Penulis: Anizah
(Penulis dan Aktivis Kota Blora)
Harga sembako meroket, biaya hidup semakin mahal. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% di awal tahun 2025 menjadi pukulan telak bagi masyarakat Indonesia yang sedang bergembira di awal pergantian pemimpin.
Harapan masyarakat Indonesia di setiap pergantian pemimpin pastilah ingin memiliki pemimpin yang bertanggung jawab, adil, dan bisa mensejahterakan rakyatnya, di antaranya orang miskin berkurang, banyaknya lapangan kerja, harga-harga terjangkau, berbagai macam fasilitas mudah diakses seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Namun, apa daya, di awal tahun ini penguasa malah memberikan hadiah pahit pada masyarakat Indonesia dengan naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Kenaikan PPN menjadi beban baru bagi masyarakat. Bak jatuh tertimpa tangga pula, belum pulih dari perekonomian pascapandemi, kini rakyat harus rela menerima kenaikan pajak, hal ini akan mengakibatkan harga barang dan jasa naik dan memengaruhi daya beli masyarakat.
Banyak Penolakan
Kebijakan naiknya PPN menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Sejumlah elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan buruh, sudah turun ke jalan.
Pada Jumat (27/12/2024), aliansi mahasiswa yang bergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya Gambir, Jakarta Pusat. (Kontan.co.id, 30/12/2024)
Petisi juga dilakukan oleh Bareng Warga tentang penolakan PPN 12%, dari 19 November 2024 hingga 2 Januari 2025 telah ditandatangani oleh 200.811 orang. (TEMPO, 2/1/2025)
Meskipun banyak penolakan dari masyarakat, pemerintah tetap akan menaikkan PPN menjadi 12%. Padahal, itu semua akan memperdalam kesulitan masyarakat, karena kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang terpuruk.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Kemudian, dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besarnya atau 57,94% bekerja di sektor informal atau mencapai 83,83 juta orang. Pendapatan atau upah masyarakat juga terdapat masalah. Data dari BPS, per bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP), begitu pun dengan daya beli masyarakat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. (CNN Indonesia, 28/12/2024)
Akibat Sistem Kapitalisme
Pemerintah mengungkapkan bahwa kenaikan tarif PPN ini akan diterapkan pada barang dan jasa yang tergolong mewah. Namun, apakah rakyat kecil tidak akan terkena imbasnya?
Kenaikan pajak bukan hanya memengaruhi kelas menengah ke atas, melainkan akan berimbas pada kelas bawah juga, karena ini merupakan efek domino kepada semua kalangan. Para pengusaha yang terkena pajak akan menaikkan harga jual barang karena biaya produksinya menjadi naik. Alhasil, kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat, tetapi mengapa pemerintah tetap menaikkan pajak?
Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan salah satu penyumbang utama APBN. Pajak juga digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi berbasis utang. Sementara itu, Sumber Daya Alam yang melimpah malah diserahkan kepada pihak asing. Alih-alih memberi kemudahan kepada rakyatnya, yang terjadi malah menambah penderitaan rakyat. Ini semua adalah bentuk kezaliman penguasa kepada rakyatnya. Sudah sepatutnya para pemegang kekuasaan berhati-hati dalam menentukan kebijakan. Jika seorang pemimpin menyusahkan rakyatnya, konsekuensi yang ditanggung bukanlah main-main karena menyangkut nasib kekal di akhirat.
Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus urusan rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali ia tidak akan mencium bau surga".
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kebijakan Pajak Dalam Islam
Dalam Islam, pemimpin (Khalifah) bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok setiap rakyat yang meliputi sandang, pangan, dan papan, tetapi juga menjamin berbagai layanan seperti kesehatan, pendidikan, serta keamanan.
Khilafah memiliki beberapa sumber pemasukan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam kitab Nizham al Iqtishadi karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, pemasukan negara berasal dari 3 bagian, yaitu: (1) Fa'i dan kharaj, terdiri dari seksi ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, Fa'i, dan dharibah; (2) Kepemilikan Umum, terdiri dari seksi migas, pertambangan, hutan, laut, sungai, perairan, mata air, listrik, padang rumput, serta aset yang diproteksi negara; dan (3) Zakat, terdiri dari zakat pertanian, buah-buahan, serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing.
Namun, harta zakat tidak boleh diberikan selain kepada delapan asnaf, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an, baik untuk keperluan negara maupun keperluan umat.
Sedangkan pemasukan harta dari hak milik umum diletakkan pada kas khusus baitulmal dan tidak boleh dicampur dengan yang lain. Sebab, harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin.
Adapun pungutan pajak yang disebut dengan istilah "dharîbah", adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan hanya dibebankan kepada laki-laki muslim yang kaya saja. Pajak dalam Islam tidak dipungut dari perempuan, anak-anak, orang kafir, dan orang miskin. Setelah baitulmal sudah tercukupi, penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Jadi, pajak dalam Islam bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan negara, melainkan dijadikan alternatif terakhir saat kondisi keuangan negara sedang genting.
Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Sungguh, hanya dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, rakyat akan terhindar dari berbagai kezaliman.
Wallahualam bissawab.
(Editor: Rita Handayani)
0 comments:
Posting Komentar