Oleh: Rati Suharjo
(Pegiat Literasi)
Kasus keracunan makanan Program Makan Bergizi Sehat (MBG) kembali mencuat. Di Lebong, Bengkulu, sebanyak 456 siswa jatuh sakit dengan gejala pusing, mual, dan muntah, yang mengharuskan mereka dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong, Rahman, menyampaikan bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan bakso yang disajikan dalam program MBG telah terkontaminasi bakteri. Temuan ini menegaskan bahwa penyebab utama keracunan berasal dari makanan yang dikonsumsi para siswa. (Kompas.com, 3/9/2025)
Namun, Bengkulu hanyalah salah satu contoh. Kasus serupa juga terjadi di Sragen, Lampung, Tangerang, dan berbagai daerah lainnya. Ironisnya, program yang awalnya dirancang untuk meningkatkan gizi peserta didik, menekan angka putus sekolah, dan mendukung kualitas pembelajaran, justru menimbulkan keresahan publik. Padahal, lahirnya MBG berangkat dari kenyataan pahit: banyak anak datang ke sekolah dengan perut kosong, bahkan ada yang tidak makan sejak sore sebelumnya.
Janji Manis yang Runtuh di Hadapan Realitas
Di atas kertas, gagasan Makan Bergizi Gratis (MBG) terdengar menjanjikan. Program ini dipromosikan sebagai penopang kesehatan generasi muda, penggerak ekonomi daerah, sekaligus jawaban atas krisis pascapandemi. Hingga Juli 2025, pemerintah mengklaim telah menyalurkan manfaat kepada 7,37 juta penerima melalui 2.375 dapur komunitas gizi (SPPG). Targetnya pun terbilang ambisius: menjangkau 20 juta penerima sebelum 17 Agustus dan meningkat hingga 82,9 juta penerima pada akhir tahun. Program ini juga digadang-gadang mampu membuka lebih dari 100 ribu lapangan kerja.
Namun, narasi indah itu runtuh saat dihadapkan pada realitas. Rangkaian kasus keracunan mengungkap kelemahan mendasar: banyak makanan yang disajikan tidak memenuhi standar operasional prosedur (SOP), pengawasan dapur belum optimal, dan standar keamanan pangan masih jauh dari memadai. Tidak mengherankan jika sayuran yang dibiarkan di suhu ruang menjadi tempat berkembang biaknya bakteri, atau lauk yang tampak matang di luar namun mentah di dalam justru memicu kontaminasi. Alih-alih menyehatkan, makanan tersebut malah menjadi ancaman serius bagi anak-anak sekolah.
Jika pola seperti ini dibiarkan tanpa pembenahan menyeluruh, masa depan generasi bangsa bisa terancam. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana mungkin masalah stunting dapat diselesaikan hanya dengan satu kali makan seharga Rp10 ribu per anak? Harapan besar itu tampak lebih seperti fatamorgana ketimbang solusi nyata.
Solusi Hakiki Menurut Pandangan Islam
Islam sendiri menawarkan solusi mendasar terhadap permasalahan pangan dan gizi. Dalam Islam, penguasa adalah ra’in—pelayan umat—yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyatnya, mulai dari sandang, pangan, hingga papan. Pemenuhan gizi masyarakat tidak cukup hanya dengan membagikan makanan murah. Pemerintah harus menelusuri akar masalah yang membuat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan gizi.
Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yang subur. Sebagaimana lirik lagu Koes Plus, “Hutan dan kayu jadi tanaman.” Maka, solusi nyata adalah mendorong swasembada pangan, membangun kemandirian bangsa, dan menghentikan ketergantungan pada impor. Dengan demikian, negeri ini dapat memproduksi bahan pangan berkualitas dengan harga terjangkau bagi seluruh rakyat.
Langkah penting lainnya adalah meninjau ulang Undang-Undang Penanaman Modal yang memberi peluang besar bagi kapitalis untuk menguasai aset dan sumber daya alam rakyat. Jika sumber daya alam dikelola negara untuk kepentingan rakyat, maka akan tercipta lapangan kerja luas bagi kepala keluarga dan generasi muda. Hal ini sejalan dengan janji politik Gibran saat kampanye, agar kebijakan pro-rakyat tidak hanya berhenti di baliho dan spanduk semata.
Dengan kebijakan berbasis kemandirian, rakyat akan sejahtera dan mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya, sebagaimana konsep “empat sehat lima sempurna.” Sejarah mencatat teladan Umar bin Khattab yang rela memanggul sendiri karung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan.
Sayangnya, kebijakan seperti ini sulit terwujud dalam sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas keselamatan rakyat. Jika bangsa ini benar-benar ingin melahirkan generasi yang sehat dan kuat, maka solusi hakiki adalah kembali pada metode Rasulullah ï·º dan para khalifah dalam memimpin, yakni menjadikan pemimpin sebagai ra’in atau pelayan umat. (HR Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 comments:
Posting Komentar