SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Senin, 25 Agustus 2025

Oleh: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)



Publik sempat dikejutkan oleh pernyataan Menteri Keuangan dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB (7/8/2025). Dalam pidatonya, Ia melontarkan pertanyaan, “Haruskah negara menanggung seluruh biaya guru dan dosen? Bukankah bisa dibantu masyarakat?”

Sayangnya, ucapannya justru ditangkap warganet seakan-akan guru hanyalah beban negara.Sebuah tafsiran yang menusuk hati, seolah jasa guru tak pernah dihargai.

(cnnindonesia.com, 20/8/2025).


Padahal, guru sejatinya adalah tiang penopang peradaban. Guru laksana lilin yang rela mengorbankan dirinya demi menerangi jalan orang lain. Dengan penuh pengabdian, mereka meninggalkan kenyamanan, bahkan berpisah dari keluarga, demi mencerdaskan bangsa. Mengajar bagi mereka bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hidup untuk menyalakan harapan dan membangun masa depan. 


Guru, Penentu Arah Bangsa


Coba bayangkan jika tidak ada guru. Negeri ini akan tenggelam dalam kebodohan dan buta huruf. Dari gurulah kita pertama kali mengenal angka nol, belajar membaca, menulis, hingga memahami berbagai ilmu. Dokter, insinyur, menteri, bahkan presiden sekalipun, semuanya pernah duduk di hadapan seorang guru. Karena itu, wajar bila dikatakan bahwa derajat guru sejatinya lebih tinggi daripada jabatan apa pun.


Namun realitas hari ini jauh dari penghormatan itu. Ada siswa yang berani menentang guru, sementara orang tua mudah tersinggung hingga melaporkan guru ke polisi hanya karena ketegasannya. Lebih ironis lagi, ada guru yang sampai berurusan dengan hukum, didenda, atau dipenjara akibat laporan orang tua murid. Fenomena ini menunjukkan krisis penghargaan terhadap guru semakin nyata, mengikis wibawa dan semangat mereka dalam mendidik.


Guru yang Bertahan dalam Keterbatasan


Selain tantangan moral, banyak guru juga harus berjibaku dengan persoalan ekonomi. Tidak sedikit yang mencari pekerjaan sampinganberdagang, bertani, atau membuka jasa—demi mencukupi kebutuhan. Gaji yang mereka terima sering kali tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.


Kondisi guru honorer jauh lebih memprihatinkan. Untuk kebutuhan pokok sehari-hari saja mereka masih nombok, apalagi untuk biaya pendidikan anak, kesehatan, atau kebutuhan sosial lainnya.


Teladan dari Sejarah Islam


Islam memberikan teladan luhur dalam memuliakan guru. Imam Syafi’i, misalnya, sangat menjunjung tinggi adab terhadap gurunya, Imam Malik. Saat membuka kitab, beliau melakukannya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara, khawatir mengganggu gurunya. Dari sini, kita belajar bahwa penghormatan kepada guru adalah kunci keberkahan ilmu.


Lebih jauh, Umar bin Abdul Aziz menegaskan pentingnya kesejahteraan guru. Beliau memerintahkan agar para qari (pengajar Al-Qur’an) digaji dari baitul mal. Besarannya bervariasi, antara 15 hingga 25 dinar per bulan. Jika dikonversi ke nilai emas saat ini, setara sekitar Rp63 juta hingga Rp106 juta per bulan—angka fantastis yang menunjukkan betapa mulianya kedudukan guru di mata seorang khalifah. Bahkan, beliau memerintahkan agar setiap desa dengan anak-anak wajib memiliki guru yang digaji negara.


Guru, Pewaris Peradaban


Pada masa kekhalifahan Islam, guru dipandang bukan hanya pengajar ilmu pengetahuan, melainkan juga pembimbing akhlak dan penuntun umat menuju kebaikan. Mereka dihormati khalifah, dimuliakan masyarakat, dan dijamin kesejahteraannya. Guru dihormati sebagai penerus para nabi, penopang peradaban, dan penjaga ilmu yang menerangi akal sekaligus menyejukkan hati.

 

Maka jelaslah, guru bukan beban negara, melainkan penopang kejayaan bangsa. Jika negara ingin membangun peradaban, maka penghormatan sejati terhadap guru harus diwujudkan, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam kebijakan yang menjamin kesejahteraan dan martabat mereka.


Wallāhualam biṣṣawāb.

Oleh: Ulpasari 

(Komunitas Ibu Peduli Generasi)



Berbagai permasalahan pada generasi muda saat ini kembali membuat kita tercengang. Salah satunya terjadi di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, di mana seorang siswa SD berinisial JN (9) menusuk leher seorang siswa MTs berinisial RI (13) hingga tewas. Diduga, motifnya adalah karena JN sering menjadi korban perundungan ( bullying) oleh korban.


Fenomena perundungan antar anak bukanlah hal baru; sudah marak terjadi dari tahun ke tahun. Ini adalah ironi besar, mengingat negara kita telah memperingati Hari Anak Nasional pada 23 Juli. Namun, masalah pada generasi muda justru kian meningkat dan belum teratasi. Lantas, apa saja faktor penyebab masalah ini?


1. Faktor Ekonomi (Kemiskinan)

Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini menciptakan ketimpangan nyata antara si kaya dan si miskin. Kemiskinan ini memicu stres pada orang tua, yang berdampak pada sikap mereka terhadap anak, seperti kekerasan, gizi buruk, stunting, dan penelantaran.


2. Faktor Pendidikan

Sistem pendidikan saat ini tidak luput dari pemahaman liberal, yang menciptakan generasi serba bebas—bebas beragama, berperilaku, berpendapat, dan berekonomi. Hal ini membuat orientasi individu hanya pada materi semata, tanpa memedulikan halal atau haram. Akibatnya, moral generasi saat ini rusak karena jauh dari nilai-nilai agama.


3. Disfungsi Keluarga

Demi membantu perekonomian keluarga, banyak ibu terpaksa bekerja di luar rumah. Hal ini mengurangi peran orang tua, terutama ibu, dalam mendidik anak. Padahal, peran orang tua sangat krusial dalam menanamkan ilmu bagi anak untuk mengarungi kehidupannya.


4. Kegagalan Negara dalam Melindungi Generasi

Negara seharusnya memiliki kewajiban untuk mengurus umat, termasuk masalah generasi. Namun, dalam sistem kapitalisme, peran negara cenderung minimalis dan abai, yang memunculkan kemiskinan, pendidikan yang tidak berkualitas, disfungsi keluarga, dan merebaknya tayangan yang merusak.


Semua faktor tersebut menunjukkan bahwa persoalan bullying merupakan masalah sistematis akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekuler, yang berdampak pada semua lini kehidupan.


Solusi dalam Sistem Islam

Sistem Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme yang melahirkan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas, yang merupakan aturan sempurna dari Sang Pencipta.


Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulumnya berbasis akidah. Negara akan fokus pada pembentukan kepribadian dan karakter anak. Sekolah berkewajiban membentuk pola pikir dan pola sikap Islami pada peserta didiknya. Hal ini akan menciptakan interaksi antar pelajar yang senantiasa berakhlak mulia. Mereka tidak akan terpikir untuk melakukan perundungan, melainkan akan berlomba-lomba untuk saling membantu.


Oleh karena itu, solusi untuk mengakhiri bullying pada generasi saat ini adalah dengan diterapkannya aturan Islam secara menyeluruh ( kaffah ), yang hanya bisa direalisasikan dalam naungan Khilafah Islamiyah.


Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: Niken Ayu Puspitasari



Setiap warga negara umumnya memiliki aset, salah satunya adalah tanah milik. Tanah menjadi salah satu aset dengan nilai ekonomi tinggi yang biasa digunakan untuk berbagai keperluan, baik pribadi (seperti rumah, toko, kebun) maupun komersial (seperti tanah kavling).

Namun, tidak semua pemilik mampu mengelola tanahnya. Banyak tanah yang dibiarkan begitu saja tanpa dimanfaatkan, yang kemudian dikenal sebagai tanah telantar. Kondisi ini menjadi perhatian pemerintah karena tanah yang seharusnya produktif malah tidak dimanfaatkan.

Pemerintah telah menetapkan regulasi untuk menertibkan tanah telantar, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 20 Tahun 2021.

Menurut M. Shafik Ananta, Sekretaris Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah, ada sekitar 120.000 hektare tanah telantar di Indonesia. Pemerintah bahkan menyatakan bahwa tanah milik yang terbengkalai selama dua tahun dapat disita oleh negara. Tanah telantar ini mencakup kawasan non-hutan yang tidak memiliki hak milik atau izin dan sengaja tidak dimanfaatkan, termasuk kawasan pertambangan, perkebunan, permukiman skala besar, dan pariwisata.

Sebelum ditetapkan sebagai "tanah telantar," diperlukan inventarisasi oleh lembaga negara, kementerian, dan pemerintah daerah.

Kritik Terhadap Kebijakan Tanah Telantar

Kebijakan ini sering kali dianggap merugikan rakyat kecil. Tanah adalah sumber kehidupan bagi masyarakat, tetapi tidak semua orang memiliki modal untuk mengelolanya. Mengapa negara begitu sibuk mempermasalahkan tanah telantar milik rakyat, padahal banyak tanah dalam skema HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan) justru dikuasai oleh korporasi besar?

Kondisi ini menyebabkan rakyat kesulitan untuk memiliki lahan tempat tinggal, berdagang, dan bercocok tanam. Di sisi lain, banyak tanah negara juga mengalami nasib serupa: terbengkalai. Ironisnya, pemerintah sibuk menertibkan tanah rakyat, tetapi "melupakan" tanah negara yang telantar. Ini mencerminkan sistem kapitalis yang lebih mementingkan keuntungan finansial dan mengabaikan kewajiban terhadap rakyat.

Perbandingan dengan Sistem Islam

Sistem Islam memiliki pendekatan berbeda yang lebih mengedepankan kewajiban terhadap masyarakat. Dalam Islam, tanah terbagi menjadi dua jenis:

  1. Tanah Milik Pribadi (Haqqu al-Tamlik): Aset pribadi yang dapat dikelola untuk keberlanjutan hidup.
  2. Tanah Milik Umum (Al-Hima): Tanah yang dikelola pemerintah untuk kepentingan umum.

Tanah milik umum tidak boleh diprivatisasi, seperti air, padang rumput, dan api. Ketiganya merupakan sumber kehidupan yang menjadi hak semua masyarakat.

Islam menjunjung tinggi keadilan. Apa pun yang menjadi hak pribadi tidak boleh diambil paksa demi keuntungan personal. Namun, jika seseorang diberi amanah untuk mengelola tanah tetapi lalai, negara berhak mengambil alih dengan catatan untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat.

Penting untuk memahami hukum-hukum dalam Islam yang tidak hanya mengatur demi kepentingan pribadi. Setiap perbuatan dan tindakan akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahualam bissawab.

Rabu, 20 Agustus 2025

Oleh: Rati Suharjo 

(Pegiat Literasi)


Potret perjuangan pendidikan menjadi sebuah ironi saat tuntutan pintar berbanding terbalik dengan ketersediaan fasilitas. (Sumber foto: Mahasiswa.co.id)


Pemerintah terus mendorong peningkatan kualitas SDM sebagai bekal penting untuk menghadapi persaingan global. Namun, faktanya, pendidikan di Indonesia masih menghadapi persoalan serius.


Menurut Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2024 hanya 9,22 tahun. Angka ini setara dengan tingkat pendidikan SMP.


Capaian tersebut belum merata. Kesenjangan antarwilayah masih sangat lebar. Data BPS 2024 menunjukkan rata-rata lama sekolah tertinggi di DKI Jakarta (11,5 tahun) dan terendah di Papua Pegunungan (5,1 tahun).


Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, juga menyoroti hal ini. Hanya 30,85% penduduk usia 15 tahun ke atas yang lulus SMA.


Pendidikan sebagai Komoditas


Realita ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak bangsa hanya mampu menyelesaikan pendidikan dasar. Pendidikan kini semakin dipandang sebagai komoditas.


Bagi anak dari keluarga mampu, melanjutkan ke SMA bahkan perguruan tinggi bukanlah masalah. Namun, bagi keluarga kurang mampu, jangankan membayar UKT dan biaya hidup di perantauan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit.


Situasi ekonomi yang tak menentu membuat masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pokok. Akibatnya, pendidikan sangat bergantung pada kemampuan ekonomi keluarga. Banyak anak yang terpaksa putus sekolah.


Negara sebenarnya tidak tinggal diam. Berbagai program telah diluncurkan, seperti KIP dan sekolah gratis. Namun, faktanya tidak semua rakyat dapat merasakan akses tersebut.


Jangkauannya masih sempit dan belum merata, terutama di wilayah 3T. Persoalan semakin rumit dengan adanya swastanisasi pendidikan dan biaya yang kian mahal.


Kurikulum juga cenderung mengikuti logika pasar, sehingga pendidikan lebih diarahkan untuk mencetak tenaga kerja murah, bukan sebagai hak dasar rakyat.


Solusi Islam: Pendidikan Hak Wajib Negara


Berbeda dengan sistem saat ini, dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak yang wajib diberikan negara kepada seluruh rakyat. Tujuannya adalah membentuk generasi berilmu, bertakwa, serta memiliki keterampilan tinggi.


Pendidikan adalah kebutuhan primer. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT. dalam QS Al-'Alaq ayat 1-5 yang memerintahkan untuk membaca dan menuntut ilmu.


Dalam sistem khilafah, pembiayaan pendidikan tidak akan menjadi masalah. Negara mengelola perekonomian dengan prinsip Islam. Seluruh sumber daya alam adalah milik rakyat yang dikelola negara.


Hasil pengelolaan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk biaya pendidikan. Selain itu, ada sumber pemasukan lain seperti fai, kharaj, dan jizyah yang menambah kekuatan kas negara.


Dengan kekayaan tersebut, negara mampu membiayai pendidikan warganya secara gratis, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.


Mengapa Pendidikan Penting dalam Islam?


Menuntut ilmu adalah kewajiban dalam Islam. Pendidikan bukan hanya sarana membangun bangsa agar mampu bersaing di kancah global.


Lebih dari itu, pendidikan adalah bagian dari perintah agama. Tujuannya untuk mencetak manusia yang beriman, bertakwa, dan berilmu.


Wallahu a’lam bish-shawab.

Senin, 18 Agustus 2025

Oleh: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)


Derita Gaza terus membayangi dunia. Bebaskan saudara kita dari penindasan dan blokade yang tak berujung (Sumber foto: Hatem Ali/CNN Indonesia)


Selama berpuluh-puluh tahun tanah Gaza telah ternoda darah. Namun, Gaza tetap berdiri tegar di tengah penderitaan yang tiada henti. Penduduknya hidup dalam bayang-bayang penindasan, tercekik oleh blokade, dan terus diteror dentuman senjata.


Di tengah derita itu, gelombang kecaman internasional semakin menguat. Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Volker Turk, pada Jumat (8/8/2025) di Jenewa mengecam rencana Israel untuk sepenuhnya mengambil alih Jalur Gaza secara militer. Ia menegaskan, langkah tersebut harus segera dihentikan karena bertentangan dengan keputusan Mahkamah Internasional yang memerintahkan Israel mengakhiri pendudukan, demi mewujudkan solusi dua negara serta menjamin hak rakyat Palestina menentukan nasibnya sendiri. (beritasatu.com, 8/8/2025)


Kritik serupa datang dari Kementerian Luar Negeri Turki yang menyebut rencana itu sebagai bagian dari tindakan genosida yang dijalankan pemerintahan Netanyahu. Turki memperingatkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga mengancam perdamaian dan keamanan global.


Indonesia pun menyuarakan penolakan keras. Pemerintah menilai langkah sepihak Israel untuk menguasai Gaza merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan Piagam PBB. Tindakan ini dinilai semakin menghambat upaya perdamaian di Timur Tengah sekaligus memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. (bbc.com, 9/8/2025)


Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam wawancara dengan Fox News (Kamis, 8/8/2025), menyatakan Israel berencana mengambil kendali militer penuh atas Gaza. Ia menegaskan tidak akan menguasai Gaza secara langsung, melainkan hanya membangun zona keamanan sebelum menyerahkannya kepada pihak Arab. (cnbcindonesia, 8/8/2025)


Namun, pernyataan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Selama hampir dua tahun terakhir, operasi militer Israel justru semakin menyudutkan warga Gaza hingga ke tepi pantai. Mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan: banjir lumpur saat hujan, minim air bersih, serta kehidupan yang serba terhimpit.


Ucapan Netanyahu sejatinya tak lebih dari siasat licik untuk membius opini publik seolah Israel tidak berniat menguasai Gaza. Kenyataannya, bukti sudah terpampang jelas di hadapan dunia. Kata-kata Netanyahu hanyalah kedok kosong yang menutupi fakta kelam: Israel telah menumpahkan darah rakyat Gaza tanpa henti selama 75 tahun—sebuah tragedi kemanusiaan yang terus berulang tanpa belas kasih.


Umat Islam harus membuka mata dan hati, bahwa Gaza bukan sekadar wilayah jauh di sana. Gaza adalah bagian dari kita, darah daging kita. Luka mereka adalah luka kita, air mata mereka adalah air mata kita.


Rasulullah saw. telah bersabda:

"Perumpamaan orang-orang beriman itu ibarat satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut terjaga dan merasakan panas (kesakitan)." (HR. Muslim )


Maka, jika ada di antara kita yang diam, berpangku tangan, atau pura-pura tidak peduli terhadap penderitaan Gaza, itu sama saja dengan membiarkan bagian dari tubuh kita hancur tanpa perlawanan. Sudah saatnya kita bangkit, menggenggam kembali kehormatan, dan berdiri bersama Gaza hingga penjajahan ini sirna selamanya.


Namun, kebangkitan umat Islam hari ini tersandera oleh paham-paham sesat seperti demokrasi dan nasionalisme, yang menempatkan kedaulatan manusia di atas hukum Allah Swt. Ide-ide ini membuat umat mengutamakan batas negara dan kepentingan politik di atas persaudaraan iman, hingga membutakan mereka terhadap jeritan saudara seakidah di negeri lain. Akibatnya, lahirlah sikap acuh, perpecahan, dan hilangnya kekuatan persatuan yang seharusnya menjadi benteng umat.


Tragedi Gaza adalah bukti nyata luka umat Islam yang belum terobati. Derita rakyatnya tidak akan sirna hanya dengan kecaman, doa, atau sekadar bantuan kemanusiaan. Gaza membutuhkan kemerdekaan yang hakiki, agar setiap warganya dapat menunaikan ibadah tanpa rasa takut, serta hidup terhormat sebagaimana bangsa-bangsa merdeka di muka bumi.


Sejarah membuktikan bahwa pembebasan Palestina hanya mungkin terwujud melalui persatuan umat Islam. Khalifah Umar bin Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi telah memberikan teladan, bahwa kekuatan yang bersatu di bawah satu kepemimpinan mampu mengusir penjajah. Selama umat masih terbelah oleh batas-batas nasionalisme dan menjadikan demokrasi sebagai jalan utama, cita-cita itu hanya akan menjadi angan-angan.


Persatuan yang hakiki hanya bisa diraih dengan adanya seorang khalifah, yakni pemimpin seluruh umat Islam yang akan menggerakkan kekuatan militer untuk berjihad fi sabilillah membebaskan Gaza dari cengkeraman penjajah. Namun sebelum sampai pada tahap itu, umat Islam perlu menyatukan hati dan langkah melalui dakwah berjamaah, mengikis perbedaan yang memecah belah, serta membangun kekuatan bersama.


Penderitaan Gaza tidak akan berlangsung selamanya jika ada penguasa yang sungguh-sungguh bertekad membebaskannya. Setelah puluhan tahun terbelenggu penjajahan, maka sudah saatnya kemerdekaan itu diserukan demi mengembalikan kebebasan yang hakiki. Persatuan umat di bawah naungan khilafah adalah jalan menuju pembebasan Gaza dan Palestina.

Wallāhualam bisshawab.

Minggu, 17 Agustus 2025

Oleh: Niken Ayu Puspitasari 

(Penulis Analisis Kebijakan Publik)


Di tengah semangat kemerdekaan ke-80, bendera One Piece berkibar sebagai simbol aspirasi rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan dan perubahan dari pemerintah


Di tengah semangat kemerdekaan ke-80, bendera One Piece berkibar sebagai simbol aspirasi rakyat Indonesia yang mendambakan keadilan dan perubahan dari pemerintah

Indonesia dihebohkan oleh sebuah fenomena unik. Menjelang Hari Kemerdekaan ke-80, rakyat secara kompak mengibarkan bendera bajak laut One Piece. Aksi ini menjadi sorotan, memicu pro-kontra, dan dianggap sebagai bentuk protes terhadap pemerintah.

Mengapa harus bendera One Piece? Dan apa makna di balik aksi ini?

Bendera One Piece, Cerminan Kekecawaan Rakyat

Aksi ini bukanlah tanpa alasan. Rakyat sudah jengah melihat ketidakadilan yang terus terjadi. Mulai dari pajak yang naik, perampasan tanah, pemblokiran rekening, hingga masalah baru yang seolah tiada henti.

Permasalahan ini dicerminkan dalam cerita anim

One Piece. Di sana, para penguasa hidup damai dengan kekuasaannya, sementara rakyatnya menderita. Kondisi inilah yang membuat masyarakat merasa senasib dengan karakter di dalam cerita tersebut.

Bendera One Piece menjadi simbol kekecewaan mereka. Meskipun begitu, mereka tetap mengibarkannya di bawah Sang Saka Merah Putih. Ini menunjukkan, kecintaan pada negara tetap ada, namun kekecewaan pada para pejabatnya sangat besar.

Tanggapan Pemerintah vs Suara Rakyat

Aksi ini langsung ditanggapi serius oleh pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, menyebut aksi ini sebagai provokasi.

Beliau menegaskan bahwa tindakan ini melanggar Undang-Undang Pasal 24 ayat (1), yang melarang pengibaran bendera negara di bawah bendera atau lambang apapun.

Di sisi lain, salah satu anggota aksi menjelaskan bahwa tujuan mereka sebenarnya sederhana: agar pemerintah sadar. Aksi ini adalah bentuk kritikan dari masyarakat.

Mereka berharap pemerintah tidak hanya melihat pelanggarannya, tetapi juga mau berbenah dan memperbaiki kebijakan.

Sistem Kapitalis dan Kesenjangan

Masalah-masalah yang muncul di negara ini seringkali dikaitkan dengan sistem kapitalis. Sistem ini dianggap menciptakan kesenjangan antara rakyat dan para pemangku kekuasaan.

Wajar saja jika rakyat mencerminkan sistem ini seperti pada cerita One Piece. Cerita di mana kepentingan personal lebih diutamakan daripada nasib rakyat.

Islam sebagai Solusi Berkeadilan

Islam bukanlah sekadar ajaran spiritual. Islam juga menawarkan solusi sistematis untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan bagi masyarakat.

Dalam Islam, sistem pemerintahan diatur secara detail demi keadilan bersama. Hukuman yang tegas pun diterapkan untuk memberikan efek jera pada para pelaku kezaliman.

System Islam memiliki kepemimpinan yang bersifat universal (Khalifah). Khalifah wajib memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan Tuhan, tidak mengikuti hawa nafsu. Kedaulatan ada pada hukum syara' (hukum Islam).

Tujuan sistem ini adalah untuk memelihara dan mengatur urusan agama serta masyarakat. Selain itu, juga untuk menghilangkan pertentangan dan perselisihan.

Kesimpulan: Kita Butuh Keadilan Nyata

Masalah yang dihadapi saat ini menunjukkan bahwa kita sangat membutuhkan sistem yang mampu memberikan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Bukan hanya sekadar janji, tetapi tindakan nyata yang adil.

Tuntutan rakyat melalui bendera One Piece ini adalah pengingat. Bahwa kekuasaan harusnya digunakan untuk menyejahterakan, bukan menindas.

Wallahualam bissawab. 

Kamis, 14 Agustus 2025

Kamera dunia, tanpa henti, menyorot Jalur Gaza yang berduka. Lebih dari 60.000 nyawa melayang sejak Oktober 2023, dengan 18.000 di antaranya adalah anak-anak. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret kelam dari sebuah genocida gaza yang terencana. 

Dunia menyaksikan bagaimana Israel menggunakan "pelaparan sistemis" sebagai senjata, membiarkan anak-anak kecil meregang nyawa karena kelaparan. Di satu sisi, banyak negara mulai membuka mata dan mengakui Palestina sebagai sebuah negara. 

Namun, di sisi lain, sebuah ironi menyakitkan terungkap: para pemimpin di negara-negara Arab dan Muslim justru menunjukkan sikap yang membingungkan, bahkan berkhianat.

Realitas ini adalah cerminan kegagalan sistem yang ada. Para penguasa muslim yang seharusnya menjadi pelindung umat, seolah buta dan tuli terhadap jeritan saudara seimannya. 

Mereka lebih memilih kepentingan duniawi—jabatan dan kekuasaan—di hadapan musuh Allah, daripada menjunjung tinggi ikatan ukhuwah Islamiyah yang telah Allah ingatkan. 

Desakan dari Arab Saudi, Qatar, dan Mesir agar Hamas melucuti senjata, serta tekanan Mesir terhadap Imam Besar Al Azhar untuk mencabut kecaman terhadap Zionis, adalah bukti nyata betapa rapuhnya ikatan iman ketika dihadapkan pada kepentingan politik. 

Ini adalah kegagalan sistematis yang membuat umat Muslim terpecah belah dan mudah dilemahkan.

Kemuliaan Umat Adalah Janji Allah

Al-Quran dalam Surah Ali Imran ayat 110 telah menegaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik (khairu ummah). Kemuliaan ini bukan hanya janji kosong, melainkan sebuah amanah yang harus diperjuangkan. 

Sejarah telah membuktikan hal ini, dari masa Rasulullah Saw., para Sahabat, hingga para khalifah yang teguh memegang amanah kepemimpinan. 

Kisah Khalifah Al-Mu’tasimbillah yang mengerahkan pasukannya hanya untuk membalas penghinaan terhadap seorang wanita muslimah, atau sikap tegas Sultan Abdul Hamid II yang menolak tawaran emas untuk menyerahkan Palestina, adalah potret penguasa yang menjaga kemuliaan umat di atas segalanya.

Potret-potret historis ini menunjukkan bahwa Islam bukan hanya ajaran spiritual, melainkan sebuah sistem hidup yang komprehensif. Ketika umat dipimpin oleh seorang raa’in (penggembala) yang tulus menjaga syariat dan umatnya, maka umat akan mendapatkan perlindungan dan keadilan. 

Kegagalan para pemimpin Muslim hari ini adalah akibat dari jauhnya mereka dari syariat Allah. Mereka telah menggadaikan ukhuwah Islamiyah demi kekuasaan dan pengakuan dari Barat, sehingga umat Muslim di Gaza dan seluruh dunia terancam dan sendirian.

Khilafah dan Penerapan Islam Kaffah sebagai Solusi Tuntas

Saat ini, borok Zionis Yahudi telah terbuka lebar di hadapan dunia. Kebaikan, keadilan, dan kemanusiaan adalah sesuatu yang asing bagi mereka. Krisis di Gaza menjadi momentum penting untuk menyadarkan umat akan kezaliman yang sedang terjadi dan mendorong mereka untuk mencari solusi hakiki, bukan sekadar simbolik. 

Solusi tersebut tidak lain adalah dengan kembali kepada ajaran Islam secara islam kaffah, yaitu menerapkan seluruh syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bernegara.

Masalah utama umat adalah tidak adanya pemimpin yang mempersatukan. Sistem politik yang ada, yang merupakan turunan dari kapitalisme sekularisme, telah memecah belah umat menjadi puluhan negara bangsa yang saling berkompetisi dan mudah diadu domba. 

Perjuangan untuk membebaskan Palestina, misalnya, tidak akan pernah tuntas hanya dengan kecaman atau bantuan kemanusiaan parsial. Pembebasan sejati membutuhkan kekuatan militer dan politik yang terorganisir di bawah satu kepemimpinan yang utuh.

Di sinilah peran sentral khilafah menjadi krusial. Khilafah adalah satu-satunya sistem yang mampu menyatukan umat Islam di seluruh dunia, menegakkan keadilan, dan menyerukan jihad sebagai solusi tuntas terhadap penjajahan. 

Khilafah bukan hanya impian masa lalu, melainkan sebuah kewajiban syariat yang akan mengembalikan kemuliaan umat dan menjamin hak-hak seluruh rakyat, termasuk yang non-muslim, dengan adil.

Menyambut Momentum Kebangkitan

Umat harus memanfaatkan momentum dari isu terkini tentang genocida gaza ini. Kesadaran yang muncul akibat kezaliman yang tiada tara harus diarahkan pada perjuangan hakiki: mengubah sistem yang rusak menuju penerapan islam kaffah di bawah naungan khilafah. 

Upaya ini membutuhkan sebuah jamaah dakwah ideologis yang tulus mengajak umat untuk berjuang menapaki jalan yang telah Rasulullah Saw. ajarkan.

Sudah saatnya umat bangkit dari tidur panjangnya, menyadari bahwa janji Allah itu nyata, dan mulai berjuang untuk mewujudkannya. 

Sebab, hanya dengan kembali kepada Islam secara total, umat akan menemukan kembali kejayaannya dan menjadi khairu ummah yang mampu menegakkan keadilan dan menolak segala bentuk penindasan di muka bumi.

Wallahualam bissawab. 

Oleh: Rati Suharjo 

(Pegiat Literasi)



Menjelang HUT ke-80 RI, pemerintah mengimbau masyarakat untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Namun, di media sosial muncul tren mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami, yaitu bendera One Piece.

Fenomena ini memicu perdebatan luas. Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menyebutnya sebagai provokasi yang mengikis semangat kebangsaan. Di sisi lain, bagi sebagian kalangan, ajakan mengibarkan bendera One Piece adalah wujud kekecewaan mendalam atas ketidakadilan.

Gerakan ini dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap sistem yang hanya menguntungkan segelintir elit, bukan upaya makar.

Negeri Kaya yang Merdeka tapi Rakyat Menderita?

Indonesia adalah negeri yang kaya raya, tapi kekayaannya lebih banyak dinikmati oleh oligarki. Sebagian kecil pejabat dan pemilik modal hidup bergelimang kemewahan, sementara mayoritas rakyat bergelut dengan kesulitan ekonomi.

Ketimpangan ini terus berulang. Secara formal, Indonesia memang sudah merdeka. Namun secara hakikat, kebebasan itu belum sepenuhnya terwujud. Setelah 79 tahun merdeka, cita-cita luhur bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masih jauh dari kenyataan.

Angka kemiskinan tetap tinggi, pengangguran merajalela, dan biaya hidup terus naik. Kekayaan alam lebih banyak dikuasai segelintir pengusaha besar, korporasi asing, dan oligarki. Sementara itu, beban utang negara terus membengkak dan praktik korupsi kian merajalela. Belum lagi masalah hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Solusi Hakiki, Islam sebagai Jalan Pembebasan

Semua masalah ini bermuara pada satu hal: keterjajahan pemikiran dan ideologi. Pandangan hidup kapitalisme-sekularisme telah menjerat bangsa ini dalam sistem yang tidak adil. Sistem ini menempatkan materi dan kepentingan segelintir elit di atas kepentingan rakyat banyak.

Penjajahan nonfisik masih berlangsung, dan akar utamanya adalah dominasi ideologi kapitalisme-sekularisme.

Islam hadir untuk membebaskan manusia dari belenggu tersebut. Ajarannya tidak hanya mengatur ibadah, tapi juga seluruh aspek kehidupan yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah." (Q.S. Al-Baqarah: 208).

Penerapan Islam secara menyeluruh dalam bingkai Daulah Islamiyah adalah solusi hakiki. Dengan begitu, kebijakan negara akan bersumber dari wahyu Allah. Kemerdekaan sejati hanya akan terwujud ketika Islam kaffah diterapkan sebagai sistem kehidupan.

Wallahualam bisshawab.



Oleh: Elin Herlina S.Pd

(Tokoh Penggerak)


Kasus penjualan bayi dari Kabupaten Bandung ke Singapura telah menggemparkan publik. Polda Jawa Barat berhasil mengungkap jaringan perdagangan bayi yang melibatkan 13 tersangka. Mereka masih memburu tiga pelaku lainnya.

Sindikat ini merekrut ibu hamil melalui media sosial dengan iming-iming uang tunai hingga Rp16 juta. Sejak tahun 2023, setidaknya 25 bayi telah dijual, sebagian besar dikirim ke Singapura.

Modus operandi mereka melibatkan pemalsuan dokumen seperti Kartu Keluarga, akta kelahiran, dan paspor di Pontianak. Dokumen palsu ini kemudian digunakan untuk adopsi di luar negeri. Pihak kepolisian dan Interpol pun telah berkoordinasi untuk menangani kasus ini.

Sekularisme sebagai Akar Masalah

Melihat lebih dalam, kasus ini tidak bisa hanya dikaitkan dengan kemiskinan atau pernikahan dini. Akar persoalan ini terletak pada sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan.

Sistem ini menjadikan asas manfaat dan nilai materialisme sebagai landasan, sehingga mengikis rasa kemanusiaan. Dalam kondisi ini, bahkan bayi pun rela diperdagangkan demi uang.

Pernikahan dini sering kali dijadikan kambing hitam, padahal masalah sesungguhnya adalah hilangnya nilai moral dan spiritual dalam sistem kehidupan kita. Selama sistem sekular masih menjadi pijakan, kasus-kasus serupa hanya menunggu waktu untuk kembali terjadi.

Oleh karena itu, diperlukan perubahan yang lebih mendasar.

Solusi dalam Pandangan Islam

Islam memiliki pandangan yang sangat tegas terhadap perlindungan anak. Islam mengharamkan penjualan bayi dan menganggapnya sebagai kejahatan besar.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka." (QS. Al-An'am: 151).

Selain itu, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak halal bagi seseorang untuk menjual sesuatu yang memiliki hak orang lain di dalamnya." (HR. Abu Dawud).

Dalam Islam, orang tua dan masyarakat memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan merawat anak sebagai amanah dari Allah SWT.

Penerapan Sistem yang Menyeluruh

Solusi untuk mencegah perdagangan bayi tidak cukup hanya dengan penindakan hukum. Diperlukan perubahan sistemik menuju sistem hidup yang berlandaskan syariat Islam.

Sistem ini mengatur seluruh aspek kehidupan—mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga perlindungan terhadap anak—secara menyeluruh (kaffah).

Penerapan Islam secara total dapat mencegah kejahatan terhadap anak sejak dari akar masalah. Hak-hak anak pun akan benar-benar terlindungi. Sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan terbukti membawa dampak negatif.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengkaji ulang sistem sekular dan mencari solusi menyeluruh. Kita tidak bisa hanya berdiam diri ketika anak-anak menjadi korban perdagangan manusia. Mari bersama-sama menciptakan sistem yang lebih baik, adil, dan berpihak pada kemanusiaan serta syariat.

Untuk mencegah perdagangan bayi secara tuntas, bukan hanya diperlukan penegakan hukum. Solusi hakikinya adalah penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai daulah. Sistem ini memberikan jaminan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak anak.

Wallahualam bisshawab.

Senin, 11 Agustus 2025

Sendy Novita, S.Pd., M.M.

(Pendidik dan Konsultan Manajemen)


Seruan umat Islam dalam persatuan untuk membela Palestina (Sumber foto: Detik.com)


Negara-negara Arab dan Muslim, termasuk Arab Saudi, Qatar, dan Mesir, untuk pertama kalinya secara resmi mendesak Hamas agar melucuti senjata dan menyerahkan kekuasaan atas Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina (PA).

Terungkap fakta bahwa Mesir menekan Imam Besar Al Azhar untuk mencabut kecaman terhadap Zionis, padahal dunia menyaksikan kelaparan sistemis menjadi senjata Yahudi untuk genosida.

Mulai banyak negara yang akan mengakui Palestina sebagai negara setelah terbuka borok Zionis Yahudi dan menyaksikan kejahatan yang tiada tara.

Korban tewas di Gaza telah menembus 60.430 jiwa sejak Oktober 2023, dengan sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Terungkap pula dugaan bahwa Israel sengaja membiarkan serangan 7 Oktober untuk membenarkan invasi ke Gaza.

Hal ini disampaikan oleh seorang prajurit Brigade Golani, Shalom Sheetrit, yang bersaksi bahwa pasukannya diperintahkan untuk tidak melakukan patroli perbatasan rutin pada pagi hari serangan.

Reaksi dunia terhadap pengakuan negara Palestina oleh Prancis menunjukkan adanya perpecahan.

Amerika Serikat dan Israel mengecamnya, sementara Spanyol, Arab Saudi, dan Yordania menyambut baik sebagai langkah menuju solusi dua negara.

Seruan Ukhuwah Islamiyah dan Kemuliaan Umat

Para penguasa Muslim dianggap buta dan tuli atas realita di Gaza, seolah tak ada ikatan iman mereka dengan Muslim Gaza, padahal Allah telah mengingatkan ikatan ukhuwah Islamiyah sebagai landasan hubungan antar-Muslim.

Kepentingan dunia—jabatan dan kekuasaan—telah mematikan ukhuwah Islamiyah dan menjerumuskan mereka pada kelemahan di hadapan musuh Allah.

Umat Islam adalah umat terbaik, sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali 'Imran (3) ayat 110, karena mereka menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah.

Kemuliaan umat akan terwujud kembali sebagaimana janji Allah dalam Surat An-Nur Ayat 55, bahwa Dia akan menjadikan orang-orang beriman berkuasa di bumi, meneguhkan agama mereka, dan mengubah ketakutan menjadi keamanan sentosa.

Semua janji itu telah terwujud nyata melalui perjuangan Rasulullah, para sahabat, dan para khalifah.

Kisah Khalifah Al Mu’tasimbillah dan Sultan Abdul Hamid II adalah potret penguasa yang menjaga kemuliaan Allah.

Jalan Menuju Kepemimpinan Islam Global

Kemuliaan umat harus diperjuangkan kembali, dengan membangun kesadaran umat akan janji Allah dan mendorong mereka untuk mewujudkannya.

Upaya itu membutuhkan kepemimpinan sebuah jamaah dakwah ideologis yang tulus mengajak umat untuk berjuang.

Dengan rahmat Allah, jalan dakwah akan mendapatkan hasil sepanjang menapaki thariqah Rasulullah, sebagaimana yang diemban oleh jamaah dakwah ideologis yang tulus menerapkan Islam kaffah.

Perjuangan pembebasan Palestina akan terwujud ketika Khilafah tegak dan menyerukan jihad sebagai solusi tuntas.

Umat harus memanfaatkan momentum genosida di Gaza ini untuk membangkitkan Umat dan mewujudkan kemuliaan Islam.

Wallahualam bissawab. 

Selasa, 05 Agustus 2025

Oleh: Rina Ummu Meta 

(Pegiat Literasi AMK)



“Siapa yang menghendaki kehidupan dunia, maka harus disertai dengan ilmu, dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, juga harus dengan ilmu.”

Kutipan bijak dari Imam Syafi’i ini menegaskan bahwa ilmu adalah kunci dalam meraih kesejahteraan, baik di dunia maupun akhirat. Namun, bagaimana jika akses terhadap ilmu justru terhalang oleh kemiskinan? Inilah kenyataan pahit yang dihadapi sebagian besar rakyat negeri ini.

Ilmu pengetahuan sebagian besar diperoleh melalui pendidikan, yang merupakan wadah formal untuk mempelajari berbagai bidang secara teoritis maupun praktis. Pendidikan sangat memengaruhi kemajuan suatu bangsa dan merupakan hak serta kebutuhan dasar setiap warga negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Sayangnya, tidak semua warga negara beruntung dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah karena kendala biaya.

Sekolah Rakyat: Sebuah Harapan Baru?

Bagi yang memiliki cukup dana, mereka dapat dengan mudah memilih sekolah swasta favorit yang berkualitas. Namun, bagi warga miskin, harapan mereka hanyalah bisa diterima di sekolah negeri. Itupun tidak selalu berhasil, mengingat persaingan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sangat ketat. Akibatnya, banyak anak yang akhirnya putus sekolah.

Menanggapi kondisi ini, pemerintah berupaya agar warga miskin tetap dapat mengakses pendidikan yang berkualitas. Pada tahun ini, pemerintah meresmikan program Sekolah Rakyat (SR) yang mulai berjalan pada tahun ajaran baru, Juli 2025. Program ini merupakan gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.

Sekolah Rakyat adalah program pendidikan berbasis asrama dengan pembiayaan penuh, mulai dari kebutuhan sekolah, tempat tinggal, makanan, hingga kebutuhan dasar lainnya. Program ini diprioritaskan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang terdata dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) (detiknews.com, 06/07/2025). Program ini digadang-gadang mampu memutus rantai kemiskinan antargenerasi.

Tantangan dan Pertanyaan Kritis

Meskipun program ini terdengar menjanjikan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya belum berjalan optimal. Beberapa kendala yang muncul antara lain:

1. Penggabungan sekolah karena belum tersedianya bangunan yang memadai.

2. Kekurangan tenaga pendidik.

3. Siswa yang kabur dari sekolah.

4. Banyak guru yang mengundurkan diri.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: akankah program ini benar-benar berjalan sesuai harapan? Mungkinkah SR dapat benar-benar mengentaskan kemiskinan?

Perlu dipahami bahwa kemiskinan di negeri ini bukan sekadar kemiskinan biasa, melainkan kemiskinan struktural. Ini adalah kemiskinan yang timbul akibat ketidakadilan dan diskriminasi dalam akses terhadap layanan publik, termasuk kebijakan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.

Meskipun anak-anak dari keluarga miskin bisa masuk SR, hal ini belum tentu mampu mengatasi persoalan tingginya angka pengangguran, maraknya PHK, terbatasnya lapangan kerja, dan berbagai persoalan sosial lainnya. Maka, jelas bahwa SR bukanlah solusi mendasar untuk mengentaskan kemiskinan, melainkan hanya tambal sulam yang bersifat sementara dan parsial.

Akar Masalah dan Solusi Alternatif

Akar dari semua persoalan ini adalah penerapan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator bagi kepentingan oligarki. Negara memberikan kebebasan penuh kepada pemilik modal—baik individu maupun swasta—untuk mengelola dan menguasai sumber daya alam serta layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, aset-aset publik yang seharusnya dikelola negara justru dikuasai oleh swasta. Keuntungan hanya dinikmati segelintir orang, sementara rakyat harus membayar mahal untuk layanan dasar.

Sebaliknya, dalam sistem Islam, negara berperan sebagai ra’in (pengurus) yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda: “Imam adalah ra’in (pemimpin) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR. Bukhari).

Islam menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab negara, bukan komoditas. Negara berkewajiban memberikan pendidikan berkualitas dan merata, baik bagi si kaya maupun si miskin, secara gratis. Dana untuk mewujudkan pendidikan gratis bersumber dari baitul mal, yang terdiri dari pemasukan seperti fai, kharaj, jizyah, dharibah, serta dari pengelolaan kepemilikan umum (sumber daya alam, tambang, gas, minyak, hutan, laut, dll). Semua dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat.

Negara juga wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui penyediaan lapangan kerja yang luas dan merata, sehingga pengangguran bisa ditekan bahkan dihilangkan. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, negara tidak hanya menjamin pendidikan gratis dan berkualitas, tetapi juga memastikan kesejahteraan sosial yang adil dan merata. Dengan demikian, tidak akan ada lagi warga yang hidup dalam kemiskinan dan kemiskinan ekstrem.

Wallahu a'lam bishshawwab.



Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts