Penulis: Sendy Novita, S.Pd., M.M.
(Praktisi Pendidik)
Hari Raya Idulfitri baru saja usai. Kini, masyarakat berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman untuk kembali beraktivitas seperti biasa. Mudik ke kampung halaman, fenomena tahunan yang selalu dinantikan, seakan menjadi tradisi yang terjadi setiap akhir Ramadan. Mereka meninggalkan perantauan dan kembali ke desa dengan berbagai tujuan: mengunjungi orangtua, menjalin silaturahmi dengan saudara, atau sekadar mengenang masa lalu. Tradisi ini telah mengakar kuat dalam masyarakat Muslim, khususnya, dan berlangsung selama puluhan tahun.
Rasulullah SAW pernah melakukan perjalanan "mudik" ke Mekkah selama 19 hari, di mana beliau dan para sahabat merayakan Idulfitri ke-6 di kampung halaman. Perjalanan tersebut membuktikan bahwa Islam adalah agama penuh keberkahan. Beliau memaafkan musuh-musuh yang menentang dakwah-Nya, lalu kembali ke Madinah. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada lagi hijrah ke Madinah setelah kemenangan di Mekkah, yang ada adalah niat tulus dalam melakukan kebajikan disertai jihad dalam mewujudkannya" (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). Sebagai umat Islam, kita hendaknya meneladani beliau dengan menyebarkan kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian selama mudik.
Sayangnya, dari tahun ke tahun, aktivitas mudik mengalami banyak perubahan. Ia tak lagi semeriah dan penuh keberkahan seperti dulu, bahkan menjadi ajang *flexing*. Tradisi mudik, bagian integral budaya Indonesia, terus berubah seiring perkembangan zaman. Menurut pakar Sosiologi Pedesaan IPB University, Prof. Dr. Sofyan Sjaf (siaran pers IPB University, Selasa, 8 April 2024, Kumparan.com), beberapa faktor memengaruhinya, antara lain: banyak orang yang memilih merayakan Lebaran di Tanah Suci, orangtua yang mengunjungi anak di perantauan, beragamnya pilihan moda transportasi dan biaya, serta—yang tak kalah penting—mudik sebagai ajang *flexing* untuk menunjukkan kekuatan dan keberhasilan sebagai perantau di kota besar.
Mengapa hal ini terjadi? Budaya materialisme dan sekular kapitalis yang tumbuh subur di masyarakat telah mewarnai tradisi mudik. Perayaan kemenangan justru diwarnai perbuatan makruh bahkan haram, seperti berlebih-lebihan dalam makan dan minum, berpakaian tidak sesuai syariat, menghamburkan uang untuk pamer kekayaan, serta menjadikan halal bihalal, reuni, atau acara musik sebagai ajang pamer. Oleh karena itu, umat perlu kecerdasan dalam memanfaatkan momen mudik agar terhindar dari kemaksiatan dan pelanggaran syariat. Wallahu a'lam bisshawab.
0 comments:
Posting Komentar