Oleh: Rati Suharjo Pengamat Kebijakan Publik
Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seolah menjadi saksi bisu runtuhnya harapan para penimba ilmu. Bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny ambruk ketika para santri tengah khusyuk menunaikan salat Asar di mushala lantai satu. Dalam sekejap, tempat suci itu berubah menjadi puing-puing kematian. Tragedi ini menelan 167 korban, dengan 67 santri meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Ironisnya, peristiwa memilukan itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi benteng moral dan ilmu—bukan kuburan massal bagi para penuntut ilmu.
Analisis Kegagalan Struktural dan Kelalaian Pengawasan
Bangunan pesantren tersebut awalnya hanya dua lantai, namun sedang dalam proses renovasi menjadi tiga hingga empat lantai. Berdasarkan temuan awal, pondasi dan struktur penyangga tidak dirancang untuk menahan beban tambahan. Kegagalan struktur pada kolom, balok, serta plat lantai menjadi penyebab utama ambruknya gedung. Lebih tragis lagi, meski renovasi sedang berjalan, aktivitas para santri tetap berlangsung seperti biasa—tanpa pengamanan atau penutupan area rawan. Saat bangunan runtuh, evakuasi berlangsung sulit karena banyak korban tertimbun reruntuhan beton dan besi. (Sumber: detiknews.com, 30/9/2025)
Tragedi ini bukan kasus tunggal. Banyak pondok pesantren di Indonesia beroperasi tanpa izin bangunan (IMB/PBG), tanpa sertifikasi kelayakan struktural, dan tanpa pengawasan teknis dari dinas terkait. Akibatnya, bangunan pendidikan bisa berdiri hanya berlandaskan niat baik—bukan standar keselamatan.
Tragedi Al-Khoziny sebagai Cermin Abainya Negara
Peristiwa ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi negara yang selama ini abai terhadap sektor pendidikan. Ia bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan cermin nyata lemahnya peran negara dalam menjamin keselamatan rakyatnya.
Di atas kertas, demokrasi menjanjikan pemerataan layanan publik, termasuk pendidikan. Namun realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Dalam sistem demokrasi, pendidikan sering kali diserahkan kepada mekanisme pasar dan inisiatif masyarakat, bukan tanggung jawab penuh negara. Akibatnya, banyak pesantren dan sekolah rakyat bergantung pada dana swadaya, wakaf, atau sumbangan masyarakat lokal, dengan fasilitas seadanya. Karena keterbatasan biaya, mereka tidak mampu menyewa arsitek, insinyur, atau konsultan struktur profesional. Lalu muncullah praktik “bangun sendiri, asal jadi” yang pada akhirnya memakan korban jiwa.
Lebih parah lagi, kebijakan pendidikan di negeri ini sering berorientasi politis dan elitis, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Pendidikan dijadikan komoditas, bukan hak dasar. Akibatnya, biaya pendidikan melambung tinggi, akses terbatas, dan mutu pendidikan justru semakin timpang antara kaya dan miskin.
Peran Negara dalam Pendidikan Menurut Sistem Islam
Berbeda dengan sistem demokrasi yang menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab individu atau swasta, Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara secara penuh. Negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang gratis, aman, dan berkualitas bagi seluruh rakyat, tanpa memandang strata sosial.
Pada masa Khilafah Abbasiyah (750–1258 M), tanggung jawab ini dijalankan secara nyata. Khalifah seperti Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun mendirikan lembaga pendidikan dan riset berkelas dunia, seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Pendidikan disediakan gratis, tenaga pengajar digaji oleh negara, dan riset didanai penuh dari baitul mal. Dari sistem ini lahir para ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Biruni, yang ilmunya menjadi fondasi sains modern.
Islam menegaskan bahwa negara bukan hanya pengatur, tetapi pelindung dan penjamin hak rakyat untuk memperoleh ilmu. Ketika syariat Islam ditegakkan, pendidikan bukan barang mewah, melainkan hak seluruh umat manusia.
Solusi Sistemik: Kembali kepada Syariat Islam
Tragedi runtuhnya Ponpes Al-Khoziny bukan sekadar cerita duka. Ia adalah cermin retak dari sistem yang gagal melindungi generasi bangsa. Jika negara terus abai dan menyerahkan pendidikan pada mekanisme pasar, maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang.
Sudah saatnya negeri ini kembali pada sistem yang menempatkan ilmu dan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama—bukan pada kepentingan politik atau kapital. Yaitu dengan sistem Islam dalam bingkai Daulah Islamiyyah yang adil dan menyeluruh, yang mampu menjamin pendidikan aman, berkualitas, dan gratis untuk seluruh rakyatnya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.