SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Jumat, 07 Maret 2025

Penulis: Sendy Novita, S.Pd., M.M.

(Praktisi Pendidik)





Kabar duka datang menjelang Ramadan. Beberapa perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan, menyebabkan ribuan buruh terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Salah satunya adalah PT Sanken Indonesia. Setelah hampir tiga dekade berkecimpung di dunia industri elektronik, perusahaan ini resmi ditutup per Juni 2025, sebagaimana disampaikan melalui *online single submission* (Tempo, 24/2/2025). Berikutnya, Toyota, Isuzu, Hino, dan Mitsubishi—pabrikan otomotif yang memproduksi truk dan *dump truck* dengan pabrik dan karyawan dalam jumlah besar di Indonesia—terdampak membanjirnya impor mobil truk dan *dump truck* dari Tiongkok. Yang tak kalah mengejutkan, perusahaan tekstil Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang bermula dari kios kecil di Indonesia, berada di ujung tanduk setelah Mahkamah Agung menolak kasasinya pekan lalu. Didirikan 58 tahun lalu, Sritex merupakan pemain utama dalam industri tekstil Indonesia, memasok seragam militer ke negara-negara NATO dan mempekerjakan banyak tenaga kerja di Jawa Tengah. Namun, hingga September 2024, Sritex tercatat memiliki *outstanding* kredit sebesar Rp14,64 triliun, terdiri dari Rp14,42 triliun utang ke 27 bank dan Rp220 miliar utang ke perusahaan pembiayaan (Kompas.com, 26/12/2024). PT Sritex, yang dianggap paling kuat menghadapi PHK, nyatanya juga melakukan PHK massal. Tentu saja, ini dampak sosial dari kebijakan pemerintah yang memudahkan produk Tiongkok masuk ke Indonesia melalui ACFTA maupun UU Cipta Kerja.


Banyaknya PHK massal merupakan akibat penerapan sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasi ekonomi. Negara berwatak populis otoriter ini menjalankan peran hanya sebagai regulator untuk memenuhi kepentingan oligarki. Bahkan, Sritex dijanjikan selamat jika pada pemilu memilih calon tertentu. Nyatanya, PHK massal tetap tak terhindarkan.


Selain di sektor swasta, PHK juga mengancam pekerja di instansi pemerintah. Efisiensi anggaran berimbas pada karyawan, terutama tenaga lepas. Mereka akan digaji sesuai durasi waktu kerja atau proyek. Seleksi ulang berdasarkan kompetensi dan kinerja juga dilakukan, membuat banyak pekerja khawatir kehilangan pekerjaan.


Akibat pemangkasan anggaran, beberapa kementerian dan lembaga kesulitan membayar gaji dan tunjangan karyawan. Kondisi ini menurunkan motivasi kerja dan memengaruhi kualitas pelayanan.


Melihat banyaknya PHK, Presiden Prabowo Subianto membuat kebijakan pemberian 60% gaji selama enam bulan bagi karyawan yang di-PHK. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pasal 21 Ayat (1) PP tersebut menjelaskan pekerja yang terkena PHK dan terdaftar dalam Program JKP dapat menerima manfaat uang tunai setiap bulan sebesar 60% dari upah selama maksimal enam bulan.


Namun, regulasi ini bersifat sementara (enam bulan) dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Padahal, kebutuhan hidup terus ada. Mencari pekerjaan setelah PHK juga sulit, terutama bagi pekerja berusia lanjut.


Buruh Menjadi Korban


Gelombang PHK menunjukkan buruknya dampak investasi di negara kita dan lemahnya kondisi buruh dalam sistem kapitalisme. Buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi, seperti bahan baku dan mesin. Buruh bukan mitra kerja dan selalu dipandang sebelah mata, menjadi objek yang dikorbankan saat perusahaan menghentikan produksi, baik karena pailit atau relokasi.


Bahkan tanpa PHK, buruh selalu berada di bawah, dengan upah minim, tanpa jaminan kesejahteraan, dan banyak haknya yang hilang, termasuk kebijakan *outsourcing* yang zalim. Berbagai aksi demonstrasi tak mampu membawa perubahan signifikan. Pemilik modal abai, dan pemerintah seolah pasrah. Serikat buruh pun tak mampu menyuarakan keinginan buruh dan melawan korporasi yang dimudahkan penguasa. Saat ini, ribuan buruh mengalami PHK massal tanpa adanya pihak yang bertanggung jawab atas nasib mereka.


Buruh sejahtera hanya dengan Islam?


Islam dan kapitalisme tentu berbeda dalam memposisikan buruh. Ada hubungan antara buruh, pemberi kerja atau pengusaha, dan penguasa atau pemerintah. Jika kapitalisme mengeksploitasi buruh, maka Islam menganggap buruh sebagai mitra bagi pengusaha. Keduanya harus saling tolong-menolong dalam mewujudkan kelangsungan kehidupan.


Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyampaikan dalam buku *Sistem Ekonomi dalam Islam (Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam)*, “Ijarah (pengupahan) pada dasarnya adalah upaya seorang majikan (musta’jir) mengambil manfaat (jasa) dari seorang pekerja (ajir) dan upaya seorang pekerja untuk mengambil harta (upah) dari majikan. Artinya, ijarah adalah akad (transaksi) jasa dengan adanya suatu kompensasi.”


Menilik kalimat tersebut, hubungan buruh dan pengusaha adalah hubungan yang terikat dalam kondisi kebaikan. Buruh memberi jasa dan pengusaha membayar upahnya; esensinya, tidak ada kedzaliman di antaranya.


Yang tak kalah penting adalah negara sebagai pengurus urusan umat. Sehingga wajib memenuhi kebutuhan pokok buruh atau pekerja berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, juga keamanan. Dengan demikian, tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat ada di tangan negara, bukan pengusaha. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin.” (HR. Al-Bukhari).


Pengusaha tidak berkewajiban menjamin kebutuhan pokok karyawannya. Kewajiban pengusaha adalah memberikan upah kepada buruh secara layak, sesuai kesepakatan keduanya. Pengusaha wajib menjelaskan segala sesuatu tentang pekerjaan, yaitu deskripsi tugas, upah, jam kerja kepada buruh sehingga terwujud keadilan, tidak ada kezaliman. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR. Ad-Daruquthni).


Dalam Islam, negara mempunyai peran penting untuk mewujudkan iklim investasi yang kondusif sehingga industri bisa tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kebangkrutan, dengan menghilangkan pungutan-pungutan seperti pajak, retribusi, dan pungli yang bisa membebani pengusaha sehingga menghambat pertumbuhan industri.


Jika ada perusahaan yang bangkrut, negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyat yang menjadi korban PHK. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta tersebut menjadi hak keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau keluarga (yang wajib diberi nafkah), maka itu urusanku dan kewajibanku (penguasa).” (HR. Muslim).


Selain itu, negara harus mampu mengelola sumber daya alam (SDA), bukan menyerahkannya pada swasta, asing maupun asing (perbaikan redaksi: mungkin maksudnya "asing" saja?), sehingga mampu melakukan industrialisasi. Hal ini akan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat. Dengan demikian, tidak ada rakyat yang hidup kekurangan karena tidak punya atau kehilangan pekerjaan. Semua rakyat akan memiliki pekerjaan dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya berupa sandang, pangan, dan papan. Sedangkan kebutuhan pokok berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan oleh negara secara gratis.


Dengan pengaturan berdasarkan syariat Islam kaffah, rakyat (termasuk buruh) akan merasakan kesejahteraan yang sebenarnya. Wallahu a'lam bisshawab.





0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts