Oleh. Apt, Arimbi N.U, S.Farm
(Work at Home)
Semakin terpampang jelas bahwa Indonesia menganut sistem kapitalis. Bila menghasilkan uang, jual apa yang bisa dijual. Slogan palugada (apa lu mau, gua ada), cocok disematkan pada penguasa.
Bagaimana tidak, setelah sukses “mengekspor” alias menjual berbagai sumber daya alam Indonesia ke tangan asing, dua contoh diantaranya adalah emas di Papua yang dikelola Freeport (USA) sejak tahun 1967 dan minyak bumi di blok Cepu yang dikelola Exxonmobil (USA) sejak 2005. Indonesia juga memberikan hak pengelolaan ke perusahaan swasta untuk mengelola batubara di Kalimantan sejak 1970-an. Tidak cukup sampai disitu, penguasa negeri +62 ini mengeluarkan keputusan terbaru dengan menyetujui diekspornya pasir laut. Padahal sudah 20 tahun sejak dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Seperti banyak diberitakan, Presiden Joko Widodo memutuskan mencabut SK tersebut dengan menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Lewat PP yang diundangkan dan berlaku pada 15 Mei 2023 lalu itu, presiden merestui pemanfaatan termasuk untuk ekspor hasil sedimentasi laut, diantaranya pasir laut.
Dilansir dari The Business Times, Singapura merupakan salah satu negara yang menjadi pembeli pasir laut asal Indonesia sebelum adanya larangan ekspor pada 2003 lalu.
“Sebelum pelarangan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan. Dengan mengirimkan rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 dan 2022,” tulis media asal Singapura itu.
The Business Times mengutip laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2019, Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia dan dalam dua dekade telah menyerap 517 juta ton pasir dari negara tetangganya.Di mana pengiriman yang dilakukan digunakan untuk kegiatan reklamasi atau perluasan wilayah darat.
Singapura melakukan reklamasi pantai sejak tahun 1962. Reklamasi pantai tersebut dilakukan karena luas wilayah daratannya yang sempit, untuk mengantisipasi perkembangan penduduk dan pertimbangan ekonomi dan bisnis. Reklamasi pantai yang dilakukan di hampir seluruh wilayah pantai Singapura telah berhasil memperluas wilayah daratannya. Bila pada waktu merdeka (1965) luas Singapura hanya 581 km² , pada tahun 2000 luas wilayah daratannya telah mencapai 766 km², bertambah kurang lebih 20% dari luas awalnya.
Pro dan Kontra
Menteri ESDM Arifin Tasrif yang mendukung dengan peraturan ini menjelaskan keputusan ini dibuat untuk mengolah sedimentasi laut yang membuat pendangkalan wilayah laut.
Menurutnya, kebijakan itu justru akan memudahkan kapal dagang besar mendekat ke daratan. Selain itu, sedimen yang sebelumnya tidak memiliki nilai, setelah diekspor akan mendatangkan nilai tambah. RI menganggap keuntungan tersebut baik untuk pertumbuhan ekonomi negeri ini.
Pihak yang menolak keputusan ini mengatakan bahwa pengerukan pasir laut akan merusak lingkungan, akibat penambangan pasir secara besar-besaran maka ekosistem akan terganggu. Hal ini akan mengancam biota laut, seperti ikan, juga terumbu karang. Dilaporkan, banyak ikan yang semakin berkurang populasinya bahkan terancam punah akibat rusaknya keseimbangan alam. Bila ikan berkurang, bagaimana nasib nelayan? Mereka adalah pihak yang langsung terdampak akan kehilangan mata pencahariannya. Selain itu, menurut WALHI, beberapa pulau sempat menghilang karena pengerukan pasir, dua pulau diantaranya adalah Pulau Nipah dan Sebatik.
Selain berdampak pada lingkungan, reklamasi pantai yang dilakukan Singapura tersebut sebenarnya berdampak pula pada penentuan batas maritim Indonesia-Singapura. Reklamasi tersebut dapat menyebabkan batas maritim Indonesia-Singapura bergeser. Menurut hukum internasional, hal ini dimungkinkan karena batas maritim kedua negara belum selesai ditentukan dan dimungkinkannya Singapura menggunakan titik pangkal baru dari daratan hasil reklamasinya dalam penentuan batas maritim tersebut.
Dari sini saja, nampak jelas kerusakan dan kerugian yang akan dialami Indonesia, namun peraturan tetap diterapkan. Padahal jelas dampak negatif lebih besar daripada positifnya. Namun dampak negatif yang lebih cenderung pada kerusakan lingkungan seolah tak digubris, yang penting uang datang, poin ekonomi pasti menang.
Pandangan Islam
Bila mengacu pada Islam sebagai agama yang sempurna, Islam telah mengatur pemanfaatan SDA.
Rasulullah saw. Bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis ini bermakna bahwa seluruh padang rumput, air (laut, danau, dan semua yang ada di dalamnya), serta api (tambang, minyak bumi, dan gas alam) tergolong harta milik umum.
Dalam Islam, pantai termasuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Semua rakyat boleh memanfaatkan pantai baik untuk wisata, penelitian, ataupun untuk lahan usaha seperti para nelayan. Karena itu pemberian izin yang menghalangi hak warga untuk memanfaatkan kepemilikan umum, termasuk pantai, adalah haram.
Islam mengharamkan individu atau pengusaha swasta untuk mengelolanya. Negaralah satu-satunya pihak yang boleh mengelola dan memanfaatkan SDA milik umum untuk mengembalikan hasilnya ke rakyat.
Maka kita harus mengkritisi kebijakan ini dan menolaknya. Selain merampas kepemilikan umum dan melimpahkannya pada swasta, pembukaan pertambangan pasir juga terbukti telah menyebabkan kemudaratan (kerugian) baik bagi lingkungan maupun pada ekonomi warga. Ini adalah bahaya yang wajib dicegah oleh Negara. Islam telah tegas mengharamkan segala hal yang menimbulkan bahaya.
Nabi saw. Bersabda:
لاَ ضَرَرَ Ùˆَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain (HR Malik).
Syariah Islam mewajibkan Negara untuk mencegah hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya seperti pencemaran, pengrusakan alam, hilangnya mata pencaharian warga, dsb. Penguasa dalam Islam didudukkan sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan korporat. Kita semua sudah tahu bahwa hasil ekspor pasir ini hanya menguntungkan segelintir orang. Hasil keuntungan akan melayang dan mendarat di kantong-kantong korporat. Sementara rakyat kecil hanya bisa gigit jari menyaksikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dan hilangnya sumber pencaharian mereka.
Sejatinya negeri ini diatur oleh penguasa boneka yang dibayangi oleh para korporat, pengusaha/oligarki yang hanya memikirkan keuntungan dirinya dan memandulkan peran negara.
Inilah bedanya sistem politik dan negara dalam Islam dengan sistem demokrasi. Dalam demokrasi, meski dikatakan kedaulatan di tangan rakyat, realitanya rakyat tak berdaya ketika penguasa atau wakil rakyat mereka mengesahkan aturan yang merugikan dan merampas hak-hak mereka. Negara dalam demokrasi tunduk pada kepentingan modal dengan dalih pemasukan untuk negara. Padahal jutaan rakyat terdampak dan menderita karena kebijakan tersebut.
Inilah pentingnya syariah Islam diberlakukan, termasuk dalam pengaturan kepemilikan umum, juga pentingnya sanksi hukum diberlakukan secara tegas atas siapa saja yang merugikan kepentingan umum.
Wallahualam bissawab.
Sumber:
Exxonmobil.co.id
Id.m.wikipedia.org
Cnbcindonesia.com
Repository.unej.ac.id
Cnnindonesia.com
Detik.com
Muslimahnews.net
Buletin Kaffah No. 296
0 comments:
Posting Komentar