Oleh. Ulfa Ni'mah
(Penulis Kota Blora)
Indonesia telah memperingati Hari Guru Nasional (HGN) tepatnya di tanggal 25 November kemarin. HGN tahun ini mengusung tema "Bergerak Bersama, Rayakan Merdeka Belajar."
Dengan tema tersebut, seluruh pemangku kepentingan (pemerintah, orangtua, para siswa) menaruh harapan besar kepada guru sebagai agen perubahan menuju Indonesia emas 2045.
Seperti dilansir pada laman Memanggil. CO (25 November 2023), Presiden Jokowi melalui unggahan di akun media sosialnya, instagram @jokowi, Jokowi mengungkapkan bahwa guru bukan lagi sekadar seorang yang digugu dan ditiru, namun merupakan penentu laju peradaban.
Lebih lanjut jokowi juga menyampaikan guru menjadi jembatan anak anak masa kini untuk melangkah ke masa depan.
Tema yang diusung dalam HGN memang senafas dengan kurikulum sistem pendidikan yang saat ini dijalankan di Indonesia yakni kurikulum merdeka mewujudkan generasi berkarakter profil pancasila.
Namun, sejauh ini yang menjadi pertanyaan serius adalah seberapa besar perubahan kemajuan pelaksanaan kurikulum merdeka dengan berbagai programnya dalam pembentukan karakter kepemimpinan sesuai profil pancasila yang diharapkan?
*Nasib Guru dalam Potret Pendidikan Kapitalis*
Ya, HGN ini memang diperingati sebagai bentuk penghargaan terhadap dedikasi guru yang luar biasa untuk kemajuan negara. Guru adalah profesi mulia yang dari sentuhan tangannya melahirkan banyak profesi lain. Guru adalah salah satu pilar penting dalam sistem pendidikan suatu Bangsa.
Begitu pentingnya profesi guru, sampai Kaisar Hirohito saat Jepang menyerah kalah dari Sekutu (setelah dua kotanya Hiroshima dan Nagasaki) dijatuhi bom atom. Kaisar menanyakan kepada Perdana Menterinya, berapa guru yang masih hidup?
Ini artinya Kaisar Hirohito menyadari bahwa profesi guru memiliki peranan penting yang akan membangun peradaban baru pasca dihancurkannya dua kota penting Jepang. Dan dalam kurun 20 tahun, kini Jepang menjadi negara maju yang memiliki kekuatan ekonomi dan teknologi kelas dunia.
Sayangnya peringatan HGN yang penuh kisah haru ini berbanding terbalik dengan nasib guru yang pilu dalam dunia pendidikan negeri kita saat ini.
Di tahun 2023, deretan peristiwa tindak kriminalitas telah mencoreng dunia pendidikan. Dari tindak kriminalitas siswa kepada sesama temannya, bahkan hingga guru yang menjadi korbannya. Peristiwa pilu ini bak jamur tumbuh di musim hujan. Belum lagi kasus kesehatan mental dan tragedi siswa bunuh diri yang akhir akhir ini sering terjadi.
Dilansir dari Jawa Pos, pada bulan Januari-Juli saja tercatat 16 kasus perundungan yang dilakukan oleh siswa. Mirisnya, perundungan tersebut tidak hanya menimbulkan efek ringan, tetapi ada yang sampai cacat permanen. Pada bulan Juni 2023, siswa berinisial R asal SMPN 2 Pringsurat, kabupaten Temanggung Jawa Tengah nekat membakar sekolahan karena tidak terima dengan nilai yang diberikan oleh guru. Kasus terbaru, seorang guru dipidanakan dan didenda uang sebesar 50 juta karena menghukum anak didiknya yang enggan melaksanakan sholat dhuhur berjamaah.
Kisah pilu di atas tentu menuai banyak keprihatinan dari berbagai kalangan dan tentunya ini menunjukkan indikator kegagalan sistem pendidikan.
Perlu diakui, bahwa tugas membentuk karakter anak didik berkepribadian luhur bukanlah tugas guru semata namun juga menjadi tanggung jawab bersama, keluarga, masyarakat, dan negara.
Ironisnya, guru saat ini dibebani tugas yang cukup berat namun di sisi lain tidak diimbangi dengan perlindungan hukum yang jelas dari negara. Kisah pilu yang menimpa pada guru menjadi gambaran jelas bahwa jika marwah guru saat ini sudah tidak seperti dulu lagi yang disegani dan dihormati. Adanya pergeseran nilai dalam penghormatan terhadap guru ini tentu terjadi bukan tanpa sebab. Melainkan pelaksanaan sistem pendidikan yang dijalankan saat ini oleh negara Indonesia bernafas kapitalis dan ber asas sekularis, telah mengarahkan anak didik kita fokus pada aspek kognitif namun mengabaikan aspek afektif sekaligus menjauhkan nilai nilai agama dalam kehidupan nyata.
Apalagi didukung lahirnya UU Perlindungan anak yang menjadi payung hukum bagi anak jika hak mereka tercederai. Saat ini anak didik dan orangtua didik leluasa bertindak dengan kekuatan kekuasaan dan kekuatan ekonomi.
Belum lagi gonta ganti kurikulum yang memberi dampak pada beban jam mengajar dan berbagai tugas tambahan. Aturan jam mengajar dari kurikulum merdeka paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu. Beban yang cukup berat ini sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi tata aturan administratif yang harus diselesaikan secara digital dengan kemampuan yang tidak imbang. Seabrek laporan laporan dan kegiatan kegiatan di luar pengajaran cukup banyak membuat guru benar benar sibuk dalam kurikulum merdeka. Yang pada akhirnya banyak guru yang sering mengeluh, dan ujungnya berpengaruh pada tugas pokok guru yaitu tidak perform optimal di saat mengajar.
Masalah kesejahteraan guru juga masih menjadi PR besar bangsa kita yang saat ini belum terselesaikan. Ribuan guru honorer masih terus menuntut upah yang layak di tengah kehidupan yang serba sempit dan sulit, sementara mereka dituntut untuk memberi kualitas terbaik kepada anak didik. Padahal kehidupan mereka belum terjamin sandang pangan dan papan. Bagaimana bisa bertahan dengan gaji 300 rb perbulan sementara mereka dituntut untuk prima dalam mengajar. Maka tak ayal banyak guru yang texbook karena pikiran mereka bercabang dengan pekerjaan sampingan demi kehidupan agar tetap bertahan.
Meski berbagai upaya dilakukan untuk peningkatan kompetensi guru, sementara arah sistem pendidikan negeri kita masih kapitalis dan berasas sekularis maka hasil output sistem pendidikan kita tidak akan jauh dari SDM yang hanya berorientasi pada materi dan jauh dari nilai nilai luhur Ilahi.
*Peran Strategis Guru dalam Sistem Pendidikan Islam*
Sudah saatnya kebangkitan guru itu harus dimulai dari sekarang, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, di mana hulu kecerdasan sepenuhnya dibebankan kepadanya dan ujung tombak pendidikan juga menjadi tanggung jawabnya.
Maka dari itu, Islam sangat betul memuliakan profesi guru. Di masa pemerintahan Islam, guru mendapat perhatian istimewa, kesejahteraan guru menjadi hal utama yang tidak boleh diabaikan. Karena itu profesi guru berbeda dengan profesi lain seperti dokter, insinyur, pekerja kontraktor, petani dsb.
Untuk itu, pendidikan menjadi salah satu sektor utama yang harus mendapat dukungan penuh dari negara sebagai penyelenggara utama pendidikan dalam menyediakan guru kompeten yang menjadi kebutuhan rakyat. Negara juga wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang memadai, memberikan sarana dan prasarana pendidikan agar kegiatan proses pembelajaran berlangsung kondusif.
Dalam Islam, sistem pendidikan berkualitas haruslah berasas pada akidah Islam untuk membentuk karakter guru dan peserta didik bersyakhsiyyah Islam.
Dengan asas pendidikan akidah Islam, seorang guru memiliki peran strategis yaitu sebagai pendidik yang berkepribadian mulia sekaligus memiliki profesionalitas dalam mendidik. Maka dari itu Islam menuntun guru menjadi seorang pendidik yang tidak hanya baik dalam mengajar namun juga mengarahkan anak didik memahami ilmu dengan iman dalam pengelolaan pembelajaran.
Guru juga memiliki peran politis dalam membangun peradaban Islam secara struktural dan fundamental melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Guru ditempatkan sebagai penggerak perubahan yang akan melahirkan generasi pembangun peradaban.
Sejarah tinta emas pernah ditorehkan pada masa Islam terdahulu, banyak lahir putra putri terbaik mengemban risalah dan ilmu pengetahuan dengan keimanan yang tinggi. Mereka mengabdikan ilmu dengan iman semata untuk kemaslahatan umat manusia bukan berorientasi materi hingga membuat peradaban Islam semakin cemerlang.
Dalam sirah Nabi saw, dan tarikh Daulah Khilafah Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji pendidik juga diperhatikan dan menjadi beban negara yang diambil dari Baitul maal (kas negara). Sehingga mereka bisa fokus dalam menjalankan tugasnya dan tidak lagi was was dengan persoalan ekonomi.
Selain itu negara wajib mengontrol dan mengawasi media massa dan perilaku individu individu dalam kehidupan umum. Media massa tidak boleh menyebarkan nilai, pemikiran yang merusak akal dan membahayakan jiwa. Begitu pula masyarakat ikut berperan mengontrol dan menjaga generasi dari lingkungan yang buruk dalam pendidikannya.
Walhasil, jika ingin sistem pendidikan menghasilkan output berkualitas maka harus ada sinergitas yang terpadu dari komponen guru, orangtua, masyarakat dan negara dengan sistem pendidikan yang berpijak pada aqidah Islam. Wallahu a'lam.
0 comments:
Posting Komentar