Oleh: Niken Ayu Puspitasari
Setiap warga negara umumnya memiliki aset, salah satunya adalah tanah milik. Tanah menjadi salah satu aset dengan nilai ekonomi tinggi yang biasa digunakan untuk berbagai keperluan, baik pribadi (seperti rumah, toko, kebun) maupun komersial (seperti tanah kavling).
Namun, tidak semua pemilik mampu mengelola tanahnya. Banyak tanah yang dibiarkan begitu saja tanpa dimanfaatkan, yang kemudian dikenal sebagai tanah telantar. Kondisi ini menjadi perhatian pemerintah karena tanah yang seharusnya produktif malah tidak dimanfaatkan.
Pemerintah telah menetapkan regulasi untuk menertibkan tanah telantar, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 20 Tahun 2021.
Menurut M. Shafik Ananta, Sekretaris Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah, ada sekitar 120.000 hektare tanah telantar di Indonesia. Pemerintah bahkan menyatakan bahwa tanah milik yang terbengkalai selama dua tahun dapat disita oleh negara. Tanah telantar ini mencakup kawasan non-hutan yang tidak memiliki hak milik atau izin dan sengaja tidak dimanfaatkan, termasuk kawasan pertambangan, perkebunan, permukiman skala besar, dan pariwisata.
Sebelum ditetapkan sebagai "tanah telantar," diperlukan inventarisasi oleh lembaga negara, kementerian, dan pemerintah daerah.
Kritik Terhadap Kebijakan Tanah Telantar
Kebijakan ini sering kali dianggap merugikan rakyat kecil. Tanah adalah sumber kehidupan bagi masyarakat, tetapi tidak semua orang memiliki modal untuk mengelolanya. Mengapa negara begitu sibuk mempermasalahkan tanah telantar milik rakyat, padahal banyak tanah dalam skema HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan) justru dikuasai oleh korporasi besar?
Kondisi ini menyebabkan rakyat kesulitan untuk memiliki lahan tempat tinggal, berdagang, dan bercocok tanam. Di sisi lain, banyak tanah negara juga mengalami nasib serupa: terbengkalai. Ironisnya, pemerintah sibuk menertibkan tanah rakyat, tetapi "melupakan" tanah negara yang telantar. Ini mencerminkan sistem kapitalis yang lebih mementingkan keuntungan finansial dan mengabaikan kewajiban terhadap rakyat.
Perbandingan dengan Sistem Islam
Sistem Islam memiliki pendekatan berbeda yang lebih mengedepankan kewajiban terhadap masyarakat. Dalam Islam, tanah terbagi menjadi dua jenis:
- Tanah Milik Pribadi (Haqqu al-Tamlik): Aset pribadi yang dapat dikelola untuk keberlanjutan hidup.
- Tanah Milik Umum (Al-Hima): Tanah yang dikelola pemerintah untuk kepentingan umum.
Tanah milik umum tidak boleh diprivatisasi, seperti air, padang rumput, dan api. Ketiganya merupakan sumber kehidupan yang menjadi hak semua masyarakat.
Islam menjunjung tinggi keadilan. Apa pun yang menjadi hak pribadi tidak boleh diambil paksa demi keuntungan personal. Namun, jika seseorang diberi amanah untuk mengelola tanah tetapi lalai, negara berhak mengambil alih dengan catatan untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat.
Penting untuk memahami hukum-hukum dalam Islam yang tidak hanya mengatur demi kepentingan pribadi. Setiap perbuatan dan tindakan akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar