Oleh. Rita Handayani
(Penulis dan Founder Media)
Ragam Formula - Pernikahan bukan hanya tentang cinta dan dua insan yang sedang bergejolak rasa. Namun pernikahan adalah ikatan suci nan sakral dari Ilahi. Pernikahan adalah ibadah. Pernikahan harus menjadi penguat akidah.
Apa jadinya jika pernikahan yang beda agama semakin marak? Akibat dari penguasa yang melegalkannya? Akidah Umat pasti akan tercoreng hingga terkoyak.
Sebagaimana yang dilakukan, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang telah mengabulkan permohonan pernikahan pasangan beda agama JEA dan SW. Permohonan yang diajukan oleh seorang mempelai laki-laki beragama Kristen dan mempelai perempuan yang beragama Islam ini. Terkendala saat hendak mendaftarkan pernikahan mereka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Atas dasar UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan pertimbangan sosiologis. Yaitu keberagaman masyarakat. Palu hakim pun diketuk untuk melegalkan permohonan tersebut. (Kompas.com, 30 Juli 2023)
Nikah Beda Agama Kian Marak
Tak hanya kali ini, pernikahan beda telah banyak terjadi. Bahkan tahun lalu, sempat viral nikah beda agama di Semarang. Dalam video 13 detik yang beredar tersebut cukup membuat geger warganet. Karena pengantin perempuannya berhijab dan prosesi pernikahannya dipimpin oleh seorang pendeta di gereja dengan latar salib.
Berita tersebut pun telah dibenarkan oleh seorang aktivis Pusat Studi Agama dan Perdamaian sekaligus konselor pernikahan. Yaitu Ahmad Nurcholish. Menurutnya, pernikahan tersebut berlangsung dengan tata cara Islam dan juga Katolik.
Ahmad juga mengakui bahwa pernikahan tersebut adalah pasangan yang ke-1.425. Yang telah menjalani pernikahan beda agama di kota. Ia mengaku telah mendampingi sekitar 15 - 20 pasangan beda agama, menikah pada setiap bulannya. Bahkan, Ia juga mengaku dirinya sendiri merupakan pelaku pernikahan campuran beda agama. (Tribun News, 7/3/2022).
Kedudukan Pernikah di Indonesia
Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan tingkat religiusitas tinggi. Hingga menjadikan agama sebagai hal penting dalam hidupnya. Termasuk di dalamnya pengaturan dalam urusan pernikahan.
Di Indonesia pernikahan masih dianggap sebagai ikatan yang sakral. Karena tidak hanya terkait hubungan pribadi dari pasangan yang melangsungkan pernikahan. Namun juga berkaitan dengan persoalan agama.
Hal itu berdasarkan pada definisi pernikahan yang tertera dalam Pasal 1 UU Perkawinan (UUP) No. 1/1974, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kemudian, pada Pasal 2 UUP yang menyebutkan, “… bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam pasal tersebut, syarat materiil sahnya suatu perkawinan adalah setiap warga negara Indonesia (WNI). Yang hendak menikah harus melewati lembaga agamanya masing-masing. Serta harus tunduk terhadap aturan agama yang dianutnya terkait perkawinan.
Untuk WNI muslim, dalam urusan perkawinan juga terikat pada hukum perkawinan seperti yang terdapat dalam Buku I: Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah dikuatkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) 1/1991. Dalam pasal 40 (c) dan 44 KHI, tegas dinyatakan bahwa terdapat larangan bagi muslim untuk melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang nonmuslim.
Jadi, sangat jelas asas perkawinan yang terdapat di Indonesia adalah perkawinan dengan pasangan yang seagama. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa kali pernikahan beda agama digugat ke MK, namun hingga kini MK belum mengabulkan. Sehingga pernikahan beda agama tetap tidak diperbolehkan sesuai UU Perkawinan.
Upaya Pelegalan
Tahun 2014, adanya upaya uji materi UU Pernikahan yang diajukan ke MK oleh Damian Agata Yuvens, dkk. Dengan fokus gugatan pada pasal 2 ayat (1) UU. Yang mengatur keabsahan pernikahan harus berdasarkan agama.
Namun ketentuan ini ia anggap bertentangan dengan konstitusi. Karena telah membatasi ruang mempraktikkan pernikahan beda agama yang mereka sebut sebagai “hak asasi”. Melalui putusan No. 68/PUU/XII/2014, MK menolak permohonan tersebut.
Kemudian pasal ini kembali digugat ke MK pada awal Februari 2022 oleh E. Ramos Petege. Seorang pria Katolik yang ingin menikahi pacarnya yang seorang muslim. Namun hingga kini belum ada keputusan MK untuk mengubah asas pernikahan.
Ini Artinya, pernikahan yang telah dianut di Indonesia adalah sesuai UUP 1/1974. Yakni didasarkan pada akidah yang sama. Di antara pasangan yang akan menikah.
Akan tetapi, sangat disayangkan. Terdapatnya UU Administrasi Kependudukan No. 23/2006 jo UU No. 24/2013 yang membuka peluang pencatatan pernikahan beda agama di Kantor Catatan Sipil. Dengan syarat sudah ada penetapan pengadilan.
Selanjutnya Kantor Catatan Sipil akan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Aturan inilah yang telah menjadi pintu, maraknya pernikahan beda agama. yang kemudian akan “dilegalkan”.
Itulah tatanan negara sekuler demokratis yang menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia. Yang senantiasa dipenuhi hawa nafsu. Suatu UU akan berbenturan dengan UU lainnya. Sehingga tidak ada ruang bagi hukum Islam untuk bisa diterapkan.
Akibat Negara Sekuler
Semakin tingginya angka nikah beda agama merupakan fakta yang tidak bisa dimungkiri. Membuktikan kian rusaknya tatanan hidup manusia. Akibat menjauh dari syariat Sang Pencipta.
Manusia semakin tampak jauh dari visi akhirat. Mereka bahkan malah mengejar kenikmatan duniawi dan telah melupakan kehidupan akhirat. Sehingga manusia semakin mengagungkan soal hak asasi dibandingkan aturan Ilahi.
Liberalisme hasil dari sekularisme adalah sebuah paham kebebasan yang telah menyingkirkan fungsi agama sebagai pedoman hidup bagi manusia. Membuat Individu-individunya merasa bebas dalam melakukan apapun sesuai keinginannya. Tidak peduli melanggar syariat atau tidak, yang penting puas dan senang. Bahkan mengejar hawa nafsu dan syahwat pun dianggap sah-sah saja.
Pendidikan sekuler yang ada pun telah menjauhkan agama dari anak didik. Ini yang kemudian melahirkan kenakalan remaja. Seperti, seks bebas, aborsi, geng motor, narkoba, tawuran, perilaku "sesama", dsb. Akibat jangka panjangnya adalah keinginan menikah beda agama atau sesama pun bisa menjadi sesuatu yang niscaya.
Karena sekularisme dan liberalisme hanya menjadikan pernikahan sekadar untuk mengejar hawa nafsu. Baik untuk mengejar cinta, harta, ataupun kedudukan. Sehingga tidak ada lagi tujuan pernikahan untuk ibadah.
Inilah ciri dari masyarakat liberal, hanya menjadikan materi sebagai standar kebahagiaannya. Yang penting punya harta juga kehidupan terhormat, meski agama dicela. Ini jugalah yang menjadikan rusaknya masyarakat liberal. Karena hubungan antarindividu yang terjalin amat rapuh bahkan membawa pada kemudaratan.
To Be continue
0 comments:
Posting Komentar