SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Selasa, 18 Juni 2024

Oleh. Anizah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)



Pendanaan ormas dalam melaksanakan kinerjanya tidaklah membutuhkan biaya yang sedikit, namun memberikan izin pengelolaan tambang kepada ormas pun bukan pula solusi pendanaan agar mandiri. Rupanya tidak semua ormas siap saat diberikan izin kewenangan tersebut. 


Sebagaimana dilansir dari laman tirto.id pada 06/06/2024, ketua umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, menuturkan alasan organisasi keagamaannya mau mengelola izin usaha pertambangan. Alasannya, untuk membiayai organisasi dan santri.


Dia menuturkan, ada pesantren di Kediri Jawa Timur yang memiliki santri 43.000 orang. Pesantren di Kediri tersebut diklaim memiliki infrastruktur yang terbatas, memiliki kamar berukuran sembilan meter persegi untuk 60 santri. "Mereka (santri) hanya bisa pakai kamar itu untuk menaruh barang dan mereka tidur di sembarang tempat. Karena, tidak ada kamar untuk tidur," ucap Yahya.


Selain bercerita tentang kondisi para santri saat ini, Yahya juga menceritakan tentang kisah sedih guru di pesantren NU. Guru pesantren NU hingga saat ini tidak mendapatkan upah yang sepadan. Jadi Yahya lantas berdalih meminta bantuan kepada pemerintah pusat untuk pesantren NU.


Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyetujui Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).


Meskipun telah diberikan ruang untuk mengelola tambang, namun tak semua ormas keagamaan menyambut uluran tangan dari Pemerintah tersebut. Hingga kini baru PBNU yang mengajukan izin WIUPK.


Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sejauh ini menolak tawaran dari pemerintah. Sementara itu, Muhammadiyah sepertinya tidak ingin tergesa-gesa dalam mengambil tawaran tersebut.


Berbagai Penolakan


aringan Gusdurian menyatakan sikap menolak kebijakan pemerintah yang memberikan ruang bagi organisasi keagamaan untuk mengelola usaha Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK)" Menolak kebijakan pemerintah untuk memberi izin pada ormas keagamaan karena bertentangan dengan undang-undang Mineral dan Batubara," kata pokja keadilan Ekologi jaringan Gusdurian Inayah Wahid, (kompas.com, 12/6/2024).


Inayah menambahkan, dalam undang-undang pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa izin hanya dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi atau perusahaan perseorangan melalui cara lelang. 


Jaringan Gusdurian menegaskan, industri pertambangan di Indonesia penuh dengan tantangan lingkungan dan etika, termasuk degradasi lahan, penggundulan hutan, hingga penggusuran masyarakat lokal. Bahkan, jaringan Gusdurian telah mendampingi berbagai kasus terkait tambang seperti kasus Wadas, Kendeng, Tumpang pitu, Gorontalo, Pandak Bantul, Banjar negara, Mojokerto, dan lain-lain.


Menurut Inayah, pelibatan ormas keagamaan sebagai entitas penerima izin pertambangan memunculkan diskursus tentang peran organisasi kemasyarakatan. Pasalnya, selama ini ormas keagamaan berperan sebagai penjaga moral etika bangsa dalam hidup bermasyarakat dan penyelenggaraan negara, termasuk didalamnya terkait kebijakan industri ekstraktif.


Penolakan ini bukan dari jaringan Gusdurian saja, tetapi, dari beberapa pihak yang lainnya juga. Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil mengatakan gagasan itu bukan solusi dari masalah pertambangan yang ada.

"Kalau semua ormas bisa mengurusi izin tambang tanpa kualifikasi yang jelas, maka saya kira kita sedang dalam kebangkitan ekologi dari ujung Sumatera hingga Papua," katanya. (Tempo, 14/5/2024).


Bukan hanya penolakan dari berbagai pihak saja yang muncul, tetapi kecurigaan dari beberapa pihak tentang rencana ini mulai bermunculan. Kisman Latumakulita dari podcast bersama Ahmad yani menuturkan, "kalau saya lihat ini cuma ketakutan (Jokowi), karena kalau sudah berakhir kekuasaannya nanti yang bayar hutang ya ormas-ormas." (REPUBLIKMERDEKA, 15/6/2024).


Disamping itu, dia juga memandang kebijakan pemberian IUP ke ormas agamasebagaimana tertuang dalam PP 25/2024 adalah bagian dari timbal balik jokowi kepada kelompok pendukungnya selama 2 periode.


Akibat Sistem Kapitalisme


Masalah infrastruktur pesantren dan gaji guru yang kurang layak, yang menjadi alasan PBNU untuk mengelola tambang, seharusnya semua itu adalah tanggung jawab negara, yang mana negara wajib memberikan infrastruktur yang baik untuk pendidikan dan negara juga berkewajiban untuk menyejahterakan guru. Bukan memberikan izin pengelolaan tambang kepada PBNU, yang mana PBNU mencari sendiri dana untuk infrastruktur pesantrennya.


Kebijakan ini sekaligus membuka mata kita lebar-lebar bahwa sebenarnya negara hanya berperan sebagai fasilitator. Negara memberikan fasilitas berupa peraturan agar pengelolaan SDA bisa dilakukan. Sayangnya, aturan ini menunjukan bahwa negara malah terlihat berlepas tangan dari tanggung jawabnya untuk mengurusi kebutuhan rakyatnya.


Praktik seperti ini hanya ada dalam negara yang mengambil kapitalisme. Negara tersebut akan menjadikan sekularisme sebagai landasan kebijakan. Alhasil, negara tidak akan menyandarkan kebijakan pada aturan agama. Selain itu, negara juga memakai materi sebagai pendorong melakukan kebijakan. Akibatnya, semua kebijakan mengarah pada materi (kesejahteraan ekonomi) meskipun tidak akan pernah terjadi.


Pandangan Islam


Dalam Islam, negara wajib memanfaatkan pengelolaan SDA itu untuk kemakmuran rakyat. Karena negara wajib meriayah (mengurusi) kebutuhan umat. Islam mengharamkan negara berlepas tangan dari kepentingan rakyat. Jika itu terjadi, akan ada kelompok yang senantiasa mengingatkan. Inilah sebenarnya tugas kelompok kita, baik itu dalam bentuk organisasi masyarakat atau partai politik, keduanya memiliki peran untuk berjuang demi rakyat.


Di dalam Islam tambang yang jumlahnya berlimpah merupakan kepemilikan umum (milkiyah ammah) yang diperuntukan untuk rakyat. Haram hukumnya dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing, dan termasuk haram juga jika diklaim sebagai milik negara. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dalam riwayat Abu Dawud dan Ahmad, "kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api."


Adapun pengelolaannya dilakukan oleh negara. Hasil pengelolaan tambang tersebut wajib dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatannya, bisa berupa produk jadi seperti migas maupun berupa layanan publik, seperti penyediaan pendidikan dan kesehatan secara gratis untuk rakyat.

Itu semua bisa terwujud jika negara menerapkan syariat Islam di segala bidang dalam naungan khilafah.


Wallahualam bissawab. 


0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts