Oleh. Rita Handayani
(Penulis dan Founder Media)
Turunnya harga barang dan jasa ternyata tidak selamanya membawa kebaikan. Meskipun tampak menguntungkan, karena dengan jumlah uang yang sama, kita bisa membeli lebih banyak barang atau jasa.
Namun, ketika tingkat harga umum turun secara berkelanjutan, bisa menyebabkan Deflasi. Deflasi juga sama berbahayanya seperti inflasi dan ini bisa menjadi indikator masalah dalam perekonomian suatu negara. Seperti yang terjadi saat ini, kita mengalami deflasi dalam lima bulan berturut-turut sejak dari Mei hingga September 2024.
Menurut ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana. “Deflasi yang terjadi dalam lima bulan berturut-turut ini memperlihatkan dengan jelas bahwa, masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja," ujarnya.
Bahkan, pengamat ekonomi Meti Astuti, S.E.I., M.Ek. menilai deflasi beruntun ini sebagai indikasi dari adanya kondisi ketimpangan ekonomi yang semakin melebar juga mengindikasikan gagalnya negara menyejahterakan dalam menyejahterakan masyarakat. (MuslimahNews.net, 14/10/2024)
Karena itu, mustahil terwujud permintaan dari bank sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Pasalnya, hampir seluruh sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), tentu hal tersebut bakal berimbas pada anjloknya daya beli. (bbc.com, 4/9/2024)
Apa itu Deflasi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) deflasi adalah penambahan nilai mata uang, antara lain dengan pengurangan jumlah uang kertas yang beredar dengan tujuan mengembalikan daya beli yang nilainya turun. Jadi deflasi merupakan fenomena dalam penurunan harga yang ada di suatu wilayah.
Harga barang dan jasa yang terus turun ini sebagai konsekuensi dari kehilangan pembeli. Pemerintah tidak mampu dalam mengatasi penurunan daya beli masyarakat. Sehingga berdampak pada penurunan harga barang dan jasa dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan pengurangan produksi yang pada akhirnya akan berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Dampak Deflasi
Selama ini sebagian besar kinerja perekonomian Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Deflasi terjadi mengindikasikan kalau konsumsi rumah tangga yang mengalami penurunan daya beli secara signifikan ini diakibatkan oleh rendahnya upah, pendapatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan belanja barang dan jasa, sehingga menahan daya beli masyarakat.
Pemerintah dengan kebijakan yang dibuatnya dianggap mandul dalam memperbaiki perekonomian rakyat. Malah sebaliknya, kebijakan pemerintah seringkali kontraproduktif terhadap terciptanya daya beli yang tinggi di tengah masyarakat. Contohnya seperti kebijakan tapera, kenaikan pajak, dan lain lain.
Apabila daya beli sektor rumah tangga terus menurun, tentu dampak secara langsung adalah pada kesejahteraan bagi anggota keluarga, termasuk ibu dan anaknya. Kita ketahui bahwa, anggaran rumah tangga saat ini sebagian besar dikeluarkan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Dengan terjadinya deflasi pada harga bahan pangan pokok (sembako) seperti telur, cabai, daging ayam, dan tomat) saja keluarga sudah mengurangi konsumsinya.
Apatah lagi untuk mengeluarkan biaya pendidikan dan kesehatan yang lebih mahal. Sangat mungkin akan dikorbankan mengingat rendahnya kemampuan daya beli rumah tangga serta tingginya biaya jasa pendidikan dan kesehatan. Akibatnya generasi akan mengalami penurunan dalam kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan. Mengingat lemahnya kemampuan daya beli rumah tangga.
Akibat Sistem Kapitalis
Ketika kelas pekerja terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah badai deflasi. Pada saat bersamaan, ternyata pendapatan golongan masyarakat yang kaya malah terus bertambah. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh pengamat ekonomi Meti Astuti, S.E.I., M.Ek.
“Jumlah tabungan di bawah Rp100 juta terus melorot, sementara tabungan masyarakat di atas Rp2 miliar justru terus menerus meroket,” ungkapnya.
Ketimpangan ekonomi yang makin melebar dan dalam ini imbas dari para kapital yang mendapat privilege (hak istimewa) dalam menguasai sumber ekonomi milik masyarakat. Imbasnya negara gagal mensejahterakan rakyatnya.
Ini merupakan ciri khas dari dampak diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik yang membebaskan kepemilikan terhadap sumber daya ekonomi. Sehingga yang kaya makin kaya sementara rakyat yang mayoritas berada dalam kemiskinan yang semakin miskin.
Sistem kapitalisme hanya menjadikan negara sebagai regulator semata, bukan pengurus utama dalam urusan umat. Untuk urusan pembukaan lapangan pekerjaan saja misalnya, pemerintah hanya mengandalkan perusahaan supaya bisa memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyatnya. Konsekuensinya, regulasi ketenagakerjaan yang dibuat adalah untuk pekerja hanya mendapatkan kerja dan upah yang sepadan.
Sementara perusahaan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang dikejar hanya profit, mereka tidak memiliki kepentingan untuk mensejahterakan para pekerja. Mereka, malah sebaliknya melakukan berbagai cara agar bisa terus menekan upah para pekerja karena bagi perusahaan upah pekerja itu bagian dari faktor produksi. Sehingga tidak heran, mereka akan dengan mudahnya dalam mem-PHK pekerja apabila profit perusahaan berkurang.
Akibat dari sistem kapitalisme ini menjadikan pemerintahan mudah dikendalikan oleh para pemilik modal. Bisa kita buktikan berbagai kebijakan yang ditetapkannya sangat kental dengan kepentingan para pemodal swasta. Mulai dari hitungan upah hingga jam kerja yang sangat menguntungkan perusahaan dan lebih zalimnya pada pekerja. Salah satu contohnya adalah UU Omnibus Law Cipta Kerja meski aksi penolakan dari rakyat berjilid-jilid tetap pemerintah memaksa untuk disahkan.
Sistem ekonomi kapitalisme juga telah meniscayakan liberalisasi dan privatisasi SDA telah menjadi legal di negeri ini. Akibatnya, SDA batubara, tambang, hingga migas mayoritas dikelola oleh swasta. Tentu hal ini menyebabkan negara kehilangan pemasukan besarnya. Sebab hasil dari pengelolaan SDA mengalir pada swasta, sedangkan kas negara hanya memperoleh sisa-sisa recehnya yang berupa pajak perusahaan.
Negara kapitalis juga mengandalkan pajak dari rakyat dalam menopang seluruh roda pemerintahan. Kondisi inilah yang semakin menyengsarakan rakyat termasuk di dalamnya menurunkan daya beli mereka. Sudahlah kebutuhan pokok sulit untuk terakses, rakyat malah dibebani oleh macam macam pajak, seperti pajak, mulai dari PPh, PPN, PBB, pajak kendaraan bermotor hingga cukai begitu membebani rakyat.
Oleh karenanya, akar persoalan dari terjadinya fenomena deflasi dan penurunan daya beli saat ini adalah karena keberadaan sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Jadi sudah saatnya kita buang kapitalisme dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam.
Islam Pengganti Kapitalisme
Kondisi seperti ini, tentu harus segera diakhiri dengan cara menerapkan sistem ekonomi Islam sebagai pengganti tunggal dari sistem kapitalisme. Sistem ekonomi Islam memiliki sejumlah mekanisme dalam mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat, yakni sebagai berikut.
Pertama, Negara dijadikan pihak sentral dalam mengurusi urusan umat. Dengan begitu, pemerintah tidak akan fokus pada perkembangan ekonomi tanpa memperhatikan manusianya. Pemerintah menjamin semua laki-laki bekerja karena kewajiban dalam nafkah ada pada kaum laki-laki.
Pemerintah akan berusaha untuk memenuhi lapangan pekerjaan. Negara dalam pengaturan Islam tidak hanya mengandalkan perusahaan swasta dalam penyediaan lapangan kerja. Karena regulasinya dalam Islam mengharamkan kepemilikan umum seperti SDA dikuasai oleh swasta.
Sebaliknya, syariat Islam memosisikan negara mampu mandiri dalam mengelola SDA. Kemandirian pengelolaan inilah yang akan membuka lapangan pekerjaan sangat luas, karena eksplorasi dan eksploitasi SDA membutuhkan banyak SDM.
Negara juga akan terbebas dari utang, karena aturan Islam memiliki kebijakan ekonomi yang independen, bebas dari kendali asing maupun aseng, serta seluruh kebijakannya berfokus pada kepentingan umat. Maka bukan hal yang mustahil terjadinya lingkungan bisnis yang kondusif beserta dengan aturan-aturan yang memudahkan rakyat untuk bekerja serta mendapatkan upah yang layak.
Negara dalam sistem Islam memiliki 12 pos sumber pemasukan tetap Baitulmal. Diantaranya adalah:
1. Anfal, Ghanimah, fai’ dan khumus.
2. Kharaj.
3. Jizyah
4. Harta kepemilikan umum
5. Harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya.
6. Harta ‘Usyur
7. Harta haram para penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak diijinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya.
8. Khumus (seperlima) barang temuan (rikaz) dan barang tambang.
9. Harta yang tidak ada ahli warisnya dan harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris.
baik dari kepemilikan umum dan fai.
Sumber pemasukan negara yang melimpah,ä tersebut tentu akan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Daya beli masyarakat akan tinggi karena mereka memiliki pendapatan yang layak sehingga mempunyai uang untuk dibelanjakan. Ekonomi pun akan berputar dengan baik dan kebutuhan pokok akan bisa terdistribusi dengan merata sampai ke level individu per individu.
Negara dalam Islam juga memiliki mekanisme lain yang mekanisme nonekonomi salah satunya adalah pemberian santunan terhadap keluarga miskin. Yakni keluarga yang tidak memiliki kepala rumah tangga yang bekerja atau sudah bekerja tapi upahnya tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga yang ditanggungnya. Santunan yang diberikan berupa kebutuhan pokok, sampai keluarga tersebut mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Jaminan kebutuhan pokok dalam syariat Islam itu bukan hanya pangan, tetapi juga sandang dan papan. Jika rakyat tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan tersebut maka negara yang akan membantunya. Sementara kebutuhan pokok masyarakat terkait pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan dijamin seluruhnya oleh negara. Demikianlah dalam APBN Islam yakni Baitulmal dengan pemasukan yang kuat dan melimpah akan meniscayakan seluruh aset rakyat berada di bawah tata kelola negara bukan swasta. Sehingga kesejahteraan masyarakat bukan lagi hanya mimpi di siang bolong. Namun bisa diwujudkan secara nyata.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar