SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Minggu, 10 Desember 2023

 Oleh. Rita Handayani

(Penulis dan Founder Media)





“Untuk menjadi tuan, politisi berperan sebagai pelayan.” (Charles de Gaulle)

Itulah yang terjadi dalam alam demokrasi. Dua wajah yang harus dimiliki bagi politisi. Saat masa pemilihan mereka berperan sebagai pelayan. Setelah meraih kekuasaan berganti peran menjadi tuan.

Trik dan intrik pun sudah biasa mewarnai pemilu demokrasi dalam perebutan peran sebagai pelayan. Seperti melakukan trik dagang sapi. Sebagaimana yang dilakukan oleh capres yang saat ini masih punya kuasa untuk tawar menawar di kawasan Jawa Tengah.

Di Kabupaten Blora, PNS, CPNS dan PPPK mendapatkan Tambahan Penghasilan Pegawai Aparatur Sipil Negara (TPP ASN). Pemberian TPP ASN dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Blora tersebut termuat pada Perbub atau Peraturan Bupati Blora. (klikpendidikan.id, 8/12/2023)

Trik Politik Dagang Sapi?

Secara sederhana maksud dari politik dagang sapi adalah praktik politik transaksional jual beli kekuasaan. Sebagai imbalan dukungan yang dilakukan baik oleh parpol ataupun elite bagi capres tertentu dalam masa pemilu.

Biasanya, dibangun pola relasi yang berdasar atas kepentingan taktis pragmatis dalam jangka pendek. Prinsip utamanya adalah bagaimana cara mendapatkan dan mengakumulasi kekuasaan politik.

Segala trik dalam meraih suara di ajang masa kampanye demokrasi memang telanjang dipertontonkan. Seperti salah satunya trik politik dagang sapi ini. Yang kian menambah hiruk-pikuk dalam suasana pilpres yang sangat emosional.

Selain Trik Penuh Intrik

Tak hanya ragam trik yang bisa terjadi. Tingginya potensi konflik dalam pemilu juga bisa menguatkan kesimpulan bahwa sistem pemilu demokrasi, penuh dengan Intrik, penipuan, bahkan kebohongan.


Para pasangan calon akan menebar “seribu” janji palsu. Janji yang akan membius rakyat. Sehingga mereka akan percaya dengan janji yang diumbarnya. Sementara realisasinya setelah terpilih, sungguh tidak sesuai dengan janji.


Saat ini, masa kampanye telah dimulai para kontestan pemilu sudah mulai turun ke tengah masyarakat, melakukan kampanye. Dapat kita prediksi masa kampanye akan diisi dengan segala jenis persaingan. Demi mendapat dukungan dari rakyat.

Para paslon juga akan mempromosikan visi, misi, serta program kerjanya apabila nantinya terpilih. Aneka janji politik sudah mulai ditebar, seperti kesejahteraan, lapangan kerja, penurunan harga bahan pokok, subsidi, bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, dan lain sejenisnya.

Dalam kampanye jelang pemilu tidak hanya sebatas berisi pencitraan diri sendiri, acap kali bisa terjadi “serangan” juga kepada kekurangan calon lain yang merupakan pesaing. Bahkan kampanye hitam pun bisa dilakukan, yaitu fitnah terhadap kandidat lain.

Untuk itulah, masa kampanye sangat rawan terjadi perselisihan bahkan konflik. Konflik antar pendukung paslon, yang berlanjut pada gontok-gontokan antarwarga yang punya perbedaan dalam pilihan politiknya. Bahkan tidak hanya konflik secara lisan yang terjadi bisa juga secara fisik. Seperti kekerasan di massa akar rumput. Kejadian itu sudah biasa terjadi di tengah masyarakat demokrasi saat ajang kampanye.

Bahkan isu dugaan kecurangan dalam pemilu, sudah terendus jauh sebelum masa kampanye dimulai. Misalnya pernyataan dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang sudah mewanti-wanti akan ada potensi kecurangan dalam rangkaian Pemilu 2024 nanti. Juga muncul kasus pakta integritas Pj Bupati Sorong, Yan Piet Mosso yang telah berkomitmen untuk mencarikan dukungan demi capres-cawapres Ganjar-Mahfud (BBC, 15-11-2023).

Selain itu, terjadinya hoaks dan pencitraan juga merupakan hal yang dianggap penting dalam sistem demokrasi. Ini karena paradigma dalam kekuasaan demokrasi adalah alat untuk mewujudkan kepentingan penguasa demi meraih keuntungan materi yang sebesar-besarnya. 

Sehingga, orang-orang akan berlomba-lomba jadi penguasa. Membuat persaingan menjadi sangat ketat. Apalagi dengan adanya banyak partai peserta pemilu serta sistem pemilihan langsung, persaingan semakin sengit.

Sehingga untuk bisa memenangkan persaingan politik, yang memiliki asas politik sekuler, harus menghalalkan segala cara. Karena, halal dan haram bukan lagi patokan hidup. Para paslon tidak segan-segan lagi menjatuhkan lawan bahkan melakukan pencitraan diri dengan memoles dirinya sehingga tampak baik. Meski sebenarnya mengandung kebohongan. 

Inilah kenyataan yang ada dalam sistem demokrasi. Dengan demikian, pemilu yang damai hanya angan semata.

Kekuasaan dalam Islam 

Kondisi dalam sistem Islam sangat jauh berbeda. Dalam Islam, jabatan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hari akhir. Pemimpin akan ditanya tentang amanah kepemimpinannya, apakah digunakan dengan benar atau tidak. Islam telah melarang keras seorang pemimpin untuk mengkhianati amanah yang diembannya.

Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27).

Sistem Islam akan membentuk para pemimpin menjadi amanah. Karena Islam mempunyai mekanisme dalam pemilihan pemimpin yang terbaik. Asas dalam pemilihan pemimpinnya adalah akidah Islam. Akidah inilah yang akan menuntun para politisi dalam berperilaku politik. Sehingga searah dengan tuntunan syariat yang tidak akan menghalalkan segala cara.

Para politisi akan sadar bahwa setiap tindakan dalam politik akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya pada manusia, tetapi juga pada Allah Swt.. Itu sebabnya, para politisi akan mempunyai profil yang jujur, bertakwa, serta hati-hati (warak) dalam melakukan segala hal. 

Sehingga tidak akan ada kebohongan apalagi melakukan fitnah kepada lawan politiknya. Juga tidak diperlukan trik dagang sapi atau trik tipu-tipu lainnya.

Pemilihan dalam Islam

Dengan berasas akidah Islam, pemilihan pemimpin dalam Islam akan berjalan tertib, lancar, serta akan penuh kebaikan, termasuk dalam interaksi para pendukungnya. Tidak akan ada konflik maupun perpecahan di antara para pendukung calon penguasa. Untuk itulah, dalam pemilihan pemimpin di sistem Islam akan mewujudkan keberkahan, yaitu akan bertambahnya kebaikan pada umat.

Demikianlah sejarah menunjukkan, seperti dalam pemilihan khalifah setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khaththab ra.. Saat itu, ada dua calon pengganti yang kuat, yaitu Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib ra.. Menariknya, setelah Utsman bin Affan ra. terpilih, dengan penuh keridaan Ali bin Abi Thalib ra. segera membaiatnya.

Telah dijelaskan dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa Abdurrahman bin Auf membaiat Utsman bin Affan ra. dengan berseru, “Angkatlah tangan engkau, wahai Utsman.” Lantas ia membaiat Utsman ra., kemudian langsung disusul oleh Ali ra. yang juga membaiat Utsman ra. dan setelahnya, penduduk Madinah membaiat khalifah telah terpilih ini.

Masyaallah, begitu mudah, indah dan damai, untuk mendapatkan pemimpin terbaik dalam Islam. Inilah Sistem Islam yang tentunya kita dambakan demi menghasilkan pemimpin yang adil. 

Wallahualam bissawab.

0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts