Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M
(praktisi pendidik)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra mendesak pemerintah untuk memitigasi dampak dari perubahan istilah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perubahan istilah ini disebut bisa berdampak bagi keamanan masyarakat sipil di Papua (Tempo Jumat, 12 April 2024). Dijelaskan lebih jauh, dengan penyebutan sebagai tentara pemberontak maka akan ada kewajiban dalam memenuhi aturan dalam hukum internasional.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto sebelumnya membenarkan lembaganya kembali menggunakan nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM untuk kelompok bersenjata di Papua. "Jadi dari mereka sendiri menamakan diri TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) bersama dengan OPM," kata dia di Wisma A. Yani, Menteng, Jakarta (CNN Rabu, 10 April 2024).
Sementara itu, Polri masih menggunakan istilah KKB. Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz AKBP Bayu Suseno mengatakan belum ada arahan untuk mengubah istilah KKB kembali ke OPM. Satgas Damai Cartenz tetap beroperasi menangani kelompok separatis di Papua. Mereka pun tetap merujuk istilah KKB yang sudah digunakan beberapa tahun terakhir.
Seperti yang kita ketahui, OPM telah melakukan aksi teror, pembunuhan, bahkan pemerkosaan. Aksi penyerangan tersebut tidak hanya dilakukan kepada personel TNI atau polri saja tetapi menyasar juga kepada guru, tenaga kesehatan bahkan masyarakat sipil. Merusak fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, masjid bahkan gereja.
Korban diantaranya Komandan Koramil (Danramil) 1703-04/Aradide Letda Inf Oktovianus Sogarlay (OS) meninggal akibat aksi penyerangan dan penembakan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Penyerangan dan penembakan terjadi di daerah Pasir Putih, Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah pada Kamis (11/4). Diketahui, hingga April 2024 ini, ada sebanyak tujuh anggota TNI-Polri yang telah gugur termasuk jumlah tewas yang terdata sebanyak 79 orang. Dari hari ke hari, tindakan kekerasan di Tanah Papua terus meningkat. Korban terus bertambah dari tahun ke tahun dan bertambah banyak dari tahun-tahun sebelumnya (Tribunpapua.com, Kamis 18 April 2024).
Aksi separatisme dalam suatu kenegaraan memang sangat sulit dihindari, bahkan Indonesia dalam sejarahnya kerap kali mengalami gerakan-gerakan separatisme dari berbagai kelompok, suku maupun wilayah. Gerakan separatisme yang terus ada sampai saat ini yaitu gerakan separatisme yang ada di Papua, kita seringkali menyebutnya OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pemerintah Indonesia beberapa kali melakukan penanganan terhadap kelompok separatisme di Papua, sayangnya, pemerintah melakukan upaya penanganan yang dianggap kurang tepat sehingga menimbulkan berbagai macam kasus HAM.
Beberapa penyebab gerakan separatisme di Papua hingga saat ini terus ada diantaranya, seperti dari faktor ekonomi, pendidikan, kesehatan dan juga kesejahteraan sosial, yang mana wilayah Papua seperti di anak tirikan dari wilayah lain yang ada di Indonesia. Papua terletak di timur Indonesia. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah Belanda berencana untuk membentuk pemerintahan baru untuk papua, yang kemudian akan dipisahkan dari Belanda dan Indonesia, termasuk legislatif, bendera nasional dan lagu kebangsaan itu sendiri. Ketidakpuasan orang Papua Lah yang membuat mereka ingin mandiri, karena nyatanya mereka masih miskin dan terpinggirkan. Dari tempat tinggal hingga pusat pelayanan ekonomi dan sosial dengan transportasi yang tidak nyaman, orang dapat melihat status kemiskinan itu.
Menurut pandangan mereka, pemerintah pusat dinilai gagal dalam upaya membangun kesejahteraan bagi masyarakat Papua, pemerintah Indonesia membentuk pasukan militer untuk berupaya dalam mengatasi pemberontakan separatisme yang terjadi di Papua.
Gerakan Separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Organisasi Papua Merdeka atau yang lebih dikenal sebagai OPM adalah gerakan separatisme yang terjadi sejak tahun 1963. Pada tanggal 26 Juli 1965, terjadi pemberontakan untuk pertama kalinya di Manokwari. Hampir semua anggota OPM yang bersenjata bermarkas di Papua. Namun, terdapat sebagian orang berada di perbatasan dan pedalaman Papua Nugini.
Bagi pemerintah Indonesia, OPM merupakan sebutan bagi setiap organisasi atau fraksi yang ada di Irian dan juga yang berbasis luar negeri yang memiliki tujuan yakni melepaskan Irian Jaya (Papua Barat) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pimpinan pro-Papua Barat. OPM melakukan serangkaian pemberontakan diakibatkan beberapa faktor. Salah satunya dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan akan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang menunjukkan bahwa Papua memilih menjadi bagian dari Indonesia.
Dalam rangka mencapai tujuannya, OPM melakukan serangkaian pemberontakan kepada pemerintah Indonesia. Mereka juga menggalang dukungan dunia internasional. Bentuk perlawanan yang dilakukan OPM juga mengalami perubahan. Pada masa awal perlawanan, seringkali terjadi konflik senjata antara OPM dan pemerintah Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, OPM mulai memasukkan praktik diplomasi dalam melakukan perlawanan terhadap Indonesia.
OPM sebenarnya berawal dari konflik antar kelompok dalam organisasi OPM dan konflik antara OPM dengan kelompok masyarakat Papua sendiri. Selain itu, sebelum OPM berkembang menjadi organisasi separatis, gerakan OPM dimulai dengan serangan bersenjata, perusakan, penyanderaan, demonstrasi, dan pengibaran bendera West Papua oleh suku Arfak di Manokwari, kemudian meluas ke berbagai wilayah di Irian. Jaya.
Pemerintah Indonesia menganggap tindakan OPM sebagai upaya separatisme yang melanggar hukum dan kedaulatan Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia merasa berhak melakukan perlawanan senjata. Dengan mulai menindaklanjuti tuntutan atas perbedaan di berbagai aspek, akhirnya disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua.
Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada orang Papua untuk mengembangkan pengelolaan wilayahnya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menghormati nilai-nilai dasar orang asli Papua sesuai dengan kewajiban dan hak warga negara Indonesia. Kebijakan itu juga mengembalikan nama Irian Jaya ke Papua.
Dalam wikipedia, separatisme diartikan sebagai sebuah gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dengan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia antara yang satu dengan yang lain di dalam suatu negara. Dilihat dari pengertiannya, jelas gerakan separatisme merupakan perbuatan yang dilarang dalam agama Islam. Sebab, Islam memerintahkan umat Islam untuk bersatu dan menjaga kesatuan wilayah yang dimiliki. Islam melarang muslim bercerai berai dan memisahkan dari jemaah. Seperti yang disampaikan oleh Rasulullah saw.
"Barang siapa yang mendapati dari pemimpinnya sesuatu yang tidak ia senangi, maka hendaklah ia bersabar. Barang siapa yang memisahkan diri dari jemaah sejengkal saja, lalu ia mati, maka ia mati jahiliah". (HR. Bukhari).
Sejatinya, syariat sebagai bagian dari ajaran Islam justru memberikan keamanan dan perlindungan kepada semua warga negara dan masyarakat yang berada di bawah naungannya. Islam memandang bahwa nyawa sangatlah berharga. Allah Swt. telah menjelaskan dalam firman-Nya pada surah Al-Maidah ayat 32. Disebutkan bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tanpa alasan yang dibenarkan sama dengan tindakan membunuh seluruh manusia.
Allah Swt. juga telah menyatakan pembunuhan sebagai perbuatan dosa besar dan balasannya adalah neraka jahanam. Seperti dalam surah An-Nisa ayat 93.
وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا
"Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya."
Oleh karena itu, negara bertanggung jawab dalam menjaga, melindungi, dan memelihara nyawa setiap warganya. Termasuk warga nonmuslim yang berada di dalam naungannya. Untuk menjaga jiwa setiap warga negara, maka Islam memiliki sistem sanksi Islam yang tegas yang mampu menjerakan dan menghapus dosa pelaku kemaksiatan. Juga akan memberikan pencegahan bagi warga lain untuk melakukan tindakan pembunuhan. Seperti memberikan hukuman qishas yang terdapat dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 178.
Negara juga harus memiliki support system yang mampu mencegah warganya melakukan tindakan separatisme. Hal ini karena bersandar pada keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah Swt. Kalaupun ada warga nonmuslim, maka yang mampu melindungi dan mewujudkan keadilan serta ketenteraman hidup mereka.
Berbeda dengan sistem sekuler, yang hanya menjadikan warga negaranya sebagai sapi perah bagi para kapitalis. Sehingga, nyawa begitu murah dan tak berharga. Walhasil, sistem sekuler menjadi sistem yang gagal dalam melindungi jiwa warganya. Kegagalan sistem sekuler dalam melindungi jiwa warga negaranya seharusnya membuka pikiran masyarakat dunia. Bahwa ada sistem pemerintahan Islam yang mampu melindungi jiwa warga negaranya dengan menerapkan seluruh syariat Islam yang ditegakkan oleh masyarakat atas dasar keimanan.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar