SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Minggu, 28 Januari 2024

Oleh. Apt, Arimbi N.U, S.Farm

(Work at Home)





Deforestasi di Blora, Jawa Tengah, telah menjadi masalah yang semakin meresahkan dalam beberapa tahun terakhir dan merupakan salah satu masalah lingkungan yang merusak. 

Deforestasi adalah kegiatan penebangan hutan sehingga lahannya dapat dialihkan untuk penggunaan selain hutan seperti pertanian, peternakan, atau permukiman. (Wikipedia.org)

Laju deforestasi di Blora meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, luas hutan yang hilang meningkat dari tahun ke tahun, mengakibatkan kerusakan habitat bagi flora dan fauna lokal. Selain itu, hilangnya vegetasi hutan juga memperburuk perubahan iklim, memicu terjadinya banjir dan tanah longsor yang merugikan masyarakat setempat.

Deforestasi yang terjadi di Kabupaten Blora di tahun 2013 – 2021, paling besar terjadi di periode II (2017 – 2021). Pada periode I (2013 – 2017) luasan hutan berkurang menjadi 1.841 hektar (mengurangi 0,95% luas hutan di Kabupaten Blora), serta terdapat pengurangan kerapatan hutan seluas 4.384 hektar. Pada periode II (2017 – 2021), terjadi deforestasi yang menyebabkan pengurangan luasan hutan jati seluas 30.774 hektar (mengurangi 15,79% luas hutan di Blora) serta terdapat pengurangan kerapatan hutan seluas 9.116 hektar. (Karya.brin.go.id) 

Fenomena deforestasi ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Pertumbuhan populasi

Dengan pertumbuhan populasi yang pesat, kebutuhan akan lahan untuk pemukiman dan infrastruktur meningkat, ditambah pembangunan tanpa rencana yang jelas seringkali mengakibatkan penebangan hutan yang tidak terkendali. 

  1. Permintaan akan lahan untuk pertanian dan perkebunan juga menjadi faktor utama deforestasi. Masyarakat seringkali membuka lahan baru dengan menebang hutan untuk mengembangkan tanaman komersial. Ekspansi lahan untuk pertanian dan perkebunan telah menyebabkan penggundulan hutan yang besar.

  2. Aktivitas Ilegal

Praktik ilegal seperti penebangan liar tanpa izin (illegal logging) merusak ekosistem hutan secara besar-besaran. Penambangan ilegal, baik untuk kayu maupun tambang, juga berkontribusi terhadap deforestasi di Blora. 

  1. Kebakaran Hutan: Praktik-praktik pembakaran hutan yang tidak terkontrol, baik untuk membersihkan lahan maupun untuk aktivitas lain, menyebabkan kerugian ekosistem yang besar.

Berbagai faktor telah menyebabkan deforestasi ini, dan mencari solusi yang berkelanjutan menjadi penting, bahkan dari sudut pandang agama. Karena memang sebenarnya Islam tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan.

Dalam konteks ini, Islam menawarkan prinsip-prinsip yang dapat membantu mengatasi masalah deforestasi di Blora.

Solusi dari Sudut Pandang Islam:

  1. Keadilan

Prinsip keadilan dalam Islam menuntut perlakuan yang adil terhadap alam dan makhluk Allah. Ini mencakup hak-hak hewan, tumbuhan, dan lingkungan hidup secara umum.

Selain itu juga memastikan keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk pembagian lahan secara adil dan berkelanjutan.

  1. Edukasi

Islam menekankan pentingnya pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga alam dan memelihara ciptaan Allah sebagai amanah dari Allah. Melalui pengajaran agama yang menyertakan nilai-nilai lingkungan, masyarakat dapat lebih sadar akan dampak dari deforestasi dan pentingnya konservasi. Negara berperan penting dalam terselenggaranya proses edukasi ini.

  1. Kerjasama

Islam mendorong kerjasama antar individu, komunitas, dan pemerintah dalam menjaga lingkungan. 

  1. Hukum yang Ketat

Menegakkan hukum yang ketat terhadap aktivitas ilegal seperti illegal logging dan penebangan liar dapat dilakukan oleh pemerintah dan memang hanya negara saja yang mampu melakukan hal ini.

Penerapan hukum yang adil dan tidak pandang bulu juga harus diterapkan bila menginginkan aktivitas ilegal dieliminasi. Apabila negara tidak mampu menjalankan kewenangannya dan mandul dalam menerapkan hukum serta menjatuhkan sanksi, maka deforestasi akan meluas, tidak hanya terjadi di Blora saja. Lebih parahnya lagi, deforestasi akan menjadi peristiwa yang mengancam masa depan manusia.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari sudut pandang Islam, diharapkan bahwa upaya-upaya untuk mengatasi deforestasi di Blora dapat menjadi lebih holistik dan berkelanjutan. Diharapkan pula Blora dapat mengalami perubahan positif dalam upaya pelestarian hutan dan lingkungan secara keseluruhan.

Karena solusi dari Islam adalah solusi terbaik yang diberikan oleh Pencipta kepada makhluk-Nya.

Wallahualam bissawab.

Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M

(praktisi pendidik)




Dari Catatan Akhir Tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera, akhirnya masyarakat tahu bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023. Dijelaskan oleh Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring menyebut bahwa angka deforestasi, lebih luas dari rata-rata per tahun dalam lima tahun terakhir (CNN Indonesia, Jumat 12/1)

Disampaikan setidaknya kurang lebih 57 persen daratan Riau telah dikuasai investasi, dari total tersebut, pemerintah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri (HTI), 2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 19 pertambangan.Sementara capaian perhutanan sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) hingga September 2023 hanya mencapai 219.882,64 ha. Rinciannya, perhutanan sosial 160.944,34 ha dan TORA 58.878,30 ha.

Walhi juga mencatat luas kebun kelapa sawit di Riau yang berada kawasan hutan 1,8 juta hektar. Boy menilai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentan Cipta Kerja turut memfasilitasi keberadaan perusahaan kebun sawit di dalam kawasan hutan. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah terpaksa akan memutihkan 3,3 juta ha kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Langkah tersebut mengacu pada UU Ciptaker. "Ya mau kita apakan lagi, masa mau kita copot ya kan nggak, logika kamu saja, ya kita putihkan. Terpaksa," saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/6).

Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada 2022 mencapai 102,53 juta hektare (ha). Angka itu berkurang sekitar 1,33 juta ha atau turun 0,7% dibanding 2018. Selama 2018-2022, hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan. Dalam periode tersebut, pengurangan luas hutan di Kalimantan mencapai 526,81 ribu ha. Luas hutan juga berkurang di semua pulau besar lainnya, dengan rincian seperti terlihat pada grafik. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2018-2022, luas hutan berkurang karena berbagai faktor, yaitu peristiwa alam, penebangan hutan, dan reklasifikasi area hutan.

Adapun pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengurangi laju pengurangan hutan atau deforestasi. Komitmen ini tercatat dalam dokumen Enchanced Nationally Determined Contribution (ENDC) September 2022. Menurut dokumen tersebut, dalam skenario kondisi normal (business as usual), selama periode 2021-2030 Indonesia diproyeksikan mengalami deforestasi rata-rata 820 ribu ha/tahun.Namun, dalam ENDC, pemerintah menargetkan deforestasi 2021-2030 akan turun sekitar 56% menjadi rata-rata 359 ribu ha/tahun dengan usaha sendiri. Jika ada bantuan internasional, pemerintah bahkan menargetkan laju deforestasi bisa turun 78% menjadi rata-rata 175 ribu ha/tahun.

Sumber Kekayaan yang Gagal


Hutan yang luasnya 120 juta hektare dan merupakan 60 % luas daratan Indonesia, sebenarnya merupakan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis (Nurrochmat, 2005). Namun kekayaan tidak banyak gunanya bagi rakyat.

Masih menurut laporan WALHI 1993, rata-rata hasil hutan Indonesia tiap tahunnya 2,5 miliar dolar AS. Pada tahun 2005 diperkirakan hasilnya mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS
Namun, semua orang juga tahu kini Indonesia menjadi negara bangkrut. Dari hasil hutan sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara ternyata hanya 17 %, sedangkan yang 83 % masuk ke kantong pengusaha HPH yang tidak bertanggung jawab.

Pemberian HPH kepada pengusaha dimulai sejak 1967 melalui UU Pokok Kehutanan No 5 Tahun 1967, yang kemudian direvisi dengan UU Kehutanan no 41 Tahun 1999. Mengapa direvisi? Sebab UU No 5/1967 itu hanya menekankan produksi (alias rakus). Maka lahirlah UU No 41/1999 yang memperhitungkan konservasi dan partisipasi masyarakat

Karena hanya menekankan produksi, wajar jika hutan Indonesia dikelola seperti halnya pengelolaan tambang (mining management), sehingga aspek kelestarian berada di titik terendah, sementara kegiatan penebangan berada di titik tertinggi yang tentunya berdampak pada Kerusakan hutan yang sangat dahsyat. PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan hutan lebih dari 50 juta ha (hektare). Kini areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta ha. Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia, ternyata hasilnya hampir-hampir tidak dirasakan mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.

Sebab Kegagalan Pengelolaan Hutan


kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat penerapan sistem sekuler kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan.


Kesalahan pembuat kebijakan itu dengan kata lain sesungguhnya adalah kesalahan ideologis, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi nyata dari ideologi. Tegasnya, yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme (Heilbroner, 1991). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa.

Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan) telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991). Inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi –misalnya perusahaan HPH menebang melebihi volume yang dilaporkan– dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia).

Pengelolaan hutan menurut Islam

1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.

Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadis Nabi saw.:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140). Hadis ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).

2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara bukan oleh pihak lain (swasta atau asing).

Zallum (1983:81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum: Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya. Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah –sebagai wakil kaum muslimin– yang berhak untuk mengelolanya.

Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar.

Sabda Rasulullah saw: “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim)

Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

3. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.

Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan.

Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.

Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).

4. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.

Dalam kaidah fikih dikatakan, “Adh-dlarar yuzal”, artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi saw bersabda, “Laa dharara wa laa dhiraara.” (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.

Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.

5. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.

Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).

Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal logging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional.

Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus.

Wallahualam bissawab.



Senin, 15 Januari 2024

Oleh. Rita Handayani

(Penulis dan Founder Media)






Katanya sih Negeri Demokrasi kedaulatan rakyat yang memiliki, tapi entah rakyat yang mana. Buktinya rakyat mayoritas tidak pernah diberi ruang dalam setiap pengambilan keputusan, tahu-tahu sudah ketuk palu. Yang ujungnya menimbulkan kontroversi seperti dalam perundangan UU ITE dan hasil revisinya. “Undang-undang pasal karet” ini malah menjadi alat pukul baru bagi rakyat yang kritis terhadap pemerintah.

Presiden Jokowi telah resmi menandatangani UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2028 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dikutip dari laman JDIH Setneg, alasan dari merevisi UU ITE tersebut dikarenakan banyaknya publik yang keberatan dalam penerapan aturan pidana pada UU ITE sebelumnya. Alasan selanjutnya karena aturan sebelumnya belum dapat menyelesaikan masalah. Selain itu, masih ada persepsi yang tidak tepat sasaran di dalam pelaksanaan aturannya. 

Masih Menuai Kritik 

Meski sudah direvisi, tapi Koalisi Masyarakat Sipil, yang merupakan gabungan dari 25 organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen, Amnesty International Indonesia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Masih mengkritik dan menuntut perbaikan.

Mereka menilai UU Nomor 1 Tahun 2024 tidak menyelesaikan masalah dalam kebebasan berekspresi di Indonesia. Sebagaimana pernyataan dari Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, “Revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (5/1/2024). 

Isnur juga mengkritik keras upaya pembahasan revisi yang tertutup. Hal itu menjadikan publik minim ruang dalam terlibat dan mengawasi dari proses revisi. Mereka malah melihat isi revisi tersebut tidak menghilangkan masalah.

“Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama,” ungkap Isnur.

Pasal-pasal Bermasalah

Adapun pasal-pasal bermasalah itu, diantaranya adalah: Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B. 

Juga adanya pasal tambahan yakni Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Pasal 27A disebut Isnur, bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. 

Juga terdapat Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat 3 tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal tersebut berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan apa maksud dari pemberitahuan bohong dalam pasal ini. 

“Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum,” ujar Isnur. 

Oleh karena itu, terang Isnur, koalisi dengan tegas menolak pengesahan revisi UU ITE oleh DPR dan pemerintah. Karena telah mengabaikan partisipasi publik dan juga masih melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM. 

Untuk itu Koalisi masyarakat sipil juga telah mendesak supaya DPR dan pemerintah menerapkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Serta mendorong implementasi revisi UU ITE bukan untuk tujuan kriminalisasi rakyat yang kritis. 

Dalam perjalanannya UU ITE sudah banyak memakan korban dan sering digunakan orang kaya atau yang punya jabatan untuk menjerat orang yang berseberangan dengannya.

Salah satunya adalah, Rio Suryanto, seorang warga dari Kabupaten Manggarai Barat, yang saat ini sedang diperkarakan dengan kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Rio merespon revisi UU ITE, dengan mengatakan, “UU ini, termasuk hasil revisi kedua, menunjukkan penguasa yang tidak boleh dikritik.”

“Para aktivis ke depan sangat terancam, karena tetap saja ada upaya dari pemerintah untuk membungkam suara-suara kritik,” ungkapnya kepada Floresa Pada 6 Januari

Semua itu menunjukkan bahwa revisi jilid II UU ITE justru sangat rawan atas konflik kepentingan. Hal tersebut sekaligus menyamarkan batas mana kawan dan mana lawan.

Dengan kata lain, selama terdapat kepentingan dan juga kemanfaatan, maka UU tersebut dapat digunakan untuk memukul pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa walaupun sebelumnya adalah kawan. Begitu juga sebaliknya, pihak yang sebelumnya adalah lawan sangat mungkin bisa dirangkul saat dianggap bisa menguntungkan penguasa.

Media dalam Islam

Bongkar pasang Undang Undang seperti dalam revisi ke II UU ITE ini tidaklah mengherankan. Hal demikian sudah biasa terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme. Karena berasas pada kemanfaatan dan berjalan untuk memuluskan berbagai kepentingan.

Hal itu menjadikan standar benar dan salah/hak dan batil menjadi samar bahkan tidak jelas. Seperti pada fungsi teknologi informasi yang seharusnya memudahkan urusan manusia, tapi di tangan sistem batil ini malah disetir menjadi alat legalisasi represifisme oleh penguasa. Tentu ini tidak boleh terjadi.

Jelas kondisi ini sangat berbeda dengan strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem Islam. Tidak lain tujuannya adalah untuk menjadi sarana dakwah dan penyampai kebenaran. Di dalamnya, ketakwaan penguasa sangat berperan dalam mengelola ITE agar sejalan dengan aturan Allah Taala secara kafah.

Dalam bidang teknologi informasi, Negara dalam Islam tidak akan menggunakannya untuk kepentingan memata-matai rakyat demi kepentingan yang tidak syar’i. Karena Telah mengharamkan aktivitas memata-matai sesama muslim.

Sebagaimana firman Allah Taala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Di lain sisi, teknologi informasi serta berbagai sarana media yang lainnya akan difungsikan secara strategis. Diantaranya adalah untuk mencerdaskan umat, dan penyalur aspirasi rakyat, serta sebagai alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat, perangkat negara.

Dalam Islam, rakyat punya kewajiban untuk ikut mengawasi jalanya pemerintahan. Penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan juga menjaga agar jalannya pemerintahan terhindar dari kezaliman.

Sungguh, dalam sistem Islam akan memosisikan media dan teknologi informasi sebagai sarana dalam berperan aktif untuk menjaga semua elemen masyarakat agar senantiasa taat dan dalam keridaan Allah Taala. Tidakkah kita menginginkannya?

Wallahualam bissawab. 





Jumat, 12 Januari 2024

Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M

(penulis dan praktisi pendidik)





Keinginan untuk tidak impor bahan pangan terutama beras sepertinya masih belum bisa terlaksana dalam waktu dekat. Pasalnya Indonesia kesulitan untuk mencapai swasembada terlebih jumlah penduduk yang terus bertambah dan semuanya butuh beras. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi dalam acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, Di Banyumas, Selasa (Jakarta, CNBC Indonesia  2/1/2024)

Setidaknya ada 4 juta sampai 4,5 juta bayi yang lahir setiap tahun, hal ini tentu akan menambah kebutuhan pangan terutama beras. Meski begitu selalu ada harapan agar produksi beras dari para petani terus bertambah. Ditambahkan pula jika saat ini Jawa Timur menjadi provinsi kedua terbesar di Indonesia dalam hal produksi beras, sehingga ketika terjadi surplus beras bisa menjadi cadangan strategis pemerintah agar mampu melakukan ekspor ke negara yang membutuhkan. 

Bukanlah rahasia jika negara kita selalu mengalami masalah termasuk dalam hal ketahanan pangan. Pengaturan yang tidak stabil menjadikan masalah-masalah tersebut tak kunjung usai. Ketahanan pangan merupakan masalah penting suatu bangsa karena berkaitan dengan SDM.

Indonesia adalah negara agraris yang kaya dengan sumber daya alam melimpah. Tak semestinya jika negara tercinta kita ini, terus saja berkubang dalam kondisi yang terus menerus memprihatinkan terutama masalah ketahanan pangan. Kenyataannya, masalah utama bukanlah pada negara yang ternyata cukup kaya tapi pengelolaan yang tidak sebagaimana mestinya. 

Penerapan sistem kapitalisme membuat negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pengelola urusan rakyat. Sementara operator utamanya adalah para korporat. Akhirnya, berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah justru kian memuluskan para kapitalis untuk menguasai sektor vital masyarakat. Para korporasi semakin bebas menguasai sektor pangan masyarakat, mulai dari pengelolaan hingga pemenuhan kebutuhan rakyat. Bahkan ketika negara harus lepas tangan dalam rantai distribusi pangan, justru semakin memperlebar celah tumbuhnya mafia pasar, spekulan dan kartel. Masifnya kapitalisasi korporasi pangan yang semakin menggurita inilah yang menyebabkan stabilitas harga pangan tak pernah terwujud, bahkan mimpi untuk menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan jauh dari harapan.

Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang memiliki seperangkat aturan dalam menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia, termasuk dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam Islam, penguasa (Khilafah) berperan dalam mengurus dan melayani umat. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). 

Khilafah sebagai institusi negara Islam akan mampu mandiri dalam pengelolaan pangan dari hulu hingga hilir, tanpa adanya campur tangan pihak swasta. Negara Islam akan menjamin kelancaran proses produksi ketersediaan stok pangan yang memadai bagi masyarakat. Jika terjadi kelangkaan pangan, maka khilafah akan memenuhinya dengan menyuplai stok pangan dari wilayah lain, seperti yang pernah dilaksanakan oleh Khalifah Umar Bin Khatab pada masa Khulafaur Rasyidin. Ketika itu selama sembilan bulan Madinah tidak diguyur hujan. Akhirnya, Madinah mengalami paceklik, harga pangan pun melejit karena sedikitnya pasokan pangan. Seketika itu Khalifah Umar langsung mengirimkan surat kepada Amir Bin Al-Ash Gubernur Mesir, untuk mengirimkan bantuan stok pangan dalam rangka mengatasi kelangkaan pangan.

Khilafah juga akan menghilangkan segala distorsi pasar yang menyebabkan dinamika harga pangan, seperti penimbunan dan intervensi harga pangan oleh para mafia pangan. Islam mengharamkan adanya monopoli perdagangan dan penimbunan yang menyebabkan kenaikan harga pangan. Dalam HR. Al- Hakim dan Al-Baihaqi, Abu Umamah al –bahili berkata pada Nabi Muhammad SAW bersabda “Rasulullah melarang penimbunan makanan.” Jika terjadi penimbunan oleh pedagang atau siapapun itu, maka dia akan dipaksa mengeluarkan stok pangan tersebut dan memasarkannya. Jika melanggar hukum syara’ maka khalifah akan memberikan sanksi ta’zir. Islam juga akan menghilangkan segala bentuk intervensi harga yang dilakukan oleh pihak lain. Hanya Khilafah yang akan menguasai rantai pasok pangan sehingga mampu me-riayah dan menyejahterakan seluruhnya rakyatnya.

Dalam Islam Negara juga akan menjamin pembentukan SDM yang berkualitas sehingga mampu mengembangkan kualitas pangan. Negara juga akan memfasilitasi teknologi yang dibutuhkan guna mengolah lahan yang akan dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan pangan. Sistem Islam dengan kekuatannya terbukti mampu menjamin tersedianya stok pangan yang memadai serta memudahkan penyalurannya hingga ke ranah masyarakat. Khilafah dengan berbagai kebijakannya mampu menahan gejolak harga pangan sehingga kestabilan ekonomi dapat terwujud, dengan pengelolaan berbasis sistem politik Islam maka negara menjadi mandiri dan mampu mewujudkan ketahanan pangan. Tentunya kedaulatan pangan akan tercapai tanpa melibatkan pihak swasta. Inilah Negara yang kita impikan, yakni Negara yang mampu menjamin kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.


Wallahualam bissawab.

Kamis, 04 Januari 2024

Oleh. Agustia Wahyu Tri Anggraeni, S.Pd

(Penulis dan Praktisi pendidikan)






Pada tanggal 25 Desember 2023, telah terlaksana kegiatan Bincang Bincang Tokoh Blora yang bertema "Kapitalisme Petaka bagi lbu & Generasi : Islam Perisai Hakiki" di De' Malika Caffe Blora.

Acara ini dihadiri oleh 36 tokoh dari wilayah Blora Kota dan sekitarnya.


Kegiatan ini dibuka oleh moderator yaitu lbu Renik Mufidah, Amd yang menyampaikan tujuan dari

acara ini untuk menguak secara tuntas tentang cengkeraman kapitalisme yang membajak berbagai lini kehidupan sehingga berdampak kepada carut marutnya kondisi Ibu dan generasi penerus.


Kegiatan ini, diisi oleh 2 pembicara. Pembicara 1 yaitu Ibu Dwi Rahayuningsih, S.Si yang

memaparkan fakta fakta yang ada di lapangan khususnya daerah Blora dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, ternyata menyimpan berbagai macam persoalan bagi perempuan

dan generasi. karena hasil penerapan sistem kapitalisme.


Lalu disusul oleh pembicara 2 yaitu drg. Tumirah yang menguak tentang solusi tuntas atas problematika perempuan dan generasi yaitu melalui penerapan Islam secara kafah dalam institusi Khilafah.


Selain itu, terdapat sesi tanya jawab yang memungkinkan peserta untuk berinteraksi langsung dengan kedua pembicara. Diskusi berlangsung dengan berbagai pertanyaan yang bervariasi. Diantaranya, seperti bagaimana langkah agar umat memahami bahwa hanya dengan ideologi Islam yang mampu

menyejahterakan umat, kemudian hal yang perlu diperhatikan dalam solusi permasalahan perempuan saat ini yang menjadi korban para kapitalis hingga peran yang dapat kita lakukan untuk

mengubah keadaan meskipun di tengah keterbatasan.


Momen puncak acara adalah ketika diskusi tersebut para tokoh bersepakat mengenai penyebab kerusakan, bahwa dengan sistem kapitalisme neoliberal, sistem Islam benar-benar menutup celah

pintu berbagai kezaliman, termasuk perampasan ruang hidup bagi perempuan dan anak. 


Dalam sistem Islam, negara wajib menempatkan kebijakan ekonominya untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh rakyat. Para tokoh pun satu kata untuk saling berkontribusi mengubah kondisi ibu dan generasi saat ini.


Saat penutupan acara, moderator mengingatkan kembali kepada para tokoh untuk berkomitmen, senantiasa mengambil peran, dan saling bekerjasama secara terintegrasi. Agar harapannya, umat mampu berubah.


Waktunya, umat Islam menerapkan syariat Islam secara kafah, sempurna.

Agar semua problematika ibu dan generasi terselesaikan. Perampasan ruang hidup tidak akan terjadi,

perempuan dan anak pun bisa hidup aman dan sejahtera.


Wallahualam bissawab.

Oleh. Iin.S

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)





Risalah akhir tahun, dengan mengusung tema  "Islam Perisai Hakiki Ibu dan Generasi," telah terselenggara dengan lancar. Kegiatan yang berlangsung di Doplang, pada 31 Desember 2023, tersebut dihadiri oleh 50 orang peserta dari beberapa wilayah.


Terik matahari yang menyengat tidak mengurangi semangat para hadirin dalam mengikuti acara tersebut.

Dalam openingnya moderator menyampaikan, peran ibu sangat penting dalam membentengi generasi muda dari sistem kapitalisme yang merusak tatanan kehidupan.


Narasumber menyampaikan, Ibu sebagai pencetak generasi bangsa, perannya sudah mulai tergeser. Karena harus memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Kondisi ini terjadi karena adanya faktor internal dan faktor eksternal.


Faktor internal dipengaruhi oleh beberapa point. Diantaranya: lemahnya peran keluarga, seperti hilangnya peran ibu dalam memberikan contoh dan nasehat. Ayah sebagai pemimpin dalam keluarga lemah, karena tidak mampu menafkahi keluarga, pendidikan agama dalam keluarga lemah, Jauhnya generasi tentang pemahaman Islam.


Padahal Allah telah menyampaikan dalam firman-nya, QS. At tahrim : 6.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (QS. At-Tahrim: 6).


Betapa pentingnya sosok seorang pemimpin dalam keluarga dalam menjaga dan membentengi dengan syaksyiah Islam. Bagi anak perempuan menanamkan rasa malu, menjaga kehormatan dirinya, menjaga pergaulan dengan menundukkan pandangan, menjaga harga diri. Bagi anak laki-laki tanamkan jiwa pemimpin, jujur,  pemberani, dan tanggung jawab.


Faktor eksternal dipengaruhi oleh ghozwul fikri (pemikiran diluar Islam) dan ghozwul saqofi (budaya diluar Islam). Pemikiran diluar Islam seperti pemahaman feminis, kesetaraan gender yang diusung oleh orang-orang barat. Adanya pemikiran liberal yang memiliki 4 pilar yaitu kebebasan berbicara, kebebasan berperilaku, kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan. Padahal di dalam Islam, semua aktivitas manusia harus bersandar pada hukum Syara'.


Budaya diluar Islam seperti F4 (food, fashion, film, fun) maupun S3 (sing, seks, shopping) gaya hidup semacam ini berakibat merusak tatanan hidup keluarga. Setelah narasumber menyampaikan materi, maka dibuka forum tanya jawab oleh moderator.


Pertanyaan pertama, bagaimana menghindarkan anak dari F4, S3? Pertanyaan tersebut dijawab lugas oleh pembicara. Yang menjelaskan bahwa, selama F4 n S3 ini halal, boleh. Tapi kalau membawa kepada kemudaratan harus dibatasi, harus ada filter dari orangtua. Mana yang harus dipilih ataupun ditinggalkan. Anak juga harus ditanamkan akidah sejak dini. Anak juga harus dipahamkan tentang akidah, dan syariah, serta mengajarkan anak-anak tentang kewajiban dakwah.


Pertanyaan kedua, bagaimana pengaruh smartphone terhadap janin? Pembicara memaparkan terkait pengaruh buruk dari smartphone adalah adanya radiasi yang mengakibatkan masalah bagi kesehatan. Dampak positifnya adalah ketika dipergunakan dengan baik seperti memperdengarkan murotal kepada janin. Jadi Handphone harus digunakan secara bijak, agar tidak berdampak buruk bagi ibu dan janin dalam kandungan.

 

Selanjutnya, sebagai closing statement, narasumber menyampaikan kepada hadirin harus siap menjadi ibu yang mampu menciptakan generasi penerus yang lebih baik dari orangtunya (ibu). Mau untuk belajar agama, memahami agama dan mengajarkan kembali kepada anak-anak dengan Islam.


Wallahualam bissawab.

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts