Oleh. Yayuk Sriyati
(Pegiat Literasi Kota Blora)
A. Latar Belakang
Latar belakang dibuatnya RAPS untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan di kab. Blora
Tanah air memang bukan hanya sepotong biografi dan selintas sejarah. Lebih dari itu, tanah adalah suatu potensi alam yang harus diaktualisasi.
Begitu juga dengan tanah Wonorejo yang sudah didiami masyarakat pribumi sejak zaman penjajahan Jepang. Namun masih berkonflik dengan pemerintah daerah Blora, terkait status tanahnya.
Dikutip dari situs resmi Pemkab Blora, Kawasan hutan petak seluas 81,835 hektare, yang ditempati warga merupakan tanah yang dikelola oleh Perusahaan Umum Perhutani. Tahun 1986 Pemkab Blora melakukan pengajuan permohonan pada Direksi Perum Perhutani unit 1 Jawa Tengah, mengenai tukar menukar tanah Perum Perhutani di Wonorejo-KPH Cepu.
Permohonan tersebut disetujui, tapi Pemerintah Kabupaten Blora (pemohon) dibebani biaya pengukuran, pemetaan, juga biaya yang lainnya. Sehubungan dengan proses terkait tukar menukar tanah di kawasan hutan itu. Rasionya adalah tukar menukar minimal 1:1 atau satu tanah hutan berbanding dengan satu tanah pengganti.
Namun, Pemkab Blora tidak mampu dalam pembiayaan kegiatan tukar menukar itu. Sehingga, pemkab bekerja sama dengan investor pihak ketiga (Singgih Hartono, Waluyo, dan Suyanto). Hasilnya tanggal 7 Oktober 1994 ditandatangani Surat Perjanjian Tukar Menukar antara Perum Perhutani dengan Pemerintah Kabupaten Blora dengan nomor: 10/Perj.TM/1994.
Melalui dari pihak ketiga itulah, pemkab Blora mendapatkan tanah pengganti dengan luas 81,4565 hektare. Tanah itu terletak di Desa Karangjong Kecamatan Ngawen, Desa Kedungrejo Kecamatan Tunjungan, Desa Ngapus Kecamatan Japah, dan Desa Sendangharjo Kecamatan Blora sebagai Kawasan Hutan. Tanah pengganti tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Sementara untuk tanah Wonorejo ditetapkan menjadi aset Pemkab Blora.
Pada tanggal 27 Juni 2000, Gubernur Jawa Tengah telah mengajukan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri. Terkait pelepasan tanah, di bawah penguasaan Pemkab Blora kepada masyarakat, dengan bayar ganti rugi lewat surat Nomor: 593/12406.
Surat itu pun direspons oleh Menteri Dalam Negeri melalui surat Direktur Jenderal Pemerintah Umum dengan Nomor: 593.3/1061/PUMDA, tanggal 24 Juli 2000. Isi suratnya Gubernur Jawa Tengah menyampaikan, setuju terkait pelepasan tanah milik/di bawah penguasaan Pemerintah kabupaten Blora kepada masyarakat/penduduk dengan adanya pembayaran ganti rugi.
Ganti rugi tersebut dibagi menjadi empat kelas. Harga terendahnya kelas 4 dengan harga Rp 2.000 per meter sementara kelas 1 harga tertingginya sebesar Rp 40.000 per meter. Proses ganti rugi ini tidak berjalan lancar karena adanya ketidakcocokan harga ganti rugi.
Warga saat itu, hanya mau membeli kelas 1 dengan harga tertingginya Rp 6.000 per meter. Sehingga proses ini tidak bisa dilaksanakan.
Dari tahun ke tahun, rapat juga koordinasi yang digelar baik oleh Pemkab Blora dan Provinsi Jateng maupun Pemerintah Pusat demi menyelesaikan sengketa tanah Wonorejo tidak menuai hasil.
Baru-baru inilah Pemkab Blora bersama dengan Kantor Wilayah ATR BPN Jawa Tengah, membentuk Tim Kajian Hukum. Guna mempercepat penyelesaian sengketa dengan upaya program RAPS. Warga pun menaruh impian besar, dari waktu ke waktu untuk mendapatkan sertifikat tanah.
Alhasil, reforma agraria menjadi tumpuan harapan sebagai peredam konflik Agraria. Juga menjadi harapan nyata bagi perjuangan masyarakat di kawasan Wonorejo Kabupaten Blora, melalui tukar guling dengan proses yang tidak sebentar itu.
Akhirnya, Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Perhutani sosial dan SK tanah obyek pertanian reforma agraria Tora kepada masyarakat di Blora Jawa Tengah pada tanggal 10 Maret 2023. Dalam sambutannya, presiden meminta kepada masyarakat untuk menggunakan lahan pertanian sosial tersebut secara produktif, seperti untuk ditanami Jati, jagung, dan mahoni. "Saya hanya minta panjenengan yang sudah diberi SK hijau tolong betul-betul tanahnya dibuat produktif jangan ditelantarkan," kata presiden dalam sambutannya.
Pada kesempatan tersebut kepala negara juga menyerahkan setidaknya 1043 sertifikat tanah kepada masyarakat Blora. "Dari 1160 sertifikat yang harus diserahkan ini yang sudah jadi 1043 dan sisanya tinggal sedikit lagi sekitar seratusan lebih yang belum selesai. Akan tetapi 1043 sertifikat sudah diserahkan kepada bapak ibu dan saudara-saudara sekalian," ujarnya.
Presiden menambahkan sebanyak sekitar 120 sertifikat tanah yang belum selesai akan segera dituntaskan oleh jajaran Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional yang disingkat ATR dan BPN. Menurutnya, sisa yang 123 segera akan rampung. Beliau juga menambahkan bahwa mereka kerja ngebut, karena bukan ngurusi di Kabupaten Blora saja tetapi di seluruh kabupaten kota. Ada sekitar 514 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.
Presiden pun mengaku senang dapat menyerahkan sertifikat tanah yang sangat penting dalam menyelesaikan konflik tanah dan lahan di Blora, yang sudah terjadi sejak lama, serta mencegah terjadinya konflik serupa di masa yang akan datang. Menteri BPN menyampaikan konflik lahannya sudah terjadi sejak tahun 47. Oleh sebab, itu presiden sudah memerintahkan sejak tahun yang lalu kepada menteri BPN untuk dilihat di lapangan. Dicek betul terutama yang di kelurahan Ngelo dan kelurahan Karangboyo.
B. Tujuan Dibentuknya RAPS
Daerah Blora, Jawa Tengah sebagian besarnya adalah wilayah hutan. Sehingga banyak masyarakat yang tinggal di wilayah hutan. Hampir 49 persen wilayah Kabupaten Blora adalah perhutanan, dari 271 desa, sebanyak 138 desa berada di kawasan kehutanan.
Sehingga masyarakat tersebut hidupnya sangat bergantung di kawasan hutan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sementara desa-desa di kawasan hutan ini juga termasuk daerah yang merupakan kantong-kantong kemiskinan.
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) pernah mengungkapkan, bahwa Kabupaten Blora dan Kendal dipilih untuk dijadikan salah satu daerah percontohan dari Kementerian LHK. Baik itu TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) maupun perhutanan sosial.
Untuk itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus berupaya menyukseskan program nasional reforma agraria. Sekjen Kementerian ATR atau BPN Himawan Arief Sugoto mengungkapkan reforma agraria merupakan program penataan kembali sumber daya agraria.
Baik dari aspek kepemilikan pemanfaatan hingga penguasaan untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan. Terdapat 9 juta hektar program yang akan diselesaikan, baik legalisasi maupun pemberdayaan aset agraria.
C. Akar Masalah RAPS
Puluhan tahun konflik tanah di wilayah Wonorejo, Kecamatan Cepu, Blora, dengan ribuan warganya yang bertempat tinggal di kawasan tersebut dan tidak mempunyai sertifikat, akan memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Melalui program RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial)
Namun, sertifikat tersebut bukan bentuk pemberian tanah cuma-cuma dari negara untuk rakyatnya. Karena selain memperoleh hak atas tanah, juga ada kewajiban yang harus dipenuhi atas diperolehnya hak itu.
Kewajiban tersebut adalah pertama, membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Definisi dari BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas diperolehnya hak tanah dan atau bangunan. Subjek dan wajib pajak BPHTB ini bisa orang secara pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan atau bangunan.
Berikut ini adalah jenis-jenis perolehan hak yang dikenai BPHTB
Jual beli;
Tukar menukar;
Hibah;
Hibah wasiat;
Waris;
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
Penunjukan pembeli dalam lelang;
Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
Penggabungan usaha;
Peleburan usaha;
Pemekaran usaha; atau
Hadiah
BPHTB adalah pajak yang dikelola oleh Kabupaten/Kota.
Kedua, pemilik sertifikat HGB harus memperpanjang masa kepemilikannya dengan membayar biaya administrasi perpanjangan HGB. Jika tidak, maka akan diambil kembali hak tersebut. Ketentuannya adalah tanah tersebut bisa digunakan oleh masyarakat selama 80 tahun. 30 tahun kemudian bisa diperpanjang 20 tahun, dan bisa diperbarui lagi 30 tahun.
Inilah buah kebijakan dari sekularisme. Sebagaimana, yang telah ditegaskan oleh pakar geospasial agraria multidisiplin Prof. Dr Ign. Fahmi Amhar menegaskan, sekularisme inilah yang menumbuhkan undang-undang agraria, undang-undang kehutanan, dan undang-undang cipta kerja, melandasi agenda 2024, APBN, komunikasi dan ekologi, juga memberi kemudahan bagi oligarki untuk ikut berperan.
Selain itu, sekularisme juga membuat masalah pertanahan atau agraria, seolah-olah tidak boleh ditarik menjadi ranah agama (Islam). Sekularisme mendoktrin, bahwa persoalan publik harus ditata hanya semata-mata atas dasar akal sehat dan asas manfaat saja, agama tidak boleh turut ikut campur.
Akibat dari doktrin sekularisme inilah, hukum syariat Islam terkait pertanahan diabaikan. Selanjutnya yang terjadi, ragam permasalahan publik ditata berdasar nafsu dari sekelompok orang yang dilegitimasi dengan proses yang diklaim demokratis.
Prof. Fahmi, mencontohkan, salah satu keburukan dari adanya penerapan sekularisme di dalam penataan agraria, pada negeri ini adalah tanah tidak bersertifikat, otomatis menjadi tanah negara. Negara melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) kepada siapa saja, selama dalam kurun waktu tertentu.
Negara melalui Kementerian Kehutanan juga memiliki wewenang untuk menyatakan sebuah wilayah sebagai kawasan hutan, kadang tanpa melihat adanya masyarakat adat di sana.
Kawasan hutan, jelasnya, bisa dikonsesikan dalam wujud Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pinjam Pakai (HPP), atau Hak Penggunaan Lain (HPL) baik untuk usaha pertambangan, perkebunan ataupun pariwisata. Mereka yang diberi HGU/HGB maupun HPH/HPP/HPL itu, harus membayar biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Saat negara sudah memberikan suatu hak konsesi kepada perusahaan tertentu dan telah membayar PNBP. Hak konsesi adalah bentuk perjanjian yang dilakukan antara pemerintah dengan swasta dalam rangka penyediaan infrastruktur dan layanan umum kepada publik. Maka hak yang dimiliki masyarakat yang ada di kawasan itu telah hilang semua.
Bahkan warga yang sudah di sana jauh sebelum adanya NKRI, seperti kasus Wonorejo (masyarakat sudah menduduki wilayah tersebut sejak masa penjajahan Jepang) dan jika warga tidak mengerti cara mengurus legalitas pertanahan. Maka, mereka bisa tiba-tiba kehilangan semuanya karena telah direnggut oleh pemegang hak atau konsesi.
D. Solusi Tuntas Terkait RAPS
Islam yang merupakan sistem kehidupan memiliki aturan yang sangat khas termasuk didalamnya mengenai pengelolaan dan juga hak kepemilikan tanah. Maka, seharusnya negara dan juga aparat pemerintahan wajib berpijak pada syariat Islam. Juga tidak mengambil keuntungan dalam segala proses dari melayani hak rakyatnya.
Pengaturan agraria dalam Islam memiliki dua poin penting di dalamnya. Pertama, pemilik hakiki dari tanah ialah Allah Swt. Kedua, Allah Swt. sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah yang tertuang dalam syariat-Nya.
Dalam Islam tanah bisa dimiliki melalui enam cara, yaitu jual beli, hibah, waris, ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), iqtha` (pemberian negara kepada rakyat).
Tanah telantar yang sudah lebih dari tiga tahun, akan ditarik dan diserahkan pada yang mampu mengelolanya. Pemberian ini secara cuma-cuma tidak ada biaya yang harus dikenakan kepada rakyat seperti dalam program RAPS yang dicontohkan untuk penyelesaian kasus Wonorejo, kabupaten Blora.
Bahkan dalam Islam negara akan memberikan dana dari Baitul Mal (kas negara) bagi rakyat yang sudah diberi hak tanah, namun tidak bisa mengelola karena tidak punya biaya. Dengan demikian tanah pertanian selalu akan produktif, rakyat memiliki sumber pemasukan, tanpa harus pusing untuk memikirkan biaya yang yang harus disetorkan untuk administrasi negara, seperti pajak dan perpanjangan sertifikat tanah, sebagaimana ketentuan dalam program RAPS tersebut.
Dalam tinjauan syariat Islam, tanah di Wonorejo adalah sah milik rakyat, karena rakyat Wonorejo sudah berada di wilayah itu sebelum NKRI berdiri, sebelum Kabupaten Blora lahir.
Jadi kemungkinan besar rakyat Wonorejo, generasi awalnya memiliki tanah di Kabupaten Blora itu melalui mekanisme tahjir atau ihya`ul mawat yang sah dalam hukum Islam, meski tidak mempunyai sertifikat hak miliknya.
Kemudian generasi-generasi berikutnya, bisa jadi mendapatkan kepemilikan tanah melalui warisan, hibah, atau jual beli.
Maka kebijakan RAPS adalah batil dalam pandangan syariat Islam. Demikian juga dengan beragam kebijakan wajib pajak lainnya atas seluruh rakyat adalah bentuk kezaliman.
Untuk itu, Sekularisme yang dibungkus dengan demokrasi yang menjadi sumber kezaliman dan kebatilan harus disingkirkan. Sistem ini yang telah menciptakan ketidakadilan dalam pengaturan agraria, pembangunan, investasi, sampai perlakuan kepada warga negara dan lingkungan hidup.
Berbeda dengan negara Islam yang mampu mengatur dan menjaga. Sistem Islam benar-benar menutup celah pintu kezaliman. Betapa tidak bangunan negaranya tegak di atas landasan iman dan takwa.
Penguasanya berperan sebagai pengurus dan penjaga. Sementara itu penopangnya adalah aturan Islam yang bersumber dari wahyu Allah Swt. yang jauh dari konflik kepentingan manusia.
Penguasanya bertindak sebagai sebaik-baik pelaksana. Rakyatnya sami'na wa atha'na. Keduanya saling menjaga agar suasana taat senantiasa ada. Hingga jaminan masyarakat adil dan sejahtera akan muncul dengan sendirinya.
Sistem politik Islam memastikan negara punya wibawa dan mandiri secara ekonomi. Sehingga negara akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sampai pada orang per orang.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem sekularisme ini wajib untuk diganti total dengan sistem Islam. Untuk itu mari kita siapkan bersama-sama Standar Operasional Prosedur (SOP) secara detail beserta orang-orang yang akan melaksanakan fungsi syari'at Islam, dalam bentuk Daulah Khilafah Islamiah.
Teknologi geospasial (berbagai alat modern yang berkontribusi terhadap pemetaan dan analisis geografis) bisa digunakan sebagai tools dalam membantu menciptakan sistem pertanahan yang adil juga transparan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah di lapangan, perlawanan tetap diteruskan, namun tidak boleh anarkis.
Wallahualam bissawab.