Oleh: Rina Ummu Meta
(Pegiat Literasi AMK)
“Siapa yang menghendaki kehidupan dunia, maka harus disertai dengan ilmu, dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, juga harus dengan ilmu.”
Kutipan bijak dari Imam Syafi’i ini menegaskan bahwa ilmu adalah kunci dalam meraih kesejahteraan, baik di dunia maupun akhirat. Namun, bagaimana jika akses terhadap ilmu justru terhalang oleh kemiskinan? Inilah kenyataan pahit yang dihadapi sebagian besar rakyat negeri ini.
Ilmu pengetahuan sebagian besar diperoleh melalui pendidikan, yang merupakan wadah formal untuk mempelajari berbagai bidang secara teoritis maupun praktis. Pendidikan sangat memengaruhi kemajuan suatu bangsa dan merupakan hak serta kebutuhan dasar setiap warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Sayangnya, tidak semua warga negara beruntung dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah karena kendala biaya.
Sekolah Rakyat: Sebuah Harapan Baru?
Bagi yang memiliki cukup dana, mereka dapat dengan mudah memilih sekolah swasta favorit yang berkualitas. Namun, bagi warga miskin, harapan mereka hanyalah bisa diterima di sekolah negeri. Itupun tidak selalu berhasil, mengingat persaingan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sangat ketat. Akibatnya, banyak anak yang akhirnya putus sekolah.
Menanggapi kondisi ini, pemerintah berupaya agar warga miskin tetap dapat mengakses pendidikan yang berkualitas. Pada tahun ini, pemerintah meresmikan program Sekolah Rakyat (SR) yang mulai berjalan pada tahun ajaran baru, Juli 2025. Program ini merupakan gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.
Sekolah Rakyat adalah program pendidikan berbasis asrama dengan pembiayaan penuh, mulai dari kebutuhan sekolah, tempat tinggal, makanan, hingga kebutuhan dasar lainnya. Program ini diprioritaskan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang terdata dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) (detiknews.com, 06/07/2025). Program ini digadang-gadang mampu memutus rantai kemiskinan antargenerasi.
Tantangan dan Pertanyaan Kritis
Meskipun program ini terdengar menjanjikan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya belum berjalan optimal. Beberapa kendala yang muncul antara lain:
1. Penggabungan sekolah karena belum tersedianya bangunan yang memadai.
2. Kekurangan tenaga pendidik.
3. Siswa yang kabur dari sekolah.
4. Banyak guru yang mengundurkan diri.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: akankah program ini benar-benar berjalan sesuai harapan? Mungkinkah SR dapat benar-benar mengentaskan kemiskinan?
Perlu dipahami bahwa kemiskinan di negeri ini bukan sekadar kemiskinan biasa, melainkan kemiskinan struktural. Ini adalah kemiskinan yang timbul akibat ketidakadilan dan diskriminasi dalam akses terhadap layanan publik, termasuk kebijakan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.
Meskipun anak-anak dari keluarga miskin bisa masuk SR, hal ini belum tentu mampu mengatasi persoalan tingginya angka pengangguran, maraknya PHK, terbatasnya lapangan kerja, dan berbagai persoalan sosial lainnya. Maka, jelas bahwa SR bukanlah solusi mendasar untuk mengentaskan kemiskinan, melainkan hanya tambal sulam yang bersifat sementara dan parsial.
Akar Masalah dan Solusi Alternatif
Akar dari semua persoalan ini adalah penerapan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator bagi kepentingan oligarki. Negara memberikan kebebasan penuh kepada pemilik modal—baik individu maupun swasta—untuk mengelola dan menguasai sumber daya alam serta layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, aset-aset publik yang seharusnya dikelola negara justru dikuasai oleh swasta. Keuntungan hanya dinikmati segelintir orang, sementara rakyat harus membayar mahal untuk layanan dasar.
Sebaliknya, dalam sistem Islam, negara berperan sebagai ra’in (pengurus) yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda: “Imam adalah ra’in (pemimpin) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR. Bukhari).
Islam menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab negara, bukan komoditas. Negara berkewajiban memberikan pendidikan berkualitas dan merata, baik bagi si kaya maupun si miskin, secara gratis. Dana untuk mewujudkan pendidikan gratis bersumber dari baitul mal, yang terdiri dari pemasukan seperti fai, kharaj, jizyah, dharibah, serta dari pengelolaan kepemilikan umum (sumber daya alam, tambang, gas, minyak, hutan, laut, dll). Semua dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Negara juga wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui penyediaan lapangan kerja yang luas dan merata, sehingga pengangguran bisa ditekan bahkan dihilangkan. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, negara tidak hanya menjamin pendidikan gratis dan berkualitas, tetapi juga memastikan kesejahteraan sosial yang adil dan merata. Dengan demikian, tidak akan ada lagi warga yang hidup dalam kemiskinan dan kemiskinan ekstrem.
Wallahu a'lam bishshawwab.

.jpg)
0 comments:
Posting Komentar