SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Rabu, 14 Mei 2025

Penulis: Ummu Salsa

(Praktisi Kesehatan)




Pendahuluan

Sejak April 2025, kebijakan proteksionisme Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kembali mengguncang tatanan perdagangan global. Dengan slogan "Make America Great Again," AS mengenakan tarif impor terhadap sekitar 180 negara, dengan target utama adalah Cina yang dianggap sebagai eksportir inflasi dan melakukan praktik perdagangan yang tidak adil. Tarif impor tinggi yang mencapai 245% untuk beberapa produk AS dibalas oleh Beijing dengan tarif serupa, serta pembatalan kerja sama dengan perusahaan Amerika, yang mengakibatkan inflasi dan penurunan daya beli di AS. Cina juga mengambil langkah strategis jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada Dolar AS dengan mendorong penggunaan Yuan dalam transaksi internasional (Media Umat, edisi 379).


Konflik tarif ini bukan sekadar perselisihan ekonomi, melainkan bagian dari persaingan strategis antara dua kekuatan dunia yang mencakup aspek ekonomi, teknologi, dan geopolitik. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, turut merasakan dampaknya dan perlu mengambil langkah strategis untuk melindungi kepentingan nasional (Jurnal HANKAM, 2025).


Dampak dan Peluang Strategis bagi Indonesia

Kebijakan tarif Trump bertujuan untuk melindungi industri domestik AS. Ironisnya, di Indonesia, Presiden Prabowo justru menghapus kuota impor dengan alasan kelancaran perdagangan (Sarasehan Ekonomi, 8 April 2025). Langkah ini dikritik oleh Ustadz Ismail Yusanto yang menekankan perlunya perlindungan pasar dan industri dalam negeri. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan kebijakan AS ini dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3-0,5 poin dan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar AS.


Dari sudut pandang geopolitik dan ketahanan ekonomi, perang dagang mengganggu rantai pasok global. Ketergantungan Indonesia pada ekspor bahan baku ke Cina dan AS membuatnya rentan terhadap penurunan permintaan dan harga komoditas. Di bidang stabilitas kawasan dan pertahanan, militerisasi di Laut China Selatan menjadi perhatian, menuntut Indonesia untuk memperkuat pertahanan maritimnya, terutama di Natuna.


Dalam aspek investasi dan keamanan teknologi, pembatasan teknologi AS terhadap Cina membuka peluang relokasi industri ke Indonesia. Namun, risiko infiltrasi teknologi sensitif juga perlu diwaspadai. Banyak perusahaan Cina mencari alternatif lokasi produksi untuk menghindari tarif AS, yang dapat menjadi peluang investasi di sektor manufaktur Indonesia asalkan reformasi birokrasi dipercepat. Diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara di Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah menjadi strategi penting untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Cina. Sekitar 70% bahan baku industri elektronik Indonesia masih bergantung pada impor dari Cina, menunjukkan kerentanan sektor ini terhadap gejolak perdagangan. Ketegangan di Laut China Selatan juga menuntut peningkatan kesiapsiagaan maritim Indonesia (Jurnal Hankam, 2025).


Perang dagang AS-Cina menghadirkan tantangan strategis bagi Indonesia dalam hal geopolitik, pertahanan, dan ketahanan ekonomi. Pemanfaatan peluang relokasi industri, diversifikasi pasar, dan penguatan pertahanan maritim memerlukan strategi lintas sektoral yang terpadu dan berbasis data untuk menjaga kedaulatan dan meningkatkan daya saing nasional di tengah ketidakpastian global. Langkah proaktif dan reformasi struktural menjadi kunci stabilitas ekonomi dan peningkatan daya saing (Jurnal Hankam, 2025).


Paradoks Kapitalisme

Prinsip pasar bebas dalam kapitalisme kini diuji dengan kebijakan proteksionisme AS. Teori ekonomi liberal klasik yang menekankan perdagangan bebas tanpa campur tangan negara, yang dulu dipromosikan oleh AS melalui lembaga internasional, kini ditinggalkan demi melindungi kepentingan domestik. Kebijakan tarif agresif ini merupakan bentuk proteksionisme yang dulu dikritik oleh AS ketika diterapkan oleh negara lain (Anonim, 2025; The New York Times). Direktur Pamong Institute, Wahyudi al-Maroky, menilai kebijakan tarif Trump sebagai cerminan kesombongan dan watak asli kapitalisme yang ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya (Kabar Petang: Khilafah News, 19 April 2025).


Kembali Pada Islam Kaffah Sebagai Solusi Problematika Global

Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai bahwa pelemahan ekonomi dan industrialisasi di Indonesia sudah terjadi bahkan sebelum perang tarif AS-Cina, yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi dan mengancam terjadinya gagal bayar utang. Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM), Agung Wisnuwardana, menyatakan bahwa Islam memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi mandiri melalui penggunaan dinar dan dirham serta pengelolaan sumber daya alam yang melimpah (Kabar Petang: Khilafah News, 19 April 2025).


Menurut Agung Wisnuwardana, persatuan umat Islam adalah kunci untuk mewujudkan potensi ini. Dengan akidah Islam sebagai pemersatu, dunia Islam dapat menjadi kekuatan yang lebih dahsyat dari negara mana pun. Ia menekankan pentingnya pembangunan kesadaran di kalangan umat Islam dan ahlun nushrah (elite politik, militer, dll.) untuk mendukung tegaknya sistem ekonomi Islam dalam naungan Khilafah (Emje, MU edisi 379, 2025). 


Pengamat ekonomi Rizal Taufikurrahman berpendapat bahwa umat Islam dapat memperkuat ketahanan ekonomi dengan mendorong sistem ekonomi syariah yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Secara geopolitik, negara-negara Muslim memiliki peluang untuk membentuk aliansi ekonomi baru. Dunia Islam, dengan lebih dari 50 negara dan potensi sumber daya alam serta militer yang besar, dapat menjadi kekuatan global yang signifikan jika bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah dalam sistem Khilafah. Persatuan 2 miliar umat Islam akan menciptakan pasar yang besar dan menghimpun SDM ahli untuk mencapai kemajuan sains, teknologi, dan pengelolaan SDA demi kemuliaan Islam dan umat Muslim. 


Kesimpulan: 


Perang dagang AS-Cina menciptakan tantangan dan peluang bagi Indonesia. Di tengah paradoks kapitalisme yang terlihat dari kebijakan proteksionisme AS, gagasan untuk kembali pada sistem Islam secara komprehensif (kaffah) muncul sebagai solusi alternatif. Persatuan umat Islam dan penerapan sistem ekonomi syariah dianggap sebagai potensi besar untuk mencapai kemandirian ekonomi dan pengaruh geopolitik yang signifikan di tingkat global.

0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts