Oleh: Rati Suharjo
(Pegiat Literasi)
Publik sempat dikejutkan oleh pernyataan Menteri Keuangan dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB (7/8/2025). Dalam pidatonya, Ia melontarkan pertanyaan, “Haruskah negara menanggung seluruh biaya guru dan dosen? Bukankah bisa dibantu masyarakat?”
Sayangnya, ucapannya justru ditangkap warganet seakan-akan guru hanyalah beban negara.Sebuah tafsiran yang menusuk hati, seolah jasa guru tak pernah dihargai.
(cnnindonesia.com, 20/8/2025).
Padahal, guru sejatinya adalah tiang penopang peradaban. Guru laksana lilin yang rela mengorbankan dirinya demi menerangi jalan orang lain. Dengan penuh pengabdian, mereka meninggalkan kenyamanan, bahkan berpisah dari keluarga, demi mencerdaskan bangsa. Mengajar bagi mereka bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hidup untuk menyalakan harapan dan membangun masa depan.
Guru, Penentu Arah Bangsa
Coba bayangkan jika tidak ada guru. Negeri ini akan tenggelam dalam kebodohan dan buta huruf. Dari gurulah kita pertama kali mengenal angka nol, belajar membaca, menulis, hingga memahami berbagai ilmu. Dokter, insinyur, menteri, bahkan presiden sekalipun, semuanya pernah duduk di hadapan seorang guru. Karena itu, wajar bila dikatakan bahwa derajat guru sejatinya lebih tinggi daripada jabatan apa pun.
Namun realitas hari ini jauh dari penghormatan itu. Ada siswa yang berani menentang guru, sementara orang tua mudah tersinggung hingga melaporkan guru ke polisi hanya karena ketegasannya. Lebih ironis lagi, ada guru yang sampai berurusan dengan hukum, didenda, atau dipenjara akibat laporan orang tua murid. Fenomena ini menunjukkan krisis penghargaan terhadap guru semakin nyata, mengikis wibawa dan semangat mereka dalam mendidik.
Guru yang Bertahan dalam Keterbatasan
Selain tantangan moral, banyak guru juga harus berjibaku dengan persoalan ekonomi. Tidak sedikit yang mencari pekerjaan sampinganberdagang, bertani, atau membuka jasa—demi mencukupi kebutuhan. Gaji yang mereka terima sering kali tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Kondisi guru honorer jauh lebih memprihatinkan. Untuk kebutuhan pokok sehari-hari saja mereka masih nombok, apalagi untuk biaya pendidikan anak, kesehatan, atau kebutuhan sosial lainnya.
Teladan dari Sejarah Islam
Islam memberikan teladan luhur dalam memuliakan guru. Imam Syafi’i, misalnya, sangat menjunjung tinggi adab terhadap gurunya, Imam Malik. Saat membuka kitab, beliau melakukannya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara, khawatir mengganggu gurunya. Dari sini, kita belajar bahwa penghormatan kepada guru adalah kunci keberkahan ilmu.
Lebih jauh, Umar bin Abdul Aziz menegaskan pentingnya kesejahteraan guru. Beliau memerintahkan agar para qari (pengajar Al-Qur’an) digaji dari baitul mal. Besarannya bervariasi, antara 15 hingga 25 dinar per bulan. Jika dikonversi ke nilai emas saat ini, setara sekitar Rp63 juta hingga Rp106 juta per bulan—angka fantastis yang menunjukkan betapa mulianya kedudukan guru di mata seorang khalifah. Bahkan, beliau memerintahkan agar setiap desa dengan anak-anak wajib memiliki guru yang digaji negara.
Guru, Pewaris Peradaban
Pada masa kekhalifahan Islam, guru dipandang bukan hanya pengajar ilmu pengetahuan, melainkan juga pembimbing akhlak dan penuntun umat menuju kebaikan. Mereka dihormati khalifah, dimuliakan masyarakat, dan dijamin kesejahteraannya. Guru dihormati sebagai penerus para nabi, penopang peradaban, dan penjaga ilmu yang menerangi akal sekaligus menyejukkan hati.
Maka jelaslah, guru bukan beban negara, melainkan penopang kejayaan bangsa. Jika negara ingin membangun peradaban, maka penghormatan sejati terhadap guru harus diwujudkan, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam kebijakan yang menjamin kesejahteraan dan martabat mereka.
Wallāhualam biṣṣawāb.