Oleh. Yuli Atmonegoro
(Aktivis Dakwah Serdang Bedagai)
Tiga jalan pintas yang dilakukan para penjajah dalam menghancurkan kaum muslimun tanpa harus mengangkat senjata, telah kita bahas dalam bagian 1 terkait keluarga, dua cara lagi yang mereka lakukan
yaitu:
2. Pendidikan
Jalan pintas yang kedua yang dilancarkan oleh para penjajah untuk menjajah negeri ini. Adalah dengan menyusupkan pemahaman serta tata cara yang buruk dalam dunia pendidikan. Maksud pemahaman buruk di sini adalah ideologi sekuler kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan. Kurikulum yang dipakai tidak sesuai bahkan bertentangan dengan aturan Sang Pencipta. Salah satu contohnya adalah pada pendidikan tentang politik dan hukum.
Politik dan hukum saat ini tidak berlandaskan pada agama sedikit pun. Bahkan menghilangkan norma-norma agama. Misalnya, tentang buruknya pemahaman politik saat ini adalah berasaskan demokrasi. Dengan menisbatkan rakyat yang berdaulat di dalamnya.
Semua hukum yang berlaku diatasnamakan untuk kedaulatan rakyat. Seolah-olah, tidak perlu ada campur tangan Sang pencipta didalamnya. Seharusnya, Politik yang dijalankan berasaskan hukum Islam, dengan kedaulatan berada di tangan syara.
Karena politik berhubungan erat dengan hukum. Seharusnya yang membuat hukum adalah Sang Pencipta yang Maha Tahu tentang ciptaan-Nya. Bila memakai hukum buatan rakyat yang nyata-nyata hanya manusia, sudah pasti memiliki kekurangan dalam pembuatan hukum.
Karena manusia itu sendiri tidak memahami secara hakiki tentang fitrah, kelebihan dan kekurangan manusia. Apabila hukum manusia terus dijalankan dalam tatanan negara, niscaya ketimpangan akan terus terjadi, dan ketidakadilan akan tampak nyata dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan rakyat.
Contohnya adalah hukum mencuri atau berzina. Dalam Islam, hukuman bagi orang yang mencuri adalah dipotong tangannya. Seperti tercantum dalam Al-Qur’an yang artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ali Imran [3]: 38)
Bila hukum ini diterapkan, pastilah negeri ini akan jauh dari pencurian. Terutama bagi pencuri uang rakyat (para koruptor), yang sudah sangat menyusahkan dan menyengsarakan rakyat. Para koruptor ini tak pernah jera karena mereka merasa hukum bisa diringankan bahkan bisa dibeli.
Sering terjadi, pencuri ayam yang notabene memang rakyat kecil yang kesulitan ekonomi. Bahkan mungkin tidak punya biaya untuk menyambung hidup, justru lebih lama merasakan sempitnya hidup dalam jeruji besi. Dari pada para Koruptor yang mencuri uang rakyat hingga Triliunan.
Seharusnya para koruptorlah yang pantas merasakan sulitnya hidup dalam penjara atau hukuman lain setaraf dengan tingkat kriminalnya. Tapi kenyataannya justru sebaliknya, dan ini sungguh sangat melukai hati rakyat.
Contoh lainnya, hukum bagi pezina adalah rajam (untuk yang muhsan/sudah pernah menikah) atau dijilid (bagi yang ghairu muhsan/belum pernah menikah). seperti tercantum dalam Al-Qur’an yang artinya: “Pezina perempuan dan laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman." (QS An-Nur [24]: 2)
Dengan penerapan hukum ini, sudah pasti perbuatan tercela ini akan dapat terbendung. Namun sayangnya akibat dari pendidikan saat ini yang semakin hari semakin jauh dari norma agama. Bahkan kurikulum yang selalu diganti dan diperbaharui, semakin menjauhkan anak didik dari norma-norma agama. Menjadikan mereka mudah terjerumus pada kemaksiatan seperti perzinaan, pemerkosaan, pencurian, pembegalan, hingga pembunuhan
Begitulah para pemuda dan pelajar saat ini lebih dekat dengan kasus-kasus kriminal dibandingkan dengan minat dan semangat dalam belajar. Bahkan, jikapun mereka menuntut ilmu dengan baik, itu semata hanya untuk kepentingan dunia. Dan hanya bercita-cita untuk menjadi seorang buruh. Sedangkan Islam mendidik para pemuda untuk menjadi seorang pemimpin.
3. Menghancurkan Kepercayaan Umat pada Ulama
Kata “Ulama (bentuk plural dari kata ‘alim), secara bahasa artinya adalah “orang yang berpengetahuan atau ahli ilmu.” Mereka disebut sebagai ulama tentu karena pengetahuan yang mereka miliki dalam urusan agama, lebih banyak daripada kebanyakan orang. Tentu saja mereka selalu menjadi tempat rujukan, atau yang ucapannya didengar. Oleh sebab itu, seorang ulama sudah pasti berhati-hati dalam berbicara dan berperilaku, karena setiap ucapan dan perbuatannya menjadi acuan kebanyakan orang.
Lalu, sebagai orang yang ucapannya didengar dan perilakunya ditiru, apakah sudah pasti semua ucapan dan perbuatannya sesuai aturan islam? Belum tentu. Salah satu ulama yang ucapan serta perbuatannya tidak boleh ditiru adalah Ulama Su’.
Kata Su’ adalah masdar dari saa-yasu’u-saw an yang artinya jelek, buruk, atau jahat. Dengan demikian, Al-‘Ulama’ as-su’ secara bahasa artinya adalah orang berpengetahuan atau ahli ilmu yang buruk dan jahat.
Seperti sabda Nabi Saw. yang berbunyi: ”Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama, dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama.” (HR ad-Darimi)
Ulama adalah penentu baik dan buruknya masyarakat. Ulama juga penentu baik buruknya penguasa. Seperti perkataan Imam Al Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin Juz 2 halaman 357, dimana beliau berkata: “Maka kerusakan rakyat karena kerusakan penguasa dan rusaknya para penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu adalah karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.”
Merujuk pada perkataan Imam Al Ghazali ini jelaslah bahwa pada ulama su' ini tidak menjadikan ilmu mereka sebagai penuntun umat ke arah yang diperintahkan Allah ‘Azza Wa Jalla, tetapi untuk kepentingan pribadi. Seperti materi, popularitas dan kekuasaan. Diantara ulama su’ adalah ulama salathin yaitu ulama yang menjadi stempel penguasa.
Anas bin Malik r.a. Meriwayatkan satu hadis, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama Su’,mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan. Menurut Adz-Dzahabi, ulama su' adalah ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan serta memutar-balikkan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa, atau ulama yang diam saja (dihadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran.
Nah, bermula dari sinilah para penjajah berupaya menghancurkan kepercayaan umat, terhadap ulama yang sejatinya benar-benar membawa ajaran Rasulullah yang lurus dan sesuai dengan perintah Allah Swt.
Faktor utamanya adalah politik yang berasaskan sekuler kapitalis yaitu demokrasi. Menjadikan semua hukum yang mengatur keberlangsungan tatanan negara adalah hukum buatan manusia. Sudah pasti, hukum yang dibuat akan mengikuti hawa nafsu serta untuk mencari keuntungan pribadi semata. Tentu saja, tidak merujuk kepada hukum-hukum Allah Swt. yang sesungguhnya paling pantas untuk menjadi acuan dalam menyelesaikan problematika umat.
Para pemain dalam kancah politik ini yang hanya memikirkan manfaat saja yaitu kapitalis. Memilih para ulama su’ ini untuk dijadikan peluru sebagai alat untuk membunuh kepercayaan umat terhadap uama yang lurus. Ulama su ini memutar balikkan hukum Allah agar sesuai dengan hawa nafsu para hamba demokrasi. Yang haram menjadi halal, dan yang halal di dijauhi bahkan dianggap hal yang ditakuti dan dibenci.
Alhasil, umat merasa asing bahkan benci saat kebenaran itu disampaikan. Parahnya lagi, umat lebih mempercayai dan mengikuti apa yang disampaikan oleh ulama su’ yang menggiring umat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah Azza Wa Jalla.
Akibat dari kebencian itu, umat tak lagi mempercayai ulama yang lurus. Inilah yang memang menjadi tujuan para penjajah sejak awal. Bukan hanya itu, para penjajah melancarkan aksi dengan mengadu domba umat melalui propaganda-propaganda yang mereka buat dan dibantu oleh ulama su’, untuk mengkriminalisasi ulama yang lurus.
Bahkan dengan kekuatan tangan penguasa, kriminalisasi agama semakin menjadi-jadi. Sampai-sampai banyak ulama yang lurus dijebloskan ke penjara. Apabila ulama ini menegur penguasa beserta jajarannya dan menyampaikan kebenaran demi kemaslahatan umat.
Tak dapat dipungkiri, kebanyakan dari umat saat ini sangat jauh dari ulama yang lurus. Pemahaman agama yang lurus dan sesuai ajaran Rasulullah saw. tak lagi dikenal oleh umat Islam itu sendiri. Mereka menjadi islamophobia dan menikmati hidup dengan hukum dan aturan yang sesuai dengan kehendak dan hawa nafsu mereka.
Dari poin-poin di atas, jelaslah bahwa negara kita sudah dikuasai penjajah tanpa mengangkat senjata. Tetapi sangat disayangkan, kita sebagai rakyat tidak menyadari bahwa kondisi negeri ini sudah diujung tanduk.
Seyogianya kita sebagai rakyat yang menganut agama islam mayoritas, sudah seharusnya kita yang paling sadar akan kondisi ini.
Nabi Muhammad Saw. telah membawa agama yang diridai Allah Azza wajalla. Berisi aturan paling lengkap untuk manusia dalam menjalani kehidupan. Selayaknya manusia sebagai makhluk paling sempurna yang telah Allah ciptakan.
Janganlah kita terus tertidur karena dinina bobokan oleh penjajah yang ingin menguasai negeri ini, dengan kesenangan semu yang memabukkan. Pada akhirnya menjadikan kita budak dan pengemis di negeri sendiri. Allah menciptakan kita sebagai Khalifah yakni pemimpin di bumi Allah.
Allahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar