Oleh. Sendy Novita,S.Pd,M.M
(praktisi pendidik)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak berinisial DCN (7) di Banyuwangi, Jawa Timur seusai pulang sekolah ( kompas, (17/11/2024). Pihaknya mengutuk keras dan memastikan bahwa Kementerian PPPA akan terus mengawal proses hukum sekaligus memberikan pendampingan terhadap keluarga korban.
Berita serupa juga ditemukan di Aceh Utara. Polisi berhasil meringkus tiga pelaku pemerkosa dan pelecehan seksual terhadap korban yang masih berusia 14 tahun warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara (kompas,11/11/2024).
Tidak hanya anak perempuan, anak lelaki pun rentan menjadi korban pelecehan. Sebanyak 171 kasus dalam 11 bulan terakhir terjadi di Jawa barat. Belum yang tak terjamah media, bisa dipastikan angka tersebut jauh melambung lebih tinggi.
Jika kita cermati realita dari hari hari ke hari, jelas nasib anak bangsa kian terancam dan berada dalam bahaya. Tak jarang keluarga dan orang terdekat menjadi pelaku kejahatan dan kadang berakhir dengan pembunuhan. Kemen PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021.
Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13—17 tahun sepanjang hidup sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,43%, naik menjadi 8,82% pada 2024.
Data ini seharusnya menjadi ancaman keras bagi negara. Banyaknya kasus kriminal di sekitar kita terlebih para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, tak bisa lagi diabaikan. Bukan hanya satu atau dua faktor yang menjadi penyebab utama tetapi lebih beragam dan kompleks. Mirisnya korban kekerasan dengan gender laki-laki lebih tajam meningkat. Lalu apa yang bisa kita harapkan dari sistem yang saat ini menjadi pijakan negara? Nyatanya tak ada tempat yang aman bagi anak-anak yang seharusnya bisa menikmati masa kanak mereka dengan aman dan damai.
Sayangnya, tidak hanya keluarga yang tak mampu melindungi bahkan, masyarakat di lingkungan tempat tinggal juga tidak bisa sepenuhnya memberikan perlindungan dan keamanan terhadap anak. Matinya rasa peka dan rasa individualism telah mewarnai kehidupan sosial. Tak lagi peduli terhadap kemalangan yang menimpa. Belum lagi aparat yang berwenang baru bertindak setelah adanya laporan dan kadang terganjal birokrasi yang bertele-tele.
Ditambah dengan peran negara, yang menerapkan sistem sekuler, condong tak mau memahami dampak buruk dari kebijakan yang telah mereka ambil. Dibiarkannya situs-situs porno yang selama ini membuat resah masyarakat tak juga ditindak cepat dan tegas. Keberadaan media sosial yang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa justru menderaskan ide liberal. Tak lagi memahami halal haram dan semakin banyak memakan korban di berbagai kalangan.
Kondisi tersebut bukan satu-satunya jalan. Ada andil pendidikan sekuler yang ikut menyumbang ide kebebasan berperilaku sehingga predator seksual semakin bebas menjerat korban dan lebih jahat dalam merusak generasi yang seharusnya dijaga dan dilindungi demi masa depan negara.
Pemisahan agama dari kehidupan jelas nyata membuahkan perilaku yang rusak dan jauh dari fitrah manusia, prinsip serba bebas dan boleh semakin menggiring manusia dalam jurang kehancuran dan kenestapaan. Dampak besar yang merusak naluri dan akal manusia. Persepsi hidup yang hanya diraih hanya dengan nafsu semata. Kata-kata menanggulangi kekerasan seksual jelas mustahil terlaksana.
Islam menilai generasi muda adalah aset peradaban sehingga perlu untuk dijaga, dibina, dan diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Memposisikan mereka bukan hanya sebagai aset dunia tapi juga akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam quran surat At-Tahrim [66]: 6 yang berbunyi “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” juga sabda Rasulullah saw. “Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (HR Muslim).
Islam lengkap dalam memberikan solusi untuk menanggulangi kekerasan seksual. Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari keseharian.
Berikutnya adalah negara yang wajib menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai dengan sebaik-baiknya. Dengan syariat Islam kafah akan melahirkan individu-individu yang shalih dan enggan bermaksiat ditambah dengan lingkungan yang kondusif dalam menjaga dan melindungi generasi muda sehingga kejahatan akan mudah untuk diminimalisir.
Yang lebih utama, negara sebagai penguasa, ketika menerapkan aturan Islam dengan kafah mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksinya akan mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Maknanya, agar orang lain yang tidak melakukan pelanggaran hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, akan dapat menebus dosa dan penjagaan Negara terhadap media sehingga hanya berperan untuk syiar dakwah. Dengan demikian jelas bahwa hanya sistem Islam kafah yang mampu untuk mewujudkan perlindungan hakiki bagi anak-anak dari kejahatan seksual.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar