SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Sabtu, 09 Desember 2023

Oleh. Rita Handayani

(Penulis dan Founder Media)





Prestasi demokrasi hanya mampu menghasilkan pencitraan negeri. Itulah yang terjadi mulai dari ajang pemilu hingga kasus Karhutla.


Seperti yang dilakukan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Erick Thohir, di Dubai. Menko Marves Ad Interim Erick Thohir memamerkan aksi nyata RI dalam mengatasi masalah iklimnya, salah satunya persoalan kebakaran hutan (Karhutla).

"Kami melakukan yang terbaik dalam pencegahan kebakaran hutan. Saat ini, hampir seluruh luas kebakaran hutan (di Indonesia) sudah berkurang secara signifikan sebesar 82 persen dari 1,6 juta hektare pada 2019 menjadi 296 ribu hektare di 2020," gumam Erick dalam sambutannya di Expo City Dubai, UEA, pada Kamis (30/11).

Kendati, Erick menampilkan data yang menunjukkan kebakaran hutan kembali meningkat di Indonesia tahun 2021. Saat itu, setidaknya 358 ribu hektare hutan terbakar. (cnnIndonesia.com, 1/12/2023)

Itu menunjukkan sebenarnya Karhutla belum bisa benar-benar diberantas tuntas.


Walaupun karhutla tidak lagi dipicu kabut asap lintas batas, namun rakyat Indonesia tetap masih merasakan dampak buruknya. Tentu sangat miris melakukan pencitraan di negara lain dan melupakan dampak yang sedang menimpa rakyatnya sendiri di tanah air.


Terjadi Berulang

Derita yang dialami rakyat terjadi berulang. Apabila musim panas terjadi kekeringan dan kebakaran sementara jika musim hujan kebanjiran. 


Semua itu terjadi bukan sekadar akibat dari faktor cuaca. Seperti pada kasus karhutla yang berulang terjadi, sejatinya lebih diakibatkan karena unsur kesengajaan dari pihak perusahaan/korporasi untuk membakar hutan dan lahan. Tentu dari sisi ini saja, kita patut untuk mempertanyakan bagaimana keseriusan pemerintah dalam mengatasi karhutla. Tuntutan ganti rugi materi atau administratif tidak sepadan dibandingkan dengan kerusakan yang timbul akibat pembakaran hutan. 


Akibat Kapitalis


Persoalan Karhutla merupakan dampak dari tegaknya sistem kapitalis. Kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan secara ugal-ugalan yang dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 terkait Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak diberlakukannya UU ini, penguasa dan juga anteknya (para konglomerat) menjadi penentu untuk izin pengelolaan hutan. Dari situlah maka kapitalisasi dan eksploitasi hutan mulai terjadi.


Meski awalnya, terbitnya UU tersebut agar sumber daya hutan mempunyai peran memutar roda perekonomian rakyat. Sehingga, pemerintah sangat mengakomodasi segala jenis usaha pengolahan hasil hutan dengan cara pemberian konsesi hak pengusahaan hutan, dan adanya hak pemungutan hasil hutan, sampai pada konsesi hutan tanaman industri.

Memang mulanya mendongkrak perekonomian, namun ujungnya, hutan Indonesia digarong korporasi dengan melakukan eksploitasi serampangan yang akhirnya memunculkan banyak konflik sosial serta bencana ekologis. Sudah puluhan tahun UU ini berjalan tanpa ada upaya lebih maksimal dari pemerintah dalam menyelesaikan dampak dari diterapkannya UU tersebut.


Jadi apapun yang dilakukan pemerintah tidak menghasilkan apa-apa jika regulasi yang mengapitalisasi hutan masih tetap diberlakukan. Walaupun ada menetapkan sejumlah kebijakan ketat dari pemerintah dalam pengelolaan hutan, namun sayangnya hal itu pun berjalan hanya sebatas formalitas dan basa basi semata. Nyata, fakta yang ada kerusakan hutan semakin meluas yang diakibatkan dari pembukaan lahan dan juga pengalihan fungsi lahan.


Hal itu sejalan dengan adagium kapitalisme, “Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya,” Tentu bagi para kapitalis, mengambil cara termurah dan terhemat akan lebih dilakukan meski berdampak pada kerusakan lingkungan. Cara itu adalah dengan pembakaran hutan untuk membuka lahan baru.


Para kapitalis tidak akan peduli perbuatannya bisa merusak lingkungan dan masyarakat harus menanggung deritanya dengan harus merasakan kepulan asap hasil karhutla. Keserakahan kapitalis ini dan juga produk hukum dari asas ideologi kapitalisme-lah yang membuat bencana besar bagi negeri ini.


Di lain sisi, dalam penegakan hukum kepada para penggarong hutan tampak sangat tumpul. Negara sangat terlihat lemah dan tidak berdaya dalam melawan korporasi. Padahal perencanaan terhadap hutan diawali dari kebijakan penguasa yang telah mengamini kepentingan para korporasi melalui adanya konsesi hutan. 


Padahal, hutan adalah SDA milik umum. Tetapi, kapitalisme telah mengubah paradigma itu dengan menganggap bahwa hutan sebagai SDA yang boleh dikelola secara bebas. Baik oleh individu ataupun swasta. Alhasil, selama seseorang punya modal dan juga kekuasaan, ia punya hak untuk memiliki apapun, termasuk mengambil alih harta milik umum salah satunya perhutanan.


Paradigma dalam Islam 


Kerusakan yang terjadi saat ini merupakan akibat dari paradigma kapitalisme, salah satunya kesalahan dalam pengelolaan hutan yang terus berlangsung hingga sekarang. Itulah demokrasi, prestasinya hanya sebatas klaim dan pencitraan, tidak sampai pada serius mengurus dan melindungi rakyatnya.


Berbeda dengan Islam yang mewajibkan negara untuk menjaga dan melindungi rakyat dengan semaksimal mungkin.  Seluruh permasalahan harus diselesaikan dari akar masalahnya bukan sekadar pencitraan.

Paradigma dalam Islam. Nabi saw., dalam sabdanya mengatakan, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni, air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad)


Hutan adalah bagian dari kepemilikan umum yang artinya tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang atau individu. Islam memerintahkan agar kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola oleh negara dan hasilnya menjadi hak bagi rakyat untuk dimanfaatkan.


Haram bagi negara memberikan kewenangan pengelolaan hutan kepada swasta. Negara hanya boleh mempekerjakan swasta dalam mengelola hutan. Akad yang berlaku adalah akad kerja, bukan akad kontrak karya.


Sementara dalam aspek pengelolaan lahan, kembali lagi pada hukum syara dalam hal kepemilikan lahan. Bahwa, setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang telah dibenarkan menurut syariat. Pemilik lahan harus mampu mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan hingga lebih dari tiga tahun. Jika hal tersebut terjadi maka status lahan itu berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikan lahan tersebut kepada siapa saja yang lebih dahulu mampu menggarap dan menghidupkan tanah mati itu. Kemudian, dalam pengelolaan lahan tidak boleh dengan cara pembakaran atau menghilangkan unsur hara ataupun merusak ekosistem.


Dalam paradigma Islam, negara akan mengembangkan kemajuan iptek seperti dalam bidang kehutanan. Supaya pengelolaan hutan dan lahan bisa dioptimalkan sebaik-baiknya tanpa harus mengganggu apalagi merusak ekosistem. Negara juga akan memberikan sanksi yang sangat tegas bagi pelaku perusakan alam dan lingkungan. Sanksi tersebut sesuai hukum Islam yang akan berefek jera.


Semua ini tidak bisa berjalan jika sistem dan juga produk hukum negeri ini masih berkiblat pada ideologi kapitalisme. Penyelesaian kasus karhutla hanya akan tuntas dengan mengganti semua perangkat dan produk hukum yang berasaskan pada kapitalisme dengan paradigma Islam.


Ketaatan dan ketundukan pada hukum Allah Taala lah yang akan mendatangkan kebaikan juga keberkahan atas negeri ini. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, SDA yang berlimpah, termasuk hutan di dalamnya, akan memberikan kemaslahatan serta kebermanfaatan bagi seluruh umat manusia di muka bumi. 


Sehingga pemerintah tak perlu bersusah payah dalam membangun citra yang nol aplikasi. Karena sudah pasti jika pemerintah mengemban, menerapkan, dan menjaga hukum Allah. Maka Allah akan mengangkat harkat dan martabat negara di mata rakyatnya.

Wallahualam bissawab.




0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts