Penulis: Sumiyah Umi Hanifah
(Anggota AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik)
“Ilmu adalah cahaya kehidupan.” Kalimat ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang memadai mampu mengubah dunia. Setiap orang tua mendambakan pendidikan setinggi mungkin bagi anak-anaknya. Namun, kenyataannya, tidak semua orang tua mampu membiayai pendidikan anak hingga jenjang tinggi. Banyak anak dan remaja terpaksa putus sekolah karena berbagai faktor. Apa penyebabnya, dan bagaimana solusinya?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya 9,22 tahun (setara lulusan SMP). Angka ini di bawah standar rata-rata. Terdapat disparitas pendidikan yang mencolok. Misalnya, rata-rata lama sekolah di DKI Jakarta mencapai 11,5 tahun, sementara di Papua hanya 5,1 tahun (belum lulus SD). Hanya sekitar 10,2% penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan tinggi. (Sumber: kompas.com, 4/3/2025)
Fakta ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Negara bertanggung jawab menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, harus mengkaji penyebab ketimpangan pendidikan. Beberapa faktor penyebabnya, menurut para pakar, antara lain:
1. Akses dan infrastruktur pendidikan yang tidak memadai.
2. Perbedaan kondisi geografis antar pulau.
3. Persepsi sebagian masyarakat yang menganggap pendidikan kurang penting.
4. Keterbatasan guru berkualitas.
Keterbatasan akses pendidikan menjadi pemicu utama ketimpangan. Ironisnya, di tengah krisis ekonomi, pemerintah justru memangkas anggaran pendidikan dengan alasan efisiensi. Anggaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dipotong sekitar 39%, dari Rp57,6 triliun menjadi Rp35,1 triliun. (Sumber: manajemen.hmj.unimus.ac.id, 25/2/2025)
Pemangkasan anggaran menyebabkan banyak daerah, terutama daerah terpencil, kesulitan mengakses pendidikan layak. Fasilitas pembelajaran terbatas, transportasi sulit, akses listrik dan internet minim, dan gaji guru rendah sehingga banyak yang memilih mengajar di kota.
Minimnya alokasi dana pendidikan menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah. Ketergantungan pada utang luar negeri mengancam kedaulatan bangsa. Sistem pendidikan sekuler-kapitalis yang memandang pendidikan sebagai komoditas, bukan hak dasar, mempersulit akses masyarakat miskin.
Program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan sekolah gratis ada, tetapi implementasinya belum merata dan penerima manfaatnya terbatas. Pendidikan yang mahal dan berorientasi pasar menghasilkan tenaga kerja berbiaya rendah, bukan manusia unggul.
Efisiensi anggaran terbukti tidak menyelesaikan masalah. Sistem pendidikan sekuler-kapitalis telah gagal. Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang menjadikan pendidikan sebagai hak seluruh warga tanpa memandang status ekonomi. Negara Islam menjamin pendidikan gratis dan merata untuk mencetak generasi berilmu, bertakwa, dan terampil. Rasulullah SAW bersabda, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat” (HR. Muslim).
Sistem pendidikan Islam mencetak generasi berakhlak mulia, cerdas, menguasai sains dan teknologi, serta beriman kuat. Negara bertanggung jawab penuh melalui Baitul Mal, memanfaatkan sumber daya seperti fai’, kharaj, dan kepemilikan umum. Tidak ada campur tangan swasta, dan negara mampu mandiri dalam penyelenggaraan pendidikan.
Selama sistem kapitalis-sekuler masih diterapkan, perubahan hanya akan menjadi mimpi. Sudah saatnya kembali pada sistem Islam kaffah yang selama 13 abad telah terbukti melahirkan peradaban gemilang.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar