SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Senin, 09 Oktober 2023

Oleh. Sendy Novita, S.Pd, M.M

(penulis dan praktisi pendidikan)




Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi penduduk Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa guna mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang. Rencananya di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek ini bahkan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat. Rempang Eco City digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) yang kepemilikannya dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata, konglomerat pemilik Grup Artha Graha. Dengan adanya Rempang Eco City, ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080. Namun rencana tersebut mendapat penolakan warga sehingga terjadi bentrokan yang merembet di area sekolah.

Sejarah konflik lahan Rempang Eco City di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Kawasan ini sejatinya sudah dihuni masyarakat lokal dan pendatang jauh sebelum terbentuknya BP Batam. Namun masyarakat yang tinggal di pulau tersebut selama ini tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Di klaim, awalnya merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). BP Batam sendiri baru terbentuk pada Oktober 1971 yang diinisiasi BJ Habibie dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973. Kala itu, Habibie mencetuskan konsep Barelang (Batam RempangGalang).

Di mana ketiga pulau besar itu saling terhubung yang dianggap mampu menggeliatkan ekonomi, ditambah dengan letak yang strategis. Pada awalnya, Barelang digadang-gadang bisa menyaingi Singapura sebagai pusat perdagangan dan industri, meski dalam perkembangannya kawasan ini justru malah menjadi pendukung dan pelengkap penggerak ekonomi Singapura. Agar pengelolaannya bisa lebih profesional, pemerintah pusat memutuskan membentuk Otorita Batam yang terpisah dengan pemerintah daerah, kini berubah menjadi BP Batam. Badan inilah yang kemudian mengelola kawasan Batam dan pulau sekitarnya, termasuk Pulau Rempang. Dibandingkan Pulau Batam yang ekonominya tumbuh pesat, perkembangan Rempang dan Galang memang lebih lambat. Tampak bergerak sejak dibangun Jembatan Barelang pada 1998.

Sejatinya,  konflik yang terjadi di Rempang sesungguhnya adalah perampasan tanah milik rakyat yang dilakukan oleh negara dan diserahkan kepada oligarki. Sebab, masyarakat di Rempang sudah menempati tanah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka selama beratus tahun yang lalu. Tapi meminta penghuni untuk angkat kaki meninggalkan rumah, tanah, kebun, dan kampung halaman mereka yang kemudian diserahkan kepada perusahaan swasta dengan alasan investasi.

Dalam Islam, tugas utama negara adalah mencukupi kebutuhan dan menyejahterakan rakyatnya. Bukan sebaliknya, memenuhi hasrat oligarki dan menyusahkan rakyat sendiri. Abai dengan amanah malah membuat rakyat menangis darah. Merampas tanah rakyat untuk diserahkan berkedok investasi. Jadi hal yang wajar jika masyarakat Rempang melakukan perlawanan sekedar mempertahankan hak miliknya. Bahkan bukan hanya masyarakat rempang saja tapi seluruh rakyat karena jika perampasan tanah itu dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan akan merambah wilayah lain dengan alasan serupa. 

Wallahualam bissawab



0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts