Penulis: Rati Suharjo
(Pegiat Literasi)
"Gelap,
Gelap terasa hidup ini,
Seakan mendung
Sepanjang masa."
Kehidupan saat ini seakan-akan tak memberikan harapan menuju kebaikan. Berbagai kebijakan pemerintah nyatanya bukanlah solusi bagi rakyat. Hampir di semua aspek politik, hukum, keadilan, sosial, dan ekonomi—masalah terus bermunculan. Maka, benar adanya bahwa penggalan lagu yang dinyanyikan almarhum Ustaz Hari Mukti telah menggambarkan kondisi negeri ini yang berada dalam kegelapan.
Setelah tagar #KaburAjaDulu tren di media sosial, kini #IndonesiaGelap juga menjadi tren, terutama di aplikasi X. Tidak hanya di media sosial, tetapi aksi besar-besaran juga terjadi di berbagai kota besar.
Di Jakarta, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas memadati kawasan Patung Kuda. Di antaranya mahasiswa dari Universitas Nasional, Politeknik Negeri Jakarta, Sekolah Tinggi Teknologi Terpadu Nurul Fikri, Universitas Bung Karno, dan lainnya. Mereka bergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEMSI) untuk melakukan protes terhadap pemerintah.
Aksi mahasiswa ini berlangsung dari 17 hingga 21 Februari 2025 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak rakyat dan berpotensi menyengsarakan masyarakat serta mengancam generasi muda di masa depan. Aksi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota besar seperti Serang, Makassar, Palembang, Medan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan lainnya. (beritasatu.com, 17-2-2025)
Mereka mengajukan 11 tuntutan, di antaranya terkait Proyek Strategis Nasional (PSN), Undang-Undang Minerba, program makan bergizi gratis, serta pendidikan gratis.
Jika melihat kondisi rakyat saat ini, keadaannya sangat memprihatinkan. Kemiskinan merajalela, pengangguran terjadi di mana-mana, dan harga kebutuhan pokok terus melonjak. Berbagai aksi telah dilakukan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa, guru, hingga petani. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tetap tidak berpihak kepada mereka. Bahkan hingga kini, rakyat masih mengalami perampasan tanah atau tempat tinggal, padahal mereka memiliki sertifikat resmi.
Banyak aksi protes terjadi di negeri ini, dengan ribuan massa turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan mereka. Namun, sering kali aksi-aksi ini hanya berfokus pada pergantian pemimpin atau penolakan terhadap undang-undang tertentu. Sayangnya, hal ini tidak menyentuh akar permasalahan sebenarnya, yaitu perlunya perubahan sistem secara menyeluruh.
Jika yang diubah adalah undang-undang, bukankah undang-undang tersebut telah berulang kali direvisi? Dan jika yang rusak presidennya, bukankah negeri ini telah delapan kali berganti presiden?
Sistem pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kebijakan hukum yang diterapkan. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga keputusan hukum sering kali didasarkan pada kehendak mayoritas, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai syariat Islam secara mutlak. Akibatnya, hukum yang ditetapkan bisa berubah-ubah sesuai kepentingan materi atau manfaat ekonomi, bukan berdasarkan prinsip halal dan haram.
Demokrasi juga telah membohongi rakyat. Ketika kampanye, mereka menawarkan kesejahteraan, tetapi ketika berkuasa, mereka lupa dengan janji tersebut. Bahkan, mereka bermusyawarah membuat undang-undang bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk kepentingan korporasi. Contohnya adalah undang-undang tentang kenaikan harga BBM, Undang-Undang Migas, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Pendidikan, dan lainnya.
Dalam Islam, manusia adalah hamba. Meskipun ia memiliki akal yang jenius, tugasnya bukan untuk membuat hukum, melainkan untuk beribadah kepada Allah Swt.
Hal ini tidak akan dijumpai jika Islam diterapkan dalam konstitusi negara. Dalam Islam, kedaulatan berada pada hukum syara', yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas sebagai sumber hukum umat Muslim. Sebagaimana firman Allah Swt.:
"Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Q.S An-Nisa [4]:65)
Dalam Islam, pembuatan hukum tidak didasarkan pada suara mayoritas. Meskipun Islam mengakui musyawarah, penerapannya bukan untuk menentukan hukum syariat, melainkan untuk hal-hal seperti pembangunan infrastruktur, strategi perang, atau urusan duniawi lainnya yang tidak terkait dengan ketetapan hukum Allah Swt.
Kendati demikian, untuk mewujudkan penguasa sebagai pelayan umat, perubahan undang-undang saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistem dari demokrasi menuju sistem Islam kaffah dalam bingkai Daulah Islamiyah.
Wallahu a'lam bisshawab.
0 comments:
Posting Komentar