SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Senin, 27 Maret 2023

Benang Kusut Nasib Pekerja Migran


Oleh. Agustia Wahyu Tri Anggraeni, S.Pd

(Pengajar)





Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, hingga dijuluki sebagai negeri gemah ripah loh jinawi. Namun, di tengah kondisi berlimpahnya sumber daya alam di negeri ini, pada faktanya masih banyak ditemui nasib rakyat yang jauh dari kesejahteraan. Kondisi ekonomi yang makin hari makin sulit menyebabkan pekerja migran yang kian hari makin banyak. 


Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) pada 2022 yang ditempatkan di luar negeri sebanyak 200.761 orang. Jumlah tersebut kian melesat 176,44%. Dibandingkan dengan setahun sebelumnya yaitu sebanyak 72.624 orang.


Sampai dengan saat ini, terdapat beberapa rentetan panjang problem derita para kaum pekerja migran. Meskipun Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), tetapi tampaknya belum memberikan perlindungan apapun bagi pekerja migran. Praktik penempatan PMI ilegal, bahkan masih saja marak ditemui. Padahal aktivitasnya yang menjurus pada praktik perdagangan manusia selalu berujung pada penderitaan pekerja migran.


Melihat berbagai masalah yang timbul menunjukkan bahwa potret PMI yang sebelumnya dipuja bak pahlawan sumber utama devisa negara. Bahkan menjadi sektor penyumbang devisa kedua terbesar setelah migas. Namun naas di saat yang sama, mereka harus rela menghadapi berbagai persoalan di tanah rantau orang, nyaris tanpa adanya bantuan.


Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat pada tahun 2021 saja PMI telah menyumbang devisa dari remitansi yang dikirimkan ke Indonesia. Besarannya adalah USD 9,16 miliar atau setara dengan Rp 133,95 triliun. Dari tahun ke tahun, angka ini terus meningkat, bahkan pada 2019 atau sebelum pandemi, dana remitansi ini sempat mencapai level tertinggi. Yakni sebesar USD 11,44 miliar atau setara dengan Rp157,87 triliun.


Itulah mengapa, di tengah berbagai persoalan yang dihadapi PMI. Pihak pemerintah masih saja terus memperluas pasar kerja ke luar negeri. Berbagai MoU pun telah digelontorkan sebagai upaya besar memuluskan jalan pekerja migran. Tidak heran jika Indonesia digadang-gadang menjadi negara pengekspor buruh migran terbesar dunia dengan persentase buruh migran perempuan (BMP) hingga menyentuh angka 80%.


Dalam UU memang disebutkan bahwa PMI dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia, perlindungan hukum, ekonomi bahkan sosial. Namun pada faktanya, implementasi UU tersebut masih terasa jauh dari harapan. Bahkan, realitanya banyak kebijakan negara yang cenderung makin menambah penderitaan para pekerja migran.


Data pengaduan Crisis Center Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2022 menyebut banyak kasus yang menyangkut PMI. Diantaranya adalah; gagal berangkat, gaji yang tidak dibayar, pekerjaan yang tidak sesuai perjanjian kerja, tindak kekerasan dari majikan, hingga penipuan peluang kerja, dan masih banyak masalah lainya. 


Juga seringnya terjadi kasus penahanan dokumen, pemalsuan data, hilang kontak, dan overcharging (membayar biaya penempatan berlebih). Tidak sedikit PMI yang harus berhadapan dengan hukum, baik karena soal administratif (pekerja ilegal) hingga terlibat tindak kasus kriminal. Di antaranya, banyak yang harus berakhir dalam tahanan, dipulangkan, bahkan ada yang terancam hukuman mati.


Atas dasar itu, Menteri Ida Fauziah menerbitkan Permenaker 4/2023 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia, menggantikan Permenaker 18/2018. Dalam Permenaker 4/2023 terdapat penambahan manfaat jaminan sosial untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi PMI. Jaminan tersebut berupa risiko sosial, baik karena kecelakaan kerja, kematian, hingga jaminan hari tua. 


Lagi pula, Permenaker 4/2023 ini bukanlah aturan baru yang terkait dengan perlindungan kerja para pekerja migran. Sebelumnya, ada UU 18/2017 tentang Perlindungan PMI dan Permenaker tahun-tahun sebelumnya yang nihil solusi dalam mengatasi kekerasan terhadap PMI. Buktinya, kasus penganiayaan terhadap PMI malah semakin tinggi.


Melihat persoalan mendasar terkait kekerasan terhadap PMI, sejatinya adalah dampak kemiskinan yang tersistematis. Hal ini lahir dari sistem ekonomi kapitalisme yang telah nyata merampas hak rakyat dan mendisfungsikan peran negara dalam mengurusi rakyatnya. Sistem ini juga melegalkan perampasan SDA, yang kemudian dimanfaatkan oleh segelintir orang/kelompok. 


Padahal sejatinya SDA merupakan hak rakyat namun sayang dijarah oleh pemimpin sendiri. Mengakibatkan rakyat harus “mengais nasi” di tanah orang lantaran nasi di rumahnya sudah dirampas tiada tersisa. Sistem ini pula yang menyuburkan tindak perdagangan manusia (human trafficking) sebab paham kebebasan yang seolah-olah mempersilahkan manusia satu berkuasa terhadap manusia lainnya.


Menyebabkan nyawa manusia menjadi tidak lebih berharga dari barang-barang produksi. Karena statusnya dianggap sebagai komoditas semata. Akhirnya PMI kerap diperlakukan tidak manusiawi hampir di setiap negara.


Jika saja pengelolaan SDA dikelola negara, tidak hanya ekonomi negara yang selamat. Melainkan juga ekonomi rakyat, karena sumber mata pencarian akan terbuka lebar, saat pengelolaan SDA dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. Realitanya, saat ini penguasa justru menyerahkan pengelolaannya pada asing. 


Oleh karena itu, dalam menyelesaikan problem PMI ini bukan hanya sekadar melalui Permenaker. Tetapi juga harus terdapat upaya mendasar dan menyeluruh. Yakni menggusur sistem ekonomi kapitalisme yang telah nyata menyengsarakan rakyat, beralih kepada sistem ekonomi Islam.


Islam memiliki sistem ekonomi yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan mengelola SDA sendiri. Selain hasilnya dapat dirasakan langsung oleh rakyat, proses pengelolaan yang begitu besar juga akan sangat menuntut banyak pekerja. 


Sehingga dengan kondisi seperti itu, lapangan pekerjaan akan terbuka lebar. Sehingga rakyat tidak perlu lagi menjadi PMI hanya untuk mencari nafkah. Jika perekonomian negara sudah berdikari, maka selesailah persoalan ekonomi umat.


Sungguh, tindakan tidak beradab terhadap pekerja migran hanyalah satu dari sekian problematika umat yang tidak akan pernah ada habisnya jika negeri ini masih terkungkung dengan sistem kapitalisme yang telah nyata kebobrokannya. 


Wallahualam bissawab.




0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts