Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M.
(Praktisi Pendidik)
Meskipun dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, pengeboman Israel terus berlanjut, menewaskan puluhan orang di Jalur Gaza, Palestina (Erakini.id, Senin, 31 Maret 2025). Palestina merayakan Idul Fitri pada Sabtu (30/1). Hari kemenangan yang dinantikan umat Muslim dunia justru dirayakan dengan darah dan nyawa.
Gencatan senjata yang dijanjikan Israel tak kunjung terwujud. Serangan udara dini hari menghantam tenda dan rumah warga, menewaskan sedikitnya 35 orang. Serangan brutal juga menyasar pekerja medis dan awak media. Penghentian pengiriman bantuan sejak awal Maret semakin mempersulit warga. “Warga Palestina seharusnya berbuka puasa dengan makanan lezat (untuk Idulfitri), tetapi hari ini mereka tak mendapatkan apa pun,” kata Hind Khoudary dari Al Jazeera, melaporkan dari Deir el-Balah. Makanan di Jalur Gaza langka dan mahal, menyulitkan orang tua memberi makan keluarga.
Hampir 90% warga Rafah mendapat perintah evakuasi paksa dari juru bicara militer Israel, dengan peringatan operasi tempur intensif akan dilanjutkan. Avichay Adraee, dalam unggahan di X, meminta warga Rafah dan sekitarnya segera mengungsi ke al-Mawasi. Radio Angkatan Darat Israel menyebutnya evakuasi terluas sejak pertempuran kembali berkecamuk. Rafah, diduduki selama tujuh bulan invasi darat (Mei 2024-gencatan senjata), dihuni sekitar 50.000 warga Palestina yang terancam sejak penyerbuan mendadak Israel ke Shaboura. Ancaman Netanyahu—Hamas harus meletakkan senjata, mengasingkan pemimpinnya, dan menyerahkan keamanan Gaza kepada Israel—semakin memperparah situasi.
PBB menyoroti tewasnya dan terlukanya sedikitnya 100 anak setiap hari sejak serangan kembali dimulai pada 18 Maret, akibat dukungan Amerika Serikat. Lembaga Palestina dan PBB memperingati Hari Anak Palestina dengan kisah mengerikan akibat serangan tersebut. UNICEF melaporkan sedikitnya 322 anak tewas sejak serangan Israel pada 18 Maret 2025, menghancurkan gencatan senjata yang berlaku sejak 19 Januari 2025. Sebanyak 1.100 anak ditahan Israel sejak 7 Oktober 2023, dan 39.000 kehilangan orang tua. Pendudukan Israel secara sistematis menarget anak-anak, menggunakan mereka sebagai tameng manusia, merampas pendidikan, dan berupaya memutus identitas nasional mereka sejak 1948. Lebih dari 9.500 warga Palestina, termasuk perempuan dan lebih dari 350 anak-anak, ditahan di penjara Israel dalam kondisi memprihatinkan. Sejak Oktober 2023, Israel telah membunuh lebih dari 50.600 warga Palestina di Gaza (sebagian besar perempuan dan anak-anak), melukai 164.000, dan 14.000 dinyatakan hilang.
Meskipun Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan (November lalu) untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza, serta tuduhan genosida di Mahkamah Internasional, penjajahan dan penyerangan terus berlanjut. Gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan bukan solusi jitu. Hamas menyerukan negara-negara Arab dan umat Islam untuk mendukung rakyat Gaza, meningkatkan penolakan terhadap Israel, mengakhiri agresi, mencabut pengepungan, dan memperjuangkan hak Palestina. Adalah hal yang wajar jika genosida yang dilakukan Israel berjalan mulus tanpa hambatan. Perhatikan saja bagaimana penguasa negeri ini bertindak. Mereka tidak mampu menyelesaikan masalah Palestina dari akarnya—mengusir penjajah dan mengerahkan pasukan—bahkan sekadar membuka perbatasan untuk kelancaran bantuan kemanusiaan pun tidak bisa dilakukan, dengan dalih menjaga kepentingan nasional. Lebih jauh, ketika Israel melanggar perjanjian gencatan senjata, negara mediator justru meminta rakyat Gaza dan Hamas bersabar serta menerima keputusan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa masa depan Gaza tidak dapat diserahkan kepada negara yang tidak sepenuhnya menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.
Tindakan Hamas tentu mulia di mata umat Islam. Keikhlasan dan kesungguhannya tidak diragukan, namun Hamas hanyalah sebuah gerakan yang berada di bawah tekanan kekuatan negara, sehingga sulit mengambil langkah besar tanpa campur tangan negara lain. Satu-satunya jalan untuk membebaskan Palestina dan mengusir penjajah adalah dengan berdirinya negara Islam yang kuat, bukan sekularisme dan nasionalisme yang menghambat persatuan umat. Negara inilah yang akan memimpin jihad melawan penjajah dan mampu menghadapi negara-negara yang turut bertanggung jawab atas penjajahan, memaksa mereka kembali ke jalan yang benar. Negara tersebut adalah Khilafah, yang ditakuti Amerika dan sekutunya. Khilafah telah terbukti melindungi umat Islam sejak wafatnya Rasulullah SAW, memimpin peradaban dunia hingga runtuh pada tahun 1924 akibat konspirasi Barat. Keruntuhan Khilafah menjadi awal penderitaan, kehinaan, dan perpecahan umat Islam, termasuk masalah penjajahan di Palestina.
Oleh karena itu, menegakkan kembali Khilafah bukan hanya kewajiban dan konsekuensi iman, tetapi juga kebutuhan umat Islam. Upaya ini harus menjadi tujuan seluruh gerakan Islam di dunia, karena Khilafah merupakan solusi menyeluruh atas berbagai permasalahan, termasuk Palestina.
Mewujudkan Khilafah memang tidak mudah, karena kehadirannya akan menjadi mimpi buruk bagi penguasa negara adidaya dan sekutunya. Khilafah akan menggantikan kepemimpinan destruktif mereka dengan kepemimpinan yang penuh rahmat, karena kembalinya Khilafah adalah janji Allah yang disampaikan Rasulullah SAW. Wallahu a'lam.
0 comments:
Posting Komentar