SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Minggu, 01 September 2024

Oleh. Sendy Novita, S.Pd,M.M

(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Blora)




Rosan Roeslani secara resmi ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dari menteri sebelumnya, Bahlil Lahadalia. Mengutip Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2000 tentang Tentang Hak Keuangan/Administratif Menteri Negara Dan Bekas Menteri Negara Serta Janda/Dudanya, dalam beleid itu disebutkan bahwa gaji pokok seorang menteri ditetapkan sebesar Rp 5.040.000 per bulan. 


Tak hanya gaji, Rosan juga akan mendapatkan tunjangan serta sejumlah fasilitas negara lainnya. Mulai dari tunjangan kinerja (tukin), tunjangan anak/istri, tunjangan pensiun, hingga fasilitas keuangan berupa dana operasional. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 68 Tahun 2001 tertulis petinggi Kementerian berhak mendapatkan tunjangan jabatan hingga Rp 13.608.000 per bulan ( JawaPos.com Senin 19/8).


Membahas gaji besar yang para pejabat dapatkan, tentu akan semakin ngiler dengan gaji yang didapatkan oleh para petinggi BUMN selama ini. Peraturan Menteri BUMN No. PER-3/MBU/03/2023 menetapkan penghasilan anggota komisaris BUMN bisa terdiri dari honorarium, tunjangan, fasilitas, tantiem atau insentif kinerja/khusus, dan insentif jangka panjang.


Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pernah menyampaikan di Kick Andy Show pada Juni 2020, bahwa honorariumnya sebagai komisaris utama Pertamina adalah Rp170 juta per bulan. Selain itu sebagai direktur utama Pertamina biasanya Ahok mendapatkan tantiem (keuntungan perusahaan yang dihadiahkan pada karyawan secara tahunan) hingga mencapai Rp25 miliar. Dirinya sendiri mendapatkan tantiem Rp11,25 miliar.


Transparency Internasional Indonesia (TII) menyebut, ada sekitar 482 komisaris dari 106 BUMN pada 2020 dan sebanyak 17,63 persennya diangkat dari kalangan profesional, dimana sisanya (82,37%) diangkat berdasarkan pertimbangan politik. Jumlah mereka yang begitu besar sudah menjadi rahasia umum jika kinerja hanya ongkang-ongkang.


Wajar saja jika performa sejumlah besar BUMN bukan melejit tapi justru kian hari kian menurun. Selain tidak memiliki Capable di bidangnya, para petinggi BUMN ternyata menyedot beban pengeluaran yang fantastis untuk membayar gajinya.


Demikianlah politik transaksional dalam sistem demokrasi yang selama ini dipertontonkan setiap hari. Ini baru pada awal kontestasi, belum bicara berjalannya pemerintahan. Mengapa? Demi sebuah gaji yang fantastik itulah tak lagi dijumpai oposisi karena sejatinya oposisi adalah sebuah posisi dalam dunia politik berarti partai penentang yaitu perwakilan yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan eksekutif yang berkuasa dalam kebijakan. Berbondong-bondonglah mereka untuk berkoalisi yaitu sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan, atau aliansi beberapa unsur, yang dalamnya ada unsur kerjasama yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. 


Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat agaimana tidak? Dengan masuk pada partai koalisi, mereka berpeluang mendapatkan jatah yang lagi-lagi bisa dijadikan lahan basah. 


Sungguh, sistem politik demokrasi tidak pernah bisa dipisahkan dari politik transaksional karena itulah yang akan menjadi semangat dalam berjalannya dunia politik. Berharap agar tidak ada politik balas budi atau bagi-bagi dalam sistem demokrasi adalah bagai mimpi di siang hari yang tidak akan pernah bisa terealisasi sampai mati, miris bukan?


Lebih jauh, politik transaksional hanya menilai dari manfaat dan materi yang didapat. Sekadar melahirkan kerja sama yang juga berdasarkan kepentingan elite, bukan kepentingan rakyat. Alhasil, umat hanya akan mendapatkan pemimpin yang tidak mampu dalam mengurusi apa pun.


Kebanyakan mereka adalah orang yang tidak pernah merasa kenyang dalam mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dan tahta setinggi-tingginya sehingga hati nurani telah mati dan tak mampu berempati pada rakyat yang semakin hari semakin sulit. Sungguh ironi, saat pejabat yang memiliki harta melimpah justru malah melakukan korupsi.


Memangku jabatan sebagai pimpinan, sejatinya adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Pada hakikatnya, dalam Islam kepemimpinan adalah amanat, kepercayaan dari Allah yang diberikan kepada hambaNya untuk membawa kebaikan, hidup sejahtera dan keberkahan.


Sebagai kepala negara, nabi juga menunjuk orang-orang terpercaya untuk menduduki posisi-posisi strategis, misalnya menjadi penguasa di suatu daerah, pemimpin perang, mengurus harta kekayaan negara, memenuhi kebutuhan orang miskin dan anak yatim, maupun yang lain-lain. Di dalam menentukan para pemangku jabatan dimaksud, selain mempertimbangkan kemampuan atau kompetensi, diutamakan adalah orang-orang yang amanah atau bisa dipercaya.


Berbeda dengan sistem politik demokrasi yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mendulang harta dan tahta, Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jabatan sejatinya memiliki dimensi ruhiah yang amat tinggi sehingga siapa pun yang beriman dan bertakwa tidak akan pernah mengejar jabatan hanya semata untuk harta. Motivasi satu-satunya dan paling utama adalah mengejar jabatan semata mencari rida Allah Taala karena sungguh Dia sangat mencintai pemimpin yang amanah dan adil. Sebaliknya, sangat membenci pemimpin yang zalim.


Dari Abu Said al-Khudri ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla dan yang paling dekat tempat duduknya pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang adil; sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).


Selain itu, Islam pun telah mengajarkan bahwa suatu urusan/jabatan harus diserahkan pada seseorang yang memiliki kapabilitas tinggi yang memahami dan paling mengerti seluk beluk dari sebuah pekerjaan yang menjadi amanahnya.


Rasulullah saw. bersabda, “Apabila sifat amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya Kiamat.” Orang itu bertanya, “Bagaimana hilangnya amanah itu?” Nabi saw. menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya Kiamat.” (HR Bukhari).


Oleh karena itu, agar jabatan bisa dipegang oleh orang yang amanah dan kapabel, harus ada perubahan paradigma yang besar terkait dengan sistem politik. Sistem politik transaksional demokrasi hanya melahirkan para pemimpin yang rakus harta dan tahta. Saatnya beralih kepada sistem politik Islam untuk mendapatkan pemimpin yang amanah dan kapabel, sesuai dengan syariat Islam sehingga ridha Allah pun akan dapat diraih. Wallahualam bissawab. 





0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts