SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Rabu, 17 April 2024

Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M

(praktisi pendidik)


Bagi umat Islam, Ramadan adalah bulan yang selalu dinantikan setiap tahun. Sayangnya, kehadiran Ramadan selalu diikuti dengan melonjaknya harga barang konsumsi. Kenaikannya terjadi baik secara bulanan atau month to month (mtm) maupun tahunan atau year on year (yoy).  


Seperti yang disampaikan Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, saat konferensi pers di kantornya Jakarta mengatakan, nilai impor barang konsumsi Februari 2024 sebesar US$ 1,86 miliar atau naik 5,11% dibanding Januari 2023. Sedangkan Februari 2024 senilai US$ 1,36 miliar naik 36,49%, jadi secara bulanan nilai impor barang konsumsi naik US$ 90,5 juta atau naik 5,11% (Jumat 15/3/2024 CNBC Indonesia). Untuk barang konsumsi yang berupa komoditas pangan, juga mengalami peningkatan pesat. Di antaranya beras naik 93% secara volume dan secara nilai naik 148,63% khusus periode Januari-Februari 2024. Lalu, bawang putih naik 374,20% secara volume, dan naik 357,01% secara harga. 


Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi turut mengungkapkan impor daging dan sapi hidup dalam waktu 2-3 Minggu akan tiba dengan jumlah 145 ribu ton, bentuk daging yang kemudian akan ditambah adalah beberapa ratus ekor sapi yang hidup (Selasa 19/3/2024. Jakarta, CNBC Indonesia). Meski belum bisa diungkapkan secara jelas jumlah yang masuk dalam waktu dekat namun setidaknya semua telah disiapkan oleh Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo). Sebelumnya dalam keterangan resmi dijelaskan, angka itu belum termasuk volume impor daging sapi dan daging kerbau beku penugasan pemerintah kepada BUMN Pangan. Selain itu impor daging sapi yang dilakukan juga untuk menjaga stok pangan yang sudah ditentukan.



Kenaikan harga pangan tersebut tentu akan memicu kenaikan harga pangan yang lain. Bisa dipastikan bagaimana kondisi masyarakat yang selalu terulang dengan beban yang sama setiap tahunnya. Alih-alih mencari jalan keluar, yang ada masyarakat hanya diam menerima dan berusaha semampunya untuk bisa memenuhi kebutuhannya ditengah himpitan ekonomi yang semakin mencekik. 


Yang menjadi tanda tanya adalah, tak bisakah masalah yang berulang setiap tahun ini terselesaikan? Toh selalu terjadi setiap tahun, harusnya pemerintah telah mengantisipasi dan mencegah permasalahan yang timbul berulang-ulang kali sehingga beban masyarakat tidak menjadi semakin berat, apalagi jelang hari raya dimana kebutuhan semakin banyak. 


Kita lihat, problematik lonjakan harga pangan yang berulang bukanlah sekadar persoalan di tataran regulasi teknis, melainkan berpangkal dari konsep pengaturan sistem sekuler kapitalisme. Penerapan sistem ini menyebabkan negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan. Peran pemerintah sekadar regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggung jawab. Akibatnya, pengadaan kebutuhan dasar rakyat diambil alih korporasi yang menjadi proyek rebutan untuk mengejar keuntungan.


Parahnya, korporasi dalam sistem kapitalisme memungkinkan terjadinya hegemoni pada sektor pertanian dan pangan, sehingga muncullah perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai seluruh rantai usaha pengadaan pangan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.


Penimbunan bahan pangan yang berakibat melambungnya harga pun sangat sulit ditertibkan. Melonjaknya harga telur saat ini tidak terlepas dari keberadaan korporasi integrator yang menguasai rantai penjualan produk-produk peternakan sehingga merusak harga pasar. Dengan dominasi sektor pangan di tangan semua korporasi tersebut, bagaimana mungkin pemerintah mampu menstabilkan harga pangan ketika mayoritas pasokan pangan tidak berada dalam kendali negara?


Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan pernah menyatakan, sulit bagi pemerintah menstabilkan harga sebab pemerintah tidak dapat menguasai 100% produksi pangan bahkan, sebaliknya, pemerintah malah bergantung pada korporasi. Terlebih lagi, dengan konsep good governance dalam negara neoliberal, ketika lembaga negara BUMN/BUMD hadir untuk menstabilkan harga pangan, kehadirannya justru sebagai korporasi yang bertujuan mencari untung. Tidak aneh ketika saat ini BUMN bertransformasi menjadi holding company dan bertujuan memperbesar keuntungan, bukan lagi melayani hajat rakyat.


Selain itu, penegakan sanksi yang lemah makin membebaskan para pelaku kejahatan pangan untuk beroperasi. Sanksi yang dijatuhkan tidak berefek jera dan sifatnya pun tebang pilih. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, tetapi para kartel dan mafia kelas kakap sangat sulit ditindak.


Bagaimana Islam memandang hal ini? Konsep kapitalisme sangat berbeda dengan Islam yang konsep pengaturan sepenuhnya menggunakan syariat Islam. Secara prinsip, kunci kestabilan harga dan keterjangkauan oleh rakyat terletak pada berjalannya fungsi negara yang sahih, yaitu sebagai raain (penanggung jawab) dan junnah (pelindung rakyat). Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya, “Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari) juga hadis lainnya, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)


Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, baik kuantitas maupun kualitas. Artinya, sebagai pelindung rakyat, negara harus hadir menghilangkan dharar (bahaya) di hadapan rakyat, termasuk ancaman hegemoni ekonomi. Islam tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan sepihak.


Kedua fungsi ini harus diemban oleh seluruh struktur negara hingga unit pelaksana teknis. Oleh karenanya, keberadaan badan pangan seperti Bulog pun harus menjalankan fungsi pelayanan, bukan menjadi unit bisnis. Kalaupun lembaga pangan ini melaksanakan fungsi stabilisator harga dengan operasi pasar, harus steril dari tujuan mencari keuntungan.


Beberapa kebijakan yang akan diambil penguasa untuk menjaga stabilitas harga adalah pertama, menjaga ketersediaan stok pangan supaya supply and demand stabil, di antaranya dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, ataupun dengan impor yang memenuhi syarat sesuai panduan syariat. 


Kedua, menjaga rantai tata niaga, yaitu dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar. Di antaranya melarang penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dsb. Disertai penegakan hukum yang tegas dan berefek jera sesuai aturan Islam.


Islam juga memiliki struktur khusus untuk ini, yaitu Qadhi Hisbah yang di antaranya bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayib, yang tidak kalah pentingnya adalah peran negara dalam mengedukasi masyarakat terkait ketakwaan dan syariat bermuamalah. Dengan pemahaman tentang konsep bermuamalah, masyarakat akan terhindar dari riba, konsumsi makanan haram, serta tidak panic buying yang bisa merugikan orang lain. 

Wallahualam bissawab. 




0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts