Penulis: Azizah
(Penulis dan Aktivis Kota Blora)
Bayangkan, puluhan ribu rumah hancur, ribuan jiwa kehilangan sanak saudara, dan jutaan rupiah harta benda lenyap dalam sekejap. Itulah gambaran nyata dampak bencana alam yang terus menerus melanda Indonesia. Banjir, tanah longsor, dan gempa bumi seolah menjadi tamu tak diundang yang hadir setiap tahun.
Berdasarkan data Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur, bencana melanda di 27 titik yang tersebar di 18 wilayah Kecamatan, antara lain Kadupandak, Cijati, Tanggeung, Agrabinta, Sindangbarang, dan Leles.
Tak hanya di Cianjur, bencana banjir juga terjadi di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, Banten pada Kamis (5/12/2024). Bencana ini disebabkan oleh meluapnya Sungai Cilemer sejak Senin (2/12/2024). Banjir merendam pemukiman warga setinggi 1-2,5 meter, menyebabkan jalan putus.
Bencana juga terjadi di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan data BPBD setempat, hingga Sabtu (7/12/2024) pukul 17.30 WIB, terdapat 328 titik bencana di 39 kecamatan. Deden Sumpono, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukabumi, mengatakan bahwa jenis bencana yang terjadi bervariasi, seperti tanah longsor, banjir, angin kencang, dan pergerakan tanah.
Terjadinya bencana alam memang patut membuat kita muhasabah. Sering kali manusia menganggap bencana alam terjadi karena fenomena alam dan takdir yang tak terelakkan, sehingga kita hanya pasrah menerima apa pun yang terjadi. Padahal, bencana juga dapat terjadi akibat ulah manusia, seperti pelanggaran syariat kehidupan yang tidak diatur dengan benar (Islam).
Namun, kita juga tak dapat memungkiri bahwa bencana alam di Jawa Barat bersifat sistemis. Hal ini terlihat dari penanganan bencana dari tahun ke tahun yang tak menunjukkan perubahan signifikan, padahal rekomendasi kerentanan bencana dari Badan Geologi selalu diperbarui dan diberikan kepada pemerintah daerah terkait.
Bencana alam yang terjadi berulang dan menjadi langganan menunjukkan kelalaian dan pengabaian penguasa terhadap rakyatnya. Inilah buah dari kepemimpinan sistem kapitalisme, yang mengutamakan materi dan mengabaikan syariat Allah SWT. Asy-Syariah telah mengatur bahwa seorang pemimpin seharusnya menjadi raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Namun, sistem kapitalisme menjadikan pemimpin sebagai sosok populis otoriter. Kebijakan dibuat seolah pro-rakyat, tetapi sebenarnya hanyalah regulator kebijakan oleh para kapital.
Hutan dieksploitasi berlebihan atas nama pembangunan. Perawatan sungai yang seharusnya dapat mencegah banjir, justru anggarannya dikorupsi atau dialihkan untuk tunjangan pejabat. Inilah salah satu bentuk kezaliman pemimpin yang tidak menggunakan syariat Islam dalam mengatur negara. Pelanggaran syariat inilah yang menyebabkan terjadinya bencana alam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَا دُ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar-Rum [30]: 41)
Penguasa seharusnya malu dengan julukan "banjir tahunan" atau "bencana alam langganan". Julukan ini menunjukkan sikap abai terhadap mitigasi bencana, bukan mengantisipasinya.
Dengan terjadinya berbagai bencana alam di negeri ini, umat wajib muhasabah dan bertobat serta berupaya agar syariat segera tegak di bawah kepemimpinan Islam. Sudah saatnya penguasa kembali kepada hakikat kekuasaan yang dimilikinya, yaitu menegakkan aturan Allah SWT dan meneladani Rasulullah SAW dalam mengurus umat.
Rasulullah SAW bersabda,
"Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad)
Kepemimpinan seperti ini hanya ada dalam institusi Khilafah, karena hanya negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kafah. Khilafah adalah satu-satunya negara yang dapat menyelamatkan umat manusia dari bencana di dunia dan di akhirat. Dalam Khilafah, negara berperan sebagai raa'in dan junnah sehingga rakyat hidup sejahtera dan penuh berkah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ ...
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi ..."
(QS. Al-A'raf [7]: 96)
Ketaatan pemimpin kepada syariat akan menuntunnya mengatur urusan masyarakat sesuai dengan kemaslahatan mereka. Islam tidak anti terhadap pembangunan. Banyaknya pembangunan dalam sejarah peradaban Islam justru telah terbukti riil berfungsi untuk urusan umat. Bangunan-bangunan peninggalan peradaban Islam itu bahkan masih banyak yang berfungsi baik hingga era modern ini, padahal usianya sudah ratusan tahun.
Pembangunan dalam Islam juga mengandung visi ibadah, yaitu bahwa pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah Taala. Untuk itu, jika suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah ataupun berdampak pada terzaliminya hamba Allah, pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan.
Begitu pula perihal tata guna lahan. Penguasa sudah seharusnya memiliki inventarisasi fungsi dari masing-masing jenis lahan. Lahan yang subur dan efektif untuk pertanian sebaiknya jangan dipaksa untuk dialihfungsikan menjadi permukiman maupun kawasan industri.
Juga lahan pesisir, semestinya difungsikan menurut potensi ekologisnya, yakni mencegah abrasi air laut terhadap daratan. Sedangkan kawasan hutan hendaklah dilestarikan sebagai area konservasi agar dapat menahan/mengikat air hujan sehingga tidak mudah menimbulkan tanah longsor, sekaligus menjaga siklus air.
Islam telah mensyariatkan pembangunan secara terukur, berkelanjutan (_sustainable_), dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan agar bencana bisa diminimalisasi. Bahkan Islam pun sudah mengatur anggaran jika terjadi bencana. Dalam Baitul Mal terdapat alokasi pengeluaran khusus untuk keperluan bencana alam.
_Syaikh Abdul Qadim Zallum_ menjelaskan dalam kitab _Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah_ bahwa pada bagian belanja negara terdapat Seksi Urusan Darurat atau Bencana Alam (_Ath-Thawaari_). Seksi ini memberi bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat atau bencana yang menimpa mereka.
Beberapa konsep syariat tersebut akan diterapkan dalam negara Khilafah, bahkan dijadikan sebagai undang-undang negara. Dan siapa pun yang melanggar akan diberikan sanksi. Jika syariat Islam diterapkan oleh level negara, maka akan hadir kepemimpinan yang mengantarkan masyarakat hidup dalam keberkahan, seperti terhindar dari bencana alam. Bahkan untuk mewujudkan kepemimpinan _raa'in_ dan _junnah_, Islam memberikan tanggung jawab pada diri seorang pemimpin bahwa dia harus memiliki kekuatan kepribadian Islam, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati. Dengan demikian, bukankah bisa dikatakan bahwa berbagai bencana yang terjadi hari ini menjadi bukti bahwa umat membutuhkan kepemimpinan Islam di bawah naungan Khilafah?
Wallahualam bissawab.
(Editor: Rita Handayani)
0 comments:
Posting Komentar