Oleh: Rati Suharjo
(Pegiat Literasi)
Selama berpuluh-puluh tahun tanah Gaza telah ternoda darah. Namun, Gaza tetap berdiri tegar di tengah penderitaan yang tiada henti. Penduduknya hidup dalam bayang-bayang penindasan, tercekik oleh blokade, dan terus diteror dentuman senjata.
Di tengah derita itu, gelombang kecaman internasional semakin menguat. Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Volker Turk, pada Jumat (8/8/2025) di Jenewa mengecam rencana Israel untuk sepenuhnya mengambil alih Jalur Gaza secara militer. Ia menegaskan, langkah tersebut harus segera dihentikan karena bertentangan dengan keputusan Mahkamah Internasional yang memerintahkan Israel mengakhiri pendudukan, demi mewujudkan solusi dua negara serta menjamin hak rakyat Palestina menentukan nasibnya sendiri. (beritasatu.com, 8/8/2025)
Kritik serupa datang dari Kementerian Luar Negeri Turki yang menyebut rencana itu sebagai bagian dari tindakan genosida yang dijalankan pemerintahan Netanyahu. Turki memperingatkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga mengancam perdamaian dan keamanan global.
Indonesia pun menyuarakan penolakan keras. Pemerintah menilai langkah sepihak Israel untuk menguasai Gaza merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan Piagam PBB. Tindakan ini dinilai semakin menghambat upaya perdamaian di Timur Tengah sekaligus memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. (bbc.com, 9/8/2025)
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam wawancara dengan Fox News (Kamis, 8/8/2025), menyatakan Israel berencana mengambil kendali militer penuh atas Gaza. Ia menegaskan tidak akan menguasai Gaza secara langsung, melainkan hanya membangun zona keamanan sebelum menyerahkannya kepada pihak Arab. (cnbcindonesia, 8/8/2025)
Namun, pernyataan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Selama hampir dua tahun terakhir, operasi militer Israel justru semakin menyudutkan warga Gaza hingga ke tepi pantai. Mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan: banjir lumpur saat hujan, minim air bersih, serta kehidupan yang serba terhimpit.
Ucapan Netanyahu sejatinya tak lebih dari siasat licik untuk membius opini publik seolah Israel tidak berniat menguasai Gaza. Kenyataannya, bukti sudah terpampang jelas di hadapan dunia. Kata-kata Netanyahu hanyalah kedok kosong yang menutupi fakta kelam: Israel telah menumpahkan darah rakyat Gaza tanpa henti selama 75 tahun—sebuah tragedi kemanusiaan yang terus berulang tanpa belas kasih.
Umat Islam harus membuka mata dan hati, bahwa Gaza bukan sekadar wilayah jauh di sana. Gaza adalah bagian dari kita, darah daging kita. Luka mereka adalah luka kita, air mata mereka adalah air mata kita.
Rasulullah saw. telah bersabda:
"Perumpamaan orang-orang beriman itu ibarat satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut terjaga dan merasakan panas (kesakitan)." (HR. Muslim )
Maka, jika ada di antara kita yang diam, berpangku tangan, atau pura-pura tidak peduli terhadap penderitaan Gaza, itu sama saja dengan membiarkan bagian dari tubuh kita hancur tanpa perlawanan. Sudah saatnya kita bangkit, menggenggam kembali kehormatan, dan berdiri bersama Gaza hingga penjajahan ini sirna selamanya.
Namun, kebangkitan umat Islam hari ini tersandera oleh paham-paham sesat seperti demokrasi dan nasionalisme, yang menempatkan kedaulatan manusia di atas hukum Allah Swt. Ide-ide ini membuat umat mengutamakan batas negara dan kepentingan politik di atas persaudaraan iman, hingga membutakan mereka terhadap jeritan saudara seakidah di negeri lain. Akibatnya, lahirlah sikap acuh, perpecahan, dan hilangnya kekuatan persatuan yang seharusnya menjadi benteng umat.
Tragedi Gaza adalah bukti nyata luka umat Islam yang belum terobati. Derita rakyatnya tidak akan sirna hanya dengan kecaman, doa, atau sekadar bantuan kemanusiaan. Gaza membutuhkan kemerdekaan yang hakiki, agar setiap warganya dapat menunaikan ibadah tanpa rasa takut, serta hidup terhormat sebagaimana bangsa-bangsa merdeka di muka bumi.
Sejarah membuktikan bahwa pembebasan Palestina hanya mungkin terwujud melalui persatuan umat Islam. Khalifah Umar bin Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi telah memberikan teladan, bahwa kekuatan yang bersatu di bawah satu kepemimpinan mampu mengusir penjajah. Selama umat masih terbelah oleh batas-batas nasionalisme dan menjadikan demokrasi sebagai jalan utama, cita-cita itu hanya akan menjadi angan-angan.
Persatuan yang hakiki hanya bisa diraih dengan adanya seorang khalifah, yakni pemimpin seluruh umat Islam yang akan menggerakkan kekuatan militer untuk berjihad fi sabilillah membebaskan Gaza dari cengkeraman penjajah. Namun sebelum sampai pada tahap itu, umat Islam perlu menyatukan hati dan langkah melalui dakwah berjamaah, mengikis perbedaan yang memecah belah, serta membangun kekuatan bersama.
Penderitaan Gaza tidak akan berlangsung selamanya jika ada penguasa yang sungguh-sungguh bertekad membebaskannya. Setelah puluhan tahun terbelenggu penjajahan, maka sudah saatnya kemerdekaan itu diserukan demi mengembalikan kebebasan yang hakiki. Persatuan umat di bawah naungan khilafah adalah jalan menuju pembebasan Gaza dan Palestina.
Wallāhualam bisshawab.
0 comments:
Posting Komentar