kepemimpinan dalam sistem kapitalisme tidak mampu membawa rakyat menuju kesejahteraan yang sejati. Kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pemilik modal membuat rakyat menjadi korban ketidakadilan.
Baru 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan, masyarakat sudah dikejutkan dengan berbagai polemik, mulai dari kenaikan PPN, kelangkaan gas melon, efisiensi anggaran, kontroversi proyek MBG, kabinet "gemoy", putusan ringan kasus korupsi timah, skandal Jiwasraya, hingga pendirian Danantara. Belum lagi tarik ulur kepentingan antara ormas dan kampus, serta fenomena viral lagu "Bayar Bayar Bayar" yang menggambarkan beban ekonomi masyarakat.
Sistem kapitalisme yang diterapkan dalam pemerintahan menjadikan negara hanya sebagai regulator bisnis korporasi, bukan pelayan rakyat. Dalam sistem ini, kebutuhan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan tidak menjadi prioritas, melainkan hanya dijadikan instrumen ekonomi yang menghasilkan keuntungan. Sebaliknya, program-program yang lebih menguntungkan elite bisnis, seperti MBG, malah menjadi prioritas pemerintah.
Islam sebagai Solusi Ekonomi yang Berkeadilan
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang luar biasa. Negara ini memiliki cadangan timah dan nikel terbesar di dunia, cadangan emas terbesar keempat, serta kekayaan batu bara, minyak, dan gas yang melimpah. Jika SDA ini dikelola dengan benar sesuai prinsip Islam, maka APBN akan sehat tanpa perlu melakukan efisiensi anggaran yang merugikan rakyat.
Sayangnya, sistem kapitalisme mengabaikan aturan Allah dalam pengelolaan SDA. Negara tidak bertindak sebagai pengelola utama, melainkan hanya menjadi fasilitator kepentingan korporasi. Dalam sistem ini, hajat hidup masyarakat dijadikan komoditas yang menghasilkan keuntungan bagi segelintir pihak.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menetapkan bahwa penguasa adalah raa‘in, yaitu pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Imam (khalifah) adalah raa‘in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR Bukhari)
Dalam Islam, negara wajib menjamin enam kebutuhan dasar rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sumber pendapatan negara dalam sistem Islam juga beragam dan tidak hanya bergantung pada pajak dan utang. Pendapatan negara berasal dari fai, ganimah, kharaj, jizyah, tambang, serta pemasukan dari hak milik umum dan negara, yang dikelola oleh Baitulmal.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, sistem Islam memungkinkan negara untuk mengelola kekayaan dengan adil dan transparan, sehingga rakyat dapat menikmati kesejahteraan tanpa harus dibebani kebijakan yang menyulitkan.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa' ayat 58:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil."
Sistem ekonomi Islam bukan hanya sekadar alternatif, tetapi solusi hakiki bagi kesejahteraan rakyat. Dengan menerapkan aturan Allah, negara akan memperoleh keberkahan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar