Penulis: Arimbi N.U
(Aktivis Kota Blora)
Ibu, jangan tertipu tampilan layar gadget anakmu. Tampilan warna-warni yang menarik itu bukanlah game seperti yang kau pikir. Visual yang cantik memang menjadi salah satu daya tarik sekaligus tabir terselubung yang mengaburkan batas antara permainan biasa dan permainan judi online.
Transaksi judi online atau judol telah dilakukan oleh anak-anak berusia sejak 10 tahun di Indonesia. Ini merupakan hasil temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Data kuartal I-2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 Tahun lebih dari Rp 2,2 miliar.(cnbcindonesia.com, 8/5/2025).
Oleh karena itu, sangat penting seorang ibu juga melek terhadap teknologi, melek terhadap fakta terkini. Tidak harus menjadi FOMO, seminimalnya kepo dengan apa yang ada di gadget anaknya.
Jumlah transaksi judol yang dilakukan anak dibawah 17 tahun sangat fantastis. Pada empat bulan pertama di tahun 2025 saja lebih dari Rp 2,2 miliar sudah dirogoh dari kantong mereka. Uang orang tuanya yang bekerja membanting tulang, tak mengenal waktu, dihambur-hamburkan begitu saja untuk sesuatu permainan yang tidak jelas hasilnya namun jelas dosanya.
Apakah ini sekedar fenomena kemajuan zaman? Tentu tidak.
Ini adalah suatu hal yang terjadi secara tersistematis didukung oleh kapitalisme. Kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama akan menghalalkan segala cara meskipun harus dengan merusak generasi muda penerus bangsa. Jadi jangan heran dengan keberadaan situs-situs judi online yang semakin menjamur.
Pemerintah memang melakukan pemberantasan situs judol, tapi dilakukan dengan setengah hati dan tebang pilih. Pepatah mengatakan, mati satu tumbuh seribu. Pepatah ini sangat pas menggambarkan dunia judol.
Mirisnya lagi, selain kurang serius memberantas judol, pegawai pemerintah justru menjadi tameng bagi situs-situs judol tertentu.
Dikutip dari Kompas.com, 3 November 2024, diberitakan bahwa pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ditetapkan tersangka usai jadi "beking" ribuan situs judol. Polisi menangkap 16 tersangka, termasuk di antaranya 12 pegawai Komdigi yang melindungi ribuan situs judi online dengan perkiraan penghasilan mencapai Rp 8,5 miliar per bulannya.
Sangat berbeda dengan peran negara dalam Islam (khilafah) yang bertugas menjaga rakyat dari berbagai kerusakan, tak terkecuali judol.
Negara pasti menutup dan mampu memblokir akses semua konten yang merusak. Konten digital akan diarahkan sesuai aturan syariat dan dihadirkan untuk kemaslahatan rakyat.
Jadi bukan dengan menolak semua perkembangan teknologi dan menihilkan digitalisasi. Karena zaman memang bergerak maju, teknologi semakin canggih, bagai pisau bermata ganda tergantung pada penggunanya.
Itulah salah satu fungsi negara, menjaga rakyatnya agar memanfaatkan sesuatu yang diberikan Pencipta sesuai aturan-Nya. Aturan yang pasti memberikan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia.
Wallahu’alam bishowab
0 comments:
Posting Komentar