Oleh. Rita Handayani
(Penulis dan Founder Media)
Anak adalah harapan orang tuanya. Apa jadinya jika anak yang
disayang hilang nyawa, jadi korban pembunuhan teman sebaya? Apa jadinya juga,
jika orang tua tahu, anak kebanggaan menjadi pelaku pembunuhan?
Inilah fakta kelam yang menyorot perhatian publik. Dua
remaja di Makassar berusia 17 dan 14 tahun tega menculik dan menghabisi nyawa
anak 11 tahun. Karena terpapar konten penjualan organ tubuh dari situs Yandex,
berupa ginjal. Yang bisa menghasilkan uang ratusan juta rupiah.
Kedua pelaku AD (17) dan MF (14) itu telah merencanakan
pembunuhan. Dengan mengiming-imingi korban uang 50rb, jika mau membersihkan
rumah AD. Di rumah tersebutlah korban FS (11) dianiaya dengan cara dicekik dari
belakang dan dibenturkan ke tembok lima kali. Hingga akhirnya korban meninggal.
(suara.com, 11/1/2023)
Namun sayangnya, setelah berhasil menghilangkan nyawa
korban, mereka tidak tahu bagaimana cara mengambil ginjal. Selain itu, mereka
juga kehilangan jejak, orang yang mau membeli ginjalnya. Karena memang belum
pernah kontek-kontekan secara
langsung. Akhirnya mayat korban dibuang.
Kombes Pol. Budhi Haryanto, selaku Kapolrestabes Makassar,
mengatakan kedua pelaku statusnya masih pelajar. Mereka tergiur setelah melihat
konten negatif di internet. Supaya bisa mendapatkan uang banyak.
Kegagalan Sistem
Pelaku pembunuhan yang masih berstatus pelajar. Menunjukkan
bahwa sistem hidup yang diadopsi oleh negara telah gagal. Baik dari perwujudan
sistem pendidikan, pergaulan, maupun keamanan.
Pertama, Kegagalan Sistem Pendidikan
Peristiwa kenakalan remaja dianggap menjadi hal biasa pada
sistem saat ini. Karena mereka dianggap sedang mencari jati dirinya. Namun,
sayangnya tidak ada pengarahan yang baik untuk membentuk jati diri pada para
pemuda agar menjadi pribadi yang tangguh dan berakhlakul karimah.
Anak terlibat pembunuhan memang sangat tragis. Kasus ini
hanya satu dari sekian banyaknya fenomena kekerasan yang melibatkan anak-anak.
Jumlah anak yang harus berhadapan dengan hukum tetap konsisten. Bertengger di
atas 100 anak dalam per tahunnya selama periode 2016-2019
Pada periode 2016-2020 saja, KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) telah mencatat terdapat sekitar 655 kasus anak yang berhadapan
dengan hukum. Karena mereka menjadi pelaku kekerasan. Dengan rincian 506 anak
menjadi pelaku kekerasan fisik dan 149 anak yang telah melakukan kekerasan
secara psikis.
Menurut KPAI permasalahan ini tidak hanya menjadi tanggung
jawab bagi orang tua serta keluarga saja. Namun juga menjadi tantangan besar
bagi lembaga pendidikan. Karena fenomena terhadap paparan kekerasan sangat
masif masuk dalam kehidupan anak yang berasal dari beragam media. Sehingga
menurut KPAI fenomena zaman ini harus disertai kebutuhan sekolah dalam membaca
kondisi kejiwaan pada setiap siswanya.
Sementara menurut dr. Arum Harjanti, seorang pengamat
masalah perempuan, keluarga, dan generasi. Mengungkap kejadian tersebut menjadi
gambaran kegagalan revolusi mental. Terutama pada bidang pendidikan.
Dalam mewujudkan profil pemuda yang memiliki kepribadian
mulia, bernalar kritis, dan kematangan dalam proses berpikir. Juga menunjukkan
kegagalan dalam membangun kerangka berpikir dan kepribadian anak seperti
tujuannya dalam sisdiknas.
Kedua, Kegagalan Sistem Pergaulan
Hal ini, juga mencerminkan rendahnya literasi dalam
pergaulan khususnya lingkungan digital bagi anak-anak. Serta abainya negara
dalam menciptakan ruang digital yang ramah pada anak. Sangat ironis, kasus ini
terjadi saat gencarnya program transformasi digital nasional.
Anak-anak kerap sekali menjadi korban dari lingkungan
pergaulan, baik secara nyata maupun secara digital. Mulai dari kasus kekerasan
seksual, tawuran, perundungan hingga pembunuhan. Semua itu banyak meracuni
dunia anak. Ini tentu sangat mengkhawatirkan sekaligus membuat miris.
Orang tua semakin merasa resah saat anak berada di luar
rumah. Namun juga tidak mungkin anak harus dikurung selama 24 jam di dalam
rumah. Tentunya ini menjadi dilema bagi orang tua terhadap anaknya saat bergaul
bersama temannya.
Ketiga, Kegagalan Sistem Keamanan
Tragedi ini pun sekaligus juga menunjukkan kegagalan dalam
sistem keamanan. Anak menjadi semakin tidak aman baik dalam bergaul atau
beraktivitas di lingkungan masyarakat. Orang tua akan jadi semakin was-was
melepas anak keluar rumah, baik untuk main dengan kawan sebayanya, maupun untuk
aktivitas lainnya.
Keamanan media sosial berimbas pada keamanan lingkungan
hidup. Nahasnya, internet sangat tidak ramah terutama bagi anak-anak. Banyak
anak terkontaminasi buruknya arus internet, yang akibatnya anak menjadi korban
mulai dari kekerasan fisik dan psikis hingga hilangnya nyawa.
Oleh karenanya, sangat disayangkan lima program prioritas
yang telah diusung dalam mempercepat transformasi digital. Rupanya telah
melupakan keamanan bagi para penggunanya. Terutama untuk anak-anak.
Sekularisme Menjadi Biangnya
Gagalnya konsep sistem pendidikan, pergaulan, juga keamanan,
dalam kapitalis sekuler. Sejatinya menunjukkan kegagalan dari sistem kehidupan
atau asas ideologi yang mengurus negeri ini. Sistem sekuler ini menjadikan
pengaturan ekonominya memiskinkan rakyat.
Sementara pengaturan pendidikannya hanya fokus pada capaian
yang bersifat materiil saja. Seperti dengan capaiannya menggunakan indikator
PISA (Programme for International Student Assessment). Capaian yang diinginkan
hanya mengukur kecakapan dalam matematika, membaca, juga sains. Sedangkan untuk
kesalehan dan kemuliaan akhlak diabaikan.
Selain itu sistem ini juga membentuk pribadi yang hedonis,
materialistis, dan konsumtif. Membuat umat menjadi semakin jauh dari
kemuliaannya sebagai manusia. Semakin Abai pada aturan agama, juga makin jauh
dari ikatannya terhadap Allah Pencipta alam semesta.
Alhasil, sistem ini menciptakan seorang anak yang seharusnya
tumbuh. Juga berkembang nilai-nilai kebaikannya. Justru berperilaku buruk
bahkan membahayakan lingkungan juga kehidupan sesamanya.
Sistem Hidup Terbaik
Jika kehidupan ini carut-marut akibat dari pola sistem yang
diterapkannya adalah sekuler-kapitalis. Maka berbeda dengan realita pada masa
peradaban Islam. Saat peradaban Islam menaungi dunia, umat manusia
tersejahterakan, tercukupi kebutuhan sandang, pangan juga papannya, terjamin
keamanannya, hingga tercipta pergaulan dan kehidupan yang harmonis.
Demikian juga dengan pendidikannya. Menghasilkan
pribadi-pribadi yang berakhlakul karimah, penuh kasih sayang terhadap sesama,
saling tolong-menolong dan memiliki keimanan juga ketakwaan yang tinggi.
Sehingga amat jarang ditemui kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Apalagi
sampai anak terlibat kasus pembunuhan.
Yang ada adalah sosok-sosok para pemuda yang tumbuh dalam
kemuliaan iman. Bahkan mampu mengukir prestasi hebat di berbagai bidang
pendidikan juga kehidupan di tengah masyarakat. Ada banyak sosok pemuda berlian
di masa kegemilangan Islam. Diantaranya adalah;
Ali bin Abi Thalib yang dijuluki kuncinya ilmu. Ada Usamah
bin Zaid di usia 18 tahun sudah menjadi panglima perang yang pasukannya adalah
para pembesar sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar. Dalam menghadapi pasukan
terbesar dan terkuat pada masa tersebut.
Zaid bin Tsabit seorang penulis wahyu, hafal kitabullah
turut serta dalam kodifikasi Al Qur'an di usia 13 tahun, dan mampu menguasai
bahasa Suryani hanya dalam 17 malam. Sehingga ia menjadi penterjemah Rasul saw.
Ada Atab bin Usaid pada usia 18 tahun diangkat oleh Rasul saw. sebagai gubernur
Makkah.
Muhammad Al Fatih di usia 22 tahun menjadi penakluk Konstantinopel
dikala para jenderal besar merasa putus asa. Muhammad Al Qasim pada usia 17
menjadi penakluk India, sebagai jenderal agung di masanya. Kemudian juga ada
Muhammad bin Idris atau Imam syafi'i usia 7 tahun hafal Al Quran dan usia 15
tahun menjadi mufti.
Para pemuda hebat itu terbentuk dalam masyarakat dengan
penerapan aturan Islam kafah. Yang sangat berbeda kondisinya dengan sekarang
ketika diatur oleh sekuler-kapitalisme. Hanya menghasilkan kerusakan serta
kesengsaraan di berbagai area kehidupan.
Tentu jika masyarakat ingin mendapatkan kehidupan yang baik
juga terciptanya para pemuda dengan pribadi unggulan. Maka tidak ada jalan
lain, kecuali membuang sistem sekularisme (sistem yang memisahkan agama dari
kehidupan). Yang nyata rusak dan telah merusak ini.
Selanjutnya berupaya untuk turut memperjuangkan agar syariat
Islam kembali ditegakkan. Sebagaimana 13 abad lalu, pernah diterapkan. Yang
menghasilkan profil pemuda idaman.
Wallahualam bissawab.
Minim teladan Islami namun tumpah ruah teladan negatif
BalasHapus