SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Sabtu, 18 Oktober 2025

Oleh: Rati Suharjo Pengamat Kebijakan Publik




Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seolah menjadi saksi bisu runtuhnya harapan para penimba ilmu. Bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny ambruk ketika para santri tengah khusyuk menunaikan salat Asar di mushala lantai satu. Dalam sekejap, tempat suci itu berubah menjadi puing-puing kematian. Tragedi ini menelan 167 korban, dengan 67 santri meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Ironisnya, peristiwa memilukan itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi benteng moral dan ilmu—bukan kuburan massal bagi para penuntut ilmu.

Analisis Kegagalan Struktural dan Kelalaian Pengawasan

Bangunan pesantren tersebut awalnya hanya dua lantai, namun sedang dalam proses renovasi menjadi tiga hingga empat lantai. Berdasarkan temuan awal, pondasi dan struktur penyangga tidak dirancang untuk menahan beban tambahan. Kegagalan struktur pada kolom, balok, serta plat lantai menjadi penyebab utama ambruknya gedung. Lebih tragis lagi, meski renovasi sedang berjalan, aktivitas para santri tetap berlangsung seperti biasa—tanpa pengamanan atau penutupan area rawan. Saat bangunan runtuh, evakuasi berlangsung sulit karena banyak korban tertimbun reruntuhan beton dan besi. (Sumber: detiknews.com, 30/9/2025)

Tragedi ini bukan kasus tunggal. Banyak pondok pesantren di Indonesia beroperasi tanpa izin bangunan (IMB/PBG), tanpa sertifikasi kelayakan struktural, dan tanpa pengawasan teknis dari dinas terkait. Akibatnya, bangunan pendidikan bisa berdiri hanya berlandaskan niat baik—bukan standar keselamatan.

Tragedi Al-Khoziny sebagai Cermin Abainya Negara

Peristiwa ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi negara yang selama ini abai terhadap sektor pendidikan. Ia bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan cermin nyata lemahnya peran negara dalam menjamin keselamatan rakyatnya.

Di atas kertas, demokrasi menjanjikan pemerataan layanan publik, termasuk pendidikan. Namun realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Dalam sistem demokrasi, pendidikan sering kali diserahkan kepada mekanisme pasar dan inisiatif masyarakat, bukan tanggung jawab penuh negara. Akibatnya, banyak pesantren dan sekolah rakyat bergantung pada dana swadaya, wakaf, atau sumbangan masyarakat lokal, dengan fasilitas seadanya. Karena keterbatasan biaya, mereka tidak mampu menyewa arsitek, insinyur, atau konsultan struktur profesional. Lalu muncullah praktik “bangun sendiri, asal jadi” yang pada akhirnya memakan korban jiwa.

Lebih parah lagi, kebijakan pendidikan di negeri ini sering berorientasi politis dan elitis, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Pendidikan dijadikan komoditas, bukan hak dasar. Akibatnya, biaya pendidikan melambung tinggi, akses terbatas, dan mutu pendidikan justru semakin timpang antara kaya dan miskin.

Peran Negara dalam Pendidikan Menurut Sistem Islam

Berbeda dengan sistem demokrasi yang menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab individu atau swasta, Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara secara penuh. Negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang gratis, aman, dan berkualitas bagi seluruh rakyat, tanpa memandang strata sosial.

Pada masa Khilafah Abbasiyah (750–1258 M), tanggung jawab ini dijalankan secara nyata. Khalifah seperti Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun mendirikan lembaga pendidikan dan riset berkelas dunia, seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Pendidikan disediakan gratis, tenaga pengajar digaji oleh negara, dan riset didanai penuh dari baitul mal. Dari sistem ini lahir para ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Biruni, yang ilmunya menjadi fondasi sains modern.

Islam menegaskan bahwa negara bukan hanya pengatur, tetapi pelindung dan penjamin hak rakyat untuk memperoleh ilmu. Ketika syariat Islam ditegakkan, pendidikan bukan barang mewah, melainkan hak seluruh umat manusia.

Solusi Sistemik: Kembali kepada Syariat Islam

Tragedi runtuhnya Ponpes Al-Khoziny bukan sekadar cerita duka. Ia adalah cermin retak dari sistem yang gagal melindungi generasi bangsa. Jika negara terus abai dan menyerahkan pendidikan pada mekanisme pasar, maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang.

Sudah saatnya negeri ini kembali pada sistem yang menempatkan ilmu dan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama—bukan pada kepentingan politik atau kapital. Yaitu dengan sistem Islam dalam bingkai Daulah Islamiyyah yang adil dan menyeluruh, yang mampu menjamin pendidikan aman, berkualitas, dan gratis untuk seluruh rakyatnya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Jumat, 17 Oktober 2025

Oleh: Rita Handayani 

(Penulis)



Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk merevisi regulasi yang kini mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) atau ekspatriat memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (KOMPAS.com, 17 Oktober 2025) merupakan titik balik krusial dalam tata kelola kekayaan negara. Kebijakan ini, yang disokong dalih untuk mencapai "standar bisnis internasional," harus disikapi dengan kritis. Dalam perspektif Islam Kaffah, langkah ini bukan sekadar urusan profesionalisme, tetapi adalah ancaman serius terhadap kedaulatan ekonomi umat.

BUMN: Harta Milik Umum yang Wajib Dilindungi

Dalam hukum Islam (Syariah), BUMN yang mengelola sumber daya vital (seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur strategis seperti maskapai Garuda Indonesia) dikategorikan sebagai Harta Milik Umum (Milkiyah ‘Ammah). Konsekuensinya:

  1. Pengelolaan adalah Amanah Negara: Harta milkiyah ‘ammah wajib dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk mencari laba maksimal (profit-oriented) seperti perusahaan swasta di bawah sistem kapitalisme.
  2. Kedaulatan di Tangan Umat: Kepemilikan dan kendali atas aset strategis ini harus berada di tangan umat Islam.

Ketika Presiden menyatakan bahwa regulasi telah diubah agar "ekspatriat, non-Indonesia bisa memimpin BUMN kita," ini secara substansi adalah penyerahan amanah kekuasaan (wilayah) atas aset umat kepada pihak asing.

Bahaya Pokok (Ancaman) Pimpinan Asing Menurut Syariah

Mengangkat WNA, yang notabene tidak terikat pada akidah dan hukum Islam, ke posisi puncak BUMN menimbulkan dua ancaman fundamental:

1. Ancaman terhadap Kedaulatan Politik dan Ekonomi

Keputusan strategis BUMN sangat memengaruhi kebijakan nasional. Apabila puncak kepemimpinan diisi oleh WNA, mereka berpotensi besar membawa kepentingan geopolitik dan ekonomi negara asalnya atau kepentingan korporasi global.

Dalam fiqih siyasah (politik Islam), jabatan kepemimpinan strategis dilarang diserahkan kepada non-Muslim, apalagi WNA. Mengapa? Karena pemimpin di posisi puncak adalah pembuat keputusan yang akan menentukan arah kebijakan, yang harus tunduk sepenuhnya pada kemaslahatan umat.

  • Pelemahan Posisi Tawar: Ekspatriat yang ditunjuk mungkin menjadi jembatan bagi perusahaan atau kekuatan asing untuk mengamankan kontrak, sumber daya, dan pasar, yang pada akhirnya merugikan negara.
  • Alih-Fungsi Aset: WNA yang berorientasi kapitalis akan cenderung memprioritaskan laba dan divestasi (penjualan aset) demi efisiensi, mengabaikan fungsi sosial BUMN sebagai penyedia layanan dasar dan stabilitas ekonomi nasional.

2. Penolakan terhadap Profesionalisme Lokal

Dalih untuk merekrut "talenta-talenta terbaik" menunjukkan kelemahan internal yang diselesaikan dengan cara yang keliru. Islam Kaffah tidak menolak profesionalisme; sebaliknya, Islam memerintahkan penggunaan ahli (kafa'ah) dan orang yang berintegritas (amanah).

Jika memang talenta lokal tidak memadai, solusi Islam adalah:

  1. Reformasi Pendidikan Total: Membangun sistem pendidikan yang mencetak ahli dan profesional Muslim dengan standar keilmuan tertinggi, yang juga terikat pada etika syariah.
  2. Pemanfaatan Tenaga Ahli (Konsultan): Tenaga ahli asing dapat digunakan sebagai konsultan atau tenaga alih teknologi dengan kontrak jelas. Namun, kekuasaan pengambilan keputusan dan kepemimpinan wajib dipegang oleh kaum Muslim yang berjuang untuk tegaknya syariat.

Kapitalisme Gagal: Kepemimpinan BUMN Harus Kembali ke Syariah

Kebijakan Direksi WNA adalah gejala dari sistem kapitalisme sekuler yang telah gagal. Kapitalisme mendefinisikan keberhasilan negara dari besaran laba (return) BUMN, bukan dari terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Oleh karena itu, BUMN dianggap setara dengan perusahaan swasta yang boleh dipimpin siapapun asal menguntungkan.

Islam memberikan solusi tuntas:

  • Kepemimpinan Berbasis Iman dan Kompetensi: Pemimpin BUMN haruslah Muslim yang memiliki kompetensi teknis sekaligus integritas moral tinggi (kafa'ah dan amanah), sesuai tuntutan syariah.
  • Pengelolaan Berbasis Kemaslahatan: BUMN dikelola untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa publik yang stabil dan terjangkau, serta menjadi sumber utama pendanaan negara (Baitul Mal), bukan sekadar lahan bisnis asing.

Umat Islam wajib menolak kebijakan yang secara ideologis melemahkan kedaulatan ekonomi bangsa. Hanya dengan kembali pada syariat Islam Kaffah, kedaulatan atas harta milik umum dapat dipertahankan, dan kepemimpinan BUMN dapat dijamin integritasnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan kepentingan asing.

Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M. (Praktisi Pendidik dan Pemerhati Masyarakat)




Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan dengan tren Rp10.000 di tangan istri yang tepat. Banyak ibu rumah tangga membuat konten yang menggambarkan bagaimana mereka berusaha mengatur uang sepuluh ribu rupiah untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang menjadikannya tantangan belanja cerdas, ada pula yang memaknainya sebagai satire halus terhadap kenyataan pahit: di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, uang sepuluh ribu kini tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga.


Sebagian ibu benar-benar mencoba menunjukkan kreativitas dan kemampuan manajemen rumah tangga mereka. Namun, di balik itu, ada pesan getir yang terselip. Bagaimana mungkin rakyat harus bertahan hidup dengan nominal sekecil itu, sementara kebutuhan pokok terus melambung dan lapangan kerja semakin sempit? Apakah cukup hanya dengan istri yang tepat untuk menyelesaikan masalah struktural ekonomi yang carut-marut?


Fenomena ini sejatinya mencerminkan satire sosial atas kegagalan sistem ekonomi sekuler kapitalistik. Sistem yang selama ini diterapkan di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia—menjadikan uang dan materi sebagai pusat kehidupan—telah menciptakan ketimpangan luar biasa. Kekayaan menumpuk pada segelintir elite dan korporasi besar, sedangkan rakyat kecil semakin terhimpit oleh biaya hidup, pajak, dan harga kebutuhan yang tak terkendali.


Ekonomi Sekuler: Sistem yang Tak Pernah Berpihak pada Rakyat


Sistem ekonomi sekuler memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, kebijakan ekonomi disusun bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi kepentingan pasar dan investasi. Pemerintah lebih sibuk menarik modal asing, memberi karpet merah bagi investor, sementara petani, buruh, dan pedagang kecil dibiarkan berjuang sendiri dalam kerasnya persaingan.


Akibat dari paradigma sekuler ini bisa kita rasakan hari ini:

  • Harga bahan pokok tak sebanding dengan pendapatan masyarakat.
  • Angka pengangguran terus meningkat.
  • Kesenjangan sosial makin lebar, dan
  • Kemiskinan menjadi warisan antargenerasi.

Faktanya, sebagian besar sumber daya alam dikuasai swasta dan asing. Tambang emas, batu bara, minyak, bahkan air dikelola korporasi yang berorientasi pada laba. Rakyat hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Inilah bukti bahwa sistem ekonomi kapitalis telah gagal total dalam mewujudkan kesejahteraan. Ia hanya melahirkan kesenjangan, bukan keadilan.


Islam: Sistem Ekonomi yang Adil dan Manusiawi, sebagai aturan dari Sang Pencipta


Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam memiliki politik ekonomi yang khas dan manusiawi. Islam tidak menilai kesejahteraan dari besarnya PDB atau pertumbuhan ekonomi, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Negara dalam pandangan Islam wajib meriayah (mengurus) rakyatnya, memastikan setiap orang mendapatkan akses terhadap sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.


Nabi Muhammad ï·º sendiri mencontohkan bagaimana negara Islam pertama di Madinah mengatur ekonomi dengan prinsip keadilan dan keberkahan. Rasulullah ï·º:

  1. Menetapkan kepemilikan publik dan negara. Sumber daya alam seperti air, padang rumput, dan api (energi) tidak boleh dimonopoli. Semua itu harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.
  2. Melarang riba dan penimbunan harta. Sistem bunga dan spekulasi yang menjadi tulang punggung ekonomi kapitalis justru menjadi sebab kesengsaraan umat. Dalam Islam, uang tidak boleh menjadi komoditas, melainkan alat tukar yang adil.
  3. Menegakkan zakat dan distribusi kekayaan. Zakat bukan sekadar amal, melainkan instrumen ekonomi yang mendistribusikan kekayaan dari orang mampu kepada yang membutuhkan.
  4. Menjamin pekerjaan bagi laki-laki dewasa. Negara Islam bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja dan memberi bantuan bagi yang belum mampu bekerja.
  5. Menyediakan kebutuhan dasar secara gratis. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara, bukan dikomersialisasi seperti saat ini.

Bukti Historis Kesejahteraan di Bawah Sistem Ekonomi Islam


Bukti nyata dari penerapan sistem ekonomi Islam dapat kita lihat pada masa Khilafah Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz. Pada masa Umar bin Khaththab, Baitul Mal (perbendaharaan negara) berfungsi optimal dalam mendistribusikan kekayaan. Beliau menolak memungut pajak dari rakyat yang sedang kesulitan dan memastikan setiap orang, termasuk non-Muslim, mendapatkan haknya.


Sementara itu, pada masa Umar bin Abdul Aziz, keadilan ekonomi mencapai puncaknya. Dikisahkan bahwa pada masa pemerintahannya, nyaris tidak ada lagi rakyat yang mau menerima zakat, karena semua sudah tercukupi kebutuhannya. Gaji pegawai dinaikkan, harga stabil, dan negara tidak berutang kepada siapa pun. Semua itu karena Islam diterapkan secara kaffah, bukan setengah hati.


Bandingkan dengan kondisi sekarang. Meski teknologi semakin maju dan sumber daya alam melimpah, kemiskinan tetap menjadi momok. Ini menunjukkan bahwa bukan karena kurangnya potensi, tetapi karena sistem yang salah. Selama kita masih berpegang pada sistem sekuler kapitalistik, penderitaan ekonomi akan terus berulang dalam berbagai bentuk.


Menuju Solusi Sistemik: Kembali kepada Islam Kaffah


Islam bukan sekadar sistem spiritual, tetapi juga sistem hidup yang menyeluruh (kaffah). Al-Qur’an telah memberikan pedoman yang sempurna tentang bagaimana mengatur harta, berdagang, hingga menyalurkan rezeki. Ketika Al-Qur’an dijadikan dasar kebijakan, maka akan lahir pemimpin yang amanah, rakyat yang jujur, dan ekonomi yang penuh keberkahan.


Sudah saatnya umat menyadari bahwa Islam bukan hanya agama pribadi, tetapi sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia, termasuk kemiskinan. Nabi Muhammad ï·º telah mencontohkan bagaimana sebuah negara yang berlandaskan wahyu mampu menyejahterakan rakyatnya. Para khalifah setelah beliau meneruskan sistem itu dengan adil dan amanah.


Maka, solusi atas kemiskinan dan pengangguran bukan sekadar program bantuan sosial atau kampanye moral untuk hemat. Solusi satu-satunya adalah kembali pada sistem Islam secara kaffah, di mana negara menjalankan fungsi pengurusan rakyat berdasarkan syariat, bukan kepentingan pasar. Dalam sistem itu, setiap individu dijamin kebutuhannya, setiap sumber daya dikelola untuk kemaslahatan umum, dan setiap kebijakan berpijak pada keadilan Ilahi. Wallahu alam.


Oleh: Rosy Anna A.Md.M 

(Penulis dan Aktivis Kota Cepu)




Akhir-akhir ini media sosial kembali dihebohkan dengan adanya tagar #BoikotTrans7 di Instagram, Facebook, dan Tiktok. Tagar ini menjadi bentuk protes netizen, terutama bagi kalangan santri maupun masyarakat pesantren.

Kisruh bermula dari program Xpose di Trans7 yang menayangkan kehidupan santri yang bersalaman dengan cara jongkok atau menunduk di hadapan guru dan kyai. Bagi sebagian orang, hal ini tampak sebagai bentuk adab dan penghormatan. Namun bagi sebagian lainnya, hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah ini warisan ketulusan atau sisa feodalisme yang tidak disadari?

Batas Tipis Antara Adab dan Feodalisme Budaya

Dalam lingkungan pesantren, penghormatan kepada guru memang menjadi bagian penting dalam pendidikan adab. Namun, penghormatan yang menekankan kerendahan fisik seperti jongkok atau ngesot perlu dicari tahu kembali dalam konteks ajaran Islam yang menegaskan kesetaraan manusia di hadapan Allah.

Dalam Islam, adab memang penting, tetapi tidak dengan menghilangkan martabat manusia. Adab tak berarti tunduk, hormat tidak berarti merendahkan. Adab seharusnya menumbuhkan rasa hormat dan cinta karena ilmu, bukan rasa takut atau ketundukan sosial. Bila penghormatan berubah menjadi pengagungan atau pengkultusan manusia, maknanya berubah dari adab menjadi feodalisme budaya.

Keteladanan Rasulullah dalam Menolak Penghormatan Berlebihan

Rasulullah adalah suri teladan kita, seharusnya kita belajar dari beliau, yang menolak bentuk penghormatan berlebihan. Ketika para sahabat ingin berdiri, menunduk, atau memperlakukan beliau seperti raja, Nabi menegur dan melarangnya. Beliau menegaskan bahwa bentuk penghormatan sejati bukan pada posisi tubuh, melainkan pada ketulusan hati dan ketaatan pada nilai.

Islam mengajarkan untuk menghormati guru tanpa kehilangan kesetaraan antar sesama manusia. Al-Qur'an telah menegaskan bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh takwa, bukan gelar, jabatan, maupun derajat manusia.

Menjaga Martabat Diri dalam Bingkai Adab dan Tauhid

Menghormati guru dan ulama adalah bagian adab, namun penghormatan itu tidak boleh merendahkan martabat diri. Guru dimuliakan karena ilmu dan keteladanan. Bukan status atau jabatan. Adab lahir dari tauhid, akan kesetaraan manusia dihadapan Allah.

Wallahualam bishawab.







Kamis, 09 Oktober 2025


Oleh: Anizah

(Aktivis dan Penulis)




Praktik kumpul kebo atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, dulunya dianggap sebagai aib sosial yang besar. Pelakunya bisa mendapat stigma, dikucilkan, bahkan diusir dari lingkungan tempat tinggalnya. Namun hari ini, fenomena tersebut justru mulai dianggap lumrah dan bahkan menjadi tren, terutama di kalangan remaja dan milenial.

Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari alasan ekonomi hingga keinginan untuk saling mengenal lebih jauh sebelum menikah. Istilah "kumpul kebo" pun kini bergeser menjadi living together, sebuah istilah yang terkesan lebih modern, keren, dan trendy.

Namun, benarkah tinggal bersama sebelum menikah akan membuat pasangan lebih saling mengenal dan memperkuat hubungan? Faktanya, tidak sedikit kasus kekerasan bahkan pembunuhan yang bermula dari hubungan semacam ini.

Potret Buram Gaya Hidup Bebas

Contoh nyata adalah kasus pembunuhan sadis yang terjadi pada akhir Agustus lalu. Seorang pria bernama Alvi Maulana (24) membunuh kekasihnya, TAS (25), yang merupakan pasangan kumpul kebo. Tragisnya, korban dimutilasi hingga ratusan potong.

Peristiwa ini mengguncang masyarakat, menjadi potret buram dari gaya hidup bebas tanpa ikatan pernikahan. Dan ini bisa jadi hanyalah satu dari sekian banyak kasus kejahatan moral yang tidak terekspos media.

Akar Masalah: Sistem Kapitalis Sekuler

Fenomena ini tidak lepas dari sistem hidup yang dianut masyarakat saat ini, yakni sistem kapitalis sekuler. Sistem ini menempatkan kebebasan individu di atas segalanya, termasuk dalam hal moral dan gaya hidup. Agama dipisahkan dari kehidupan publik dan pemerintahan, sehingga standar benar atau salah ditentukan oleh manusia, bukan oleh wahyu atau nilai-nilai ilahi.

Dalam sistem ini, pacaran dan tinggal bersama tanpa pernikahan dianggap hal biasa. Media, pendidikan, dan budaya populer seolah melegitimasi gaya hidup bebas ini. Kurikulum pendidikan semakin sekuler, nilai-nilai agama dikikis, dan pendidikan Islam hanya diajarkan secara dangkal, tidak menyentuh akar pembentukan keimanan dan moral.

Negara pun dianggap gagal dalam membentengi generasi muda dari pengaruh pergaulan bebas dan pornografi. Sanksi hukum terhadap kumpul kebo pun lemah. Berdasarkan Pasal 411 ayat (1) dan Pasal 416 KUHP, pelaku hanya dapat dipenjara maksimal satu tahun atau didenda maksimal sepuluh juta rupiah, dan itu pun hanya jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan secara langsung. Masyarakat umum tidak memiliki kewenangan hukum untuk melaporkan.

Amar ma’ruf nahi munkar pun kian tergerus. Masyarakat yang berani menegur perbuatan maksiat justru kerap dianggap ikut campur urusan pribadi, bahkan bisa dilaporkan balik.

Solusi Islam Menutup Pintu Perzinahan

Islam memandang zina sebagai perbuatan keji dan dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra ayat 32:

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Islam tidak hanya melarang zina, tetapi juga menutup semua jalan menuju perzinaan, termasuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Dalam sistem Islam, negara bertugas sebagai penjaga moral rakyat.

Melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, generasi dididik agar memiliki keimanan yang kuat dan menjauhi perbuatan maksiat. Media, konten, dan pergaulan pun diatur agar tidak merusak akhlak masyarakat. Masyarakat didorong untuk aktif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan. Sanksi tegas juga diberlakukan untuk memberikan efek jera, yakni 100 kali cambukan bagi pezina belum menikah, dan rajam bagi pezina yang telah menikah.

Semua itu hanya bisa terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai institusi negara, yaitu Khilafah. Tanpa penerapan sistem ini, upaya menghapus praktik perzinaan hanya akan jadi mimpi kosong.

Khatimah

Fenomena kumpul kebo bukan sekadar masalah gaya hidup atau pilihan pribadi, melainkan bagian dari krisis moral yang lebih besar akibat diterapkannya sistem sekuler. Solusi tuntas terhadap masalah ini bukan dengan sekadar memperkuat hukum atau kampanye moral, melainkan dengan mengganti sistem kehidupan yang ada saat ini dengan sistem Islam yang paripurna.

Oleh: Arimbi N.U

(Aktivis Kota Blora)




Setiap hari, berita dari Gaza semakin memilukan. Reruntuhan bangunan menjadi saksi bisu atas kezaliman yang di luar nalar. Entitas Zionis yang didukung oleh Amerika Serikat terus meningkatkan serangan brutal, bertekad mengosongkan Gaza dari seluruh penduduknya. Sementara itu, dunia hanya menonton. Tak satu pun negara benar-benar berani berdiri di sisi Gaza. Mereka mencari "jalan aman" dengan diam atau memilih "solusi dua negara."

Ilusi Bernama "Solusi Dua Negara"

"Solusi dua negara" bukanlah jalan keluar, melainkan sebuah bentuk keputusasaan Amerika terhadap keteguhan rakyat Gaza dan para mujahidin yang tidak pernah tunduk. Setelah berbagai tekanan, blokade, dan serangan tak mampu membuat mereka menyerah, kini muncul ilusi baru bahwa perdamaian akan tercapai jika Palestina diberi sebagian kecil tanah untuk disebut sebagai "negara merdeka."

Namun, di balik kalimat manis itu tersembunyi fakta pahit: Pengakuan kemerdekaan Palestina dalam versi dua negara berarti pengakuan atas pencaplokan 70 hingga 80 persen wilayah kaum Muslimin oleh entitas Yahudi. Ini bukanlah kemenangan diplomasi, melainkan penyerahan diri secara halus, yang dibungkus dengan nama "perdamaian."

Tragisnya, gagasan ini tidak hanya datang dari Barat. Para pemimpin negeri-negeri Muslim pun ikut menyuarakannya, termasuk Indonesia. Mereka menyebutnya langkah realistis, padahal hakikatnya justru menjauhkan umat dari jalan pembebasan sejati. Seruan "dua negara" hanyalah pengkhianatan terhadap darah syuhada yang telah tumpah demi tanah suci Palestina. Bagaimana mungkin kita berbagi rumah dengan pencuri?

Penjajahan Tak Pernah Berakhir dengan Diplomasi

Sejarah membuktikan bahwa penjajahan tidak pernah berakhir dengan diplomasi yang tunduk pada logika penjajah. Tidak ada penindas yang rela mengembalikan hak hanya karena negosiasi. Zionis tidak pernah berkompromi. Mereka bergerak dengan ideologi, misi, dan dukungan sistem global yang menopangnya. Maka, mustahil Gaza bisa bebas hanya dengan perundingan dan kesepakatan damai.

Solusi sejati bagi Gaza tidak akan lahir dari PBB. Bukan pula dari para pemimpin yang takut kehilangan kursinya. Solusi itu hanya mungkin datang ketika kaum Muslim kembali mengambil peran sebagai pelindung bagi saudaranya.

Solusi Sejati: Jihad dan Tegaknya Khilafah

Solusi atas genosida di Gaza adalah pengerahan pasukan kaum Muslim untuk berjihad fi sabilillah. Bukan perang demi kekuasaan, tetapi perang untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Kaum Muslim sejatinya sangat mampu melawan Zionis. Dengan potensi militer, sumber daya, dan kekuatan iman yang mereka miliki, andai saja ada satu komando yang menyatukan mereka, kemenangan bisa diraih. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Umatku seperti satu tubuh." Bila satu bagian sakit, seluruhnya akan merasakan nyeri.

Namun, saat ini tubuh itu tercerai-berai. Tidak ada satu institusi pun yang benar-benar menjadi penjaga bagi umat Islam, tidak ada yang memimpin pasukan untuk membela Gaza.

Karena itu, seharusnya kaum Muslim menuntut tegaknya Khilafah Islamiyah. Institusi inilah yang akan mempersatukan negeri-negeri Muslim di bawah satu kepemimpinan, satu panji, satu tujuan. Hanya dengan Khilafah, jihad bisa menjadi realitas, bukan sekadar seruan emosional. Hanya dengan Khilafah, potensi umat dapat diarahkan untuk melindungi kehormatan Islam dan kaum Muslimin. Dalam sistem itu, tidak akan ada lagi perbatasan yang memisahkan antara "mereka" dan "kita," sebab seluruhnya adalah satu umat.

Khilafah bukanlah mimpi utopis. Ia adalah janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah SAW. Ia pernah ada, pernah memimpin dunia dengan keadilan, dan akan kembali tegak ketika umat ini sadar bahwa tidak ada kemuliaan tanpa Islam sebagai sistem yang menyeluruh.

Jalan Pembebasan Sejati

Sementara dunia terus menipu kita dengan "solusi dua negara," marilah kita kembali kepada janji Allah bahwa kemenangan hanya milik mereka yang beriman dan berjuang di jalan-Nya. Gaza tidak butuh simpati kosong. Gaza butuh kepemimpinan yang membawa seluruh umat bersatu di bawah panji Rasulullah SAW.

Saatnya berhenti berharap pada solusi yang lahir dari tangan penjajah. Saatnya umat Islam kembali mengambil peran sebagai pembela kebenaran dan penegak keadilan sejati. Karena hanya dengan Islam, perjuangan Gaza akan menemukan arti, dan bumi Palestina akan benar-benar merdeka.

Wallahu a'lam bi showab.

Jumat, 03 Oktober 2025

Oleh:  Rati Suharjo 

(Pengamat Kebijakan Publik)





Sepanjang tahun 2025, Indonesia diguncang serangkaian kasus pembunuhan disertai mutilasi yang mengerikan. Peristiwa-peristiwa ini bukan sekadar kriminalitas biasa, melainkan potret runtuhnya moral generasi muda di tengah gaya hidup bebas dan sekularisme yang kian mengakar. Fenomena mutilasi menjadi alarm keras bahwa nilai agama dan kemanusiaan telah tergeser oleh budaya kebebasan tanpa batas.

Rentetan Tragedi Kemanusiaan

Rentetan kasus mutilasi ini menorehkan luka mendalam dan menampilkan wajah kelam generasi muda yang kehilangan kendali moral dan rasa kemanusiaan:

  • Ngawi, Jawa Timur: Publik dikejutkan oleh pembunuhan Uswatun Khasanah oleh RTH alias Antok yang kemudian memasukkan jasad korban ke dalam koper.
  • Jombang, Jawa Timur: Agus Soleh tewas di tangan Eko Fitrianto, di mana kepala korban dipenggal hanya karena perselisihan sepele.
  • Serang, Banten: Kasus SA, seorang perempuan hamil yang dicekik pacarnya ML lalu dimutilasi karena desakan menikah.
  • Padang Pariaman, Sumatera Barat: SJ membunuh tiga orang, termasuk SA, lalu memotong jasad korban menjadi sepuluh bagian hanya karena persoalan utang.
  • Surabaya, Jawa Timur: Alvi Maulana (24) membunuh pacarnya, Tiara (25), lalu memutilasi jasadnya menjadi ratusan potongan yang disebar ke berbagai lokasi (detikNews, 8/9/2025).

Rangkaian kasus ini memperlihatkan bahwa fenomena mutilasi tidak bisa dipandang sebagai kasus kriminal semata, melainkan gejala rapuhnya fondasi moral generasi.

Akar Persoalan: Rapuhnya Fondasi Moral

Ada akar persoalan yang jauh lebih mendasar yang berkontribusi pada krisis moral ini:

  1. Sekularisme yang Mengikis Peran Agama: Nilai halal dan haram tidak lagi dijadikan batasan, melainkan dianggap penghalang kebebasan.
  2. Normalisasi Kohabitasi (Kumpul Kebo): Budaya ini menormalisasi hubungan tanpa ikatan pernikahan. Akibatnya, generasi muda terbiasa hidup tanpa komitmen dan tanggung jawab.
  3. Hilangnya Praktik Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Masyarakat cenderung permisif, membuat penyimpangan seperti zina, pergaulan bebas, hingga kekerasan semakin subur.
  4. Lemahnya Penegakan Hukum: Hukuman yang ringan tidak memberi efek jera bagi pelaku kejahatan, menambah keruh keadaan.

Semua faktor ini berpadu membentuk generasi yang menuhankan kebebasan, tetapi kehilangan akhlak, kendali diri, dan nurani kemanusiaan. Padahal, Islam telah menegaskan bahwa membunuh satu jiwa setara dengan membunuh seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32).

Solusi Islam: Mengembalikan Kontrol Moral Generasi

Di tengah krisis moral ini, Islam menawarkan solusi menyeluruh yang menyentuh ranah individu, keluarga, masyarakat, hingga negara:

1. Pembinaan Individu dan Keluarga

  • Pembinaan Akidah dan Akhlak: Islam menekankan pentingnya pembinaan ini sejak dini. Rasulullah ï·º bersabda bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan orang tuanyalah yang membentuknya. Tanggung jawab orang tua dalam menanamkan iman, ibadah, dan akhlak mulia tidak bisa digantikan.
  • Pernikahan sebagai Benteng Moral: Islam menjadikan pernikahan sebagai jalan halal untuk menyalurkan naluri biologis (QS. An-Nur: 32) dan mengharamkan zina (QS. Al-Isra: 32). Pernikahan melahirkan keluarga yang menjadi benteng pertama pembinaan generasi. Hilangnya komitmen terhadap pernikahan dan maraknya kohabitasi justru membuka pintu kerusakan moral.

2. Penegakan Hukum dan Pencegahan Sosial

  • Hukum Hudud dan Qishas: Islam menetapkan hukum setimpal sebagai bentuk perlindungan nyawa dan kehormatan, sekaligus memberi efek jera (QS. Al-Baqarah: 178–179 dan QS. Al-Maidah: 45). Qishas bukanlah balas dendam, melainkan sarana menjaga kehidupan. Tanpa penerapan hukum yang tegas, pelaku kejahatan akan merasa aman.
  • Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Ini adalah kewajiban kolektif masyarakat. Setiap individu memiliki peran menjaga lingkungannya. Rasulullah ï·º menegaskan bahwa siapa saja yang melihat kemungkaran harus mencegahnya dengan tangan, lisan, atau minimal dengan hati. Apabila praktik ini hilang, kejahatan seperti mutilasi akan terus bermunculan.

Mutilasi: Pelanggaran Syariat yang Serius

Islam secara tegas melarang praktik mutilasi. Rasulullah ï·º melarang mutilasi bahkan dalam peperangan (HR Ahmad). Dalam riwayat lain, beliau menyamakan mematahkan tulang mayat dengan mematahkan tulang orang hidup (HR Malik, At-Tirmidzi). Larangan ini menegaskan betapa Islam menjunjung tinggi kehormatan manusia, baik saat hidup maupun setelah mati. Dengan demikian, praktik mutilasi bukan hanya kejahatan hukum, tetapi juga pelanggaran syariat yang serius.

Tragedi mutilasi sejatinya adalah alarm keras bahwa kontrol moral generasi telah runtuh. Menangisi korban atau memperberat pasal pidana tidak akan cukup jika akar masalah tidak diselesaikan. Solusi sejati hanya akan hadir dengan mengembalikan kehidupan pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Penerapan syariat Islam secara kaffah akan membangun generasi yang memiliki benteng akidah, akhlak, dan hukum yang tegas. Tanpa itu, bangsa ini hanya akan terus menjadi saksi tragedi kemanusiaan yang mengerikan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts