Oleh. Bunda Nafra
(Pemerhati Sosial/Jawa Tengah)
Miris, aksi pencabulan kini kembali terulang. Sejumlah santri di salah satu pondok pesantren wilayah Banjarejo, Blora Jawa Tengah, telah mengalami kasus kejahatan seksual (pedofilia) yang pelakunya tidak lain adalah pimpinan ponpes (MRM) dengan iming iming surga. (Radar Kudus, 19/09/2023)
Kasus pencabulan yang dilakukan oleh MRM kepada santrinya bermula dari meminta korban untuk memijit yang ujungnya memaksa korban untuk memuaskan hasrat pelaku.
Kini, kasus pencabulan
tengah ditangani serius oleh Satreskrim Polres Blora. Berdasar penyidikan, MRM mengaku telah melakukan aksi bejatnya hampir lebih dari satu tahun, dan dilakukan di tempat tempat yang berbeda. Yakni di rumah, rumah panggung, di masjid dan di gedung NU Mlangsen Blora. Selanjutnya, korban juga diancam untuk tidak melaporkan tindak kejahatannya kepada orang lain.
Menurut AKP Selamet dalam konferensi pers yang digelar menuturkan pelaku terjerat hukuman pidana, disangkakan di pasal 6 huruf C dan Pasal 15 Huruf B UU Nomor 12 tahun 2022. Ancamannya maksimal 12 tahun.
Jika kita cermati, aksi bejat kejahatan seksual kini kian banyak terungkap terjadi di sekitar kehidupan kita. Ironisnya sang pelaku justru orang yang kita jadikan teladan, pendidik, atau bahkan orang terdekat korban.
Meski, pelaku telah dijerat hukuman dan dikenakan denda, namun mengapa tindak kejahatan seksual ini bukannya berkurang malah justru bak jamur tumbuh subur di musim penghujan.
*Keefektifan Regulasi Penanganan Kekerasan Seksual*
Tidak dimungkiri pemerintah telah berupaya keras melahirkan berbagai regulasi untuk menekan laju tindak kejahatan seksual yang kian merajalela. Dari sanksi pidana, sanksi sosial dan sanksi kebiri. (Okezone.com 07/01/2023)
Berbagai bentuk kejahatan seksual yang kini merebak di sekitar kita berbagai ragam ada perkosaan, perbudakan seks, perdagangan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi seksual, hingga penyalahgunaan seks dan aborsi.
Padahal berbagai ancaman sanksi pidana untuk kejahatan seksual juga sudah dikerahkan dalam bentuk perundang-undangan.
Antara lain; Pasal 5 UU Tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara dan denda maksimal Rp 10juta.
Sedangkan bagi pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta, sesuai pasal 6 UU TPKS
Begitu pula terdapat sanksi untuk pelaku kekerasan seksual berbasis elektronik dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak 200 juta. Pelaku perbudakan seksual terancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.
Selain sanksi pidana juga ada saksi sosial yang sifatnya berlaku di masyarakat terkait adat sesuai tempat tinggal.
Yang terakhir ada juga saksi kebiri, Hukum kebiri akan diberlakukan untuk pelaku kejahatan seksual bisa berupa pemotongan penis dan buah zakat atau alat kelamin luar laki laki yang ini diatur dalam UU no 23 tahun 2002 perlindungan anak dan perubahannya serta peraturan pemerintah nomor 70 tahun 2020 tatacara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat penetrasi elektronik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Dari banyaknya saksi yang digulirkan oleh pemerintah diharapkan mampu memberikan efek jera dan memberikan manfaat yang positif.
Namun kenyataan yang terjadi angka kekerasan seksual meningkat eksponensial.
Menurut Erlinda, Komisi Sekjen Perlindungan Anak menuturkan dari satu korban yang melaporkan, dibelakangnya ada delapan korban yang menjadi korban namun tidak melaporkan.
Ini menunjukkan meski berbagai regulasi telah dibuat belum secara signifikan berdampak menekan laju tindak kekerasan seksual.
Kemudian, jika kita mau jujur hukuman yang selama ini dikenakan kepada pelaku tindak kekerasan seksual yang termaktub dalam UU dari bentuk sanksi kurungan penjara, denda atau pun pengebirian secara fisik atau kimia, semua hukuman tersebut ternyata tidak menjerakan pelaku. Buktinya tindak asusila tersebut kian meningkat merajalela.
Selain itu juga, hukuman tersebut tidaklah sebanding dengan dampak mengerikan yang dirasakan oleh korban.
Selama hayat dikandung badan, trauma akibat kekerasan seksual itu akan terasa melekat kuat pada diri korban sebagai tragedi yang memilukan. Maka sudah seharusnya tindak perilaku bejat ini harus segera diakhiri, jika tidak, bagaimana keberlangsungan masa depan generasi kita esok hari.
*Faktor Meningkatnya Laju Tindak Kekerasan Seksual*
Ada banyak faktor pemicu meningkatnya tindak kekerasan seksual yang terjadi akhir akhir ini. Antara lain; lemahnya keimanan, pengaruh gaya hidup bebas, permissif, liberal, kurangnya kontrol/ pengawasan keluarga, lingkungan, masyarakat, serta masifnya tontonan tontonan pembangkit syahwat yang mudah diakses siapapun akibat era digital teknologi dengan sebaran sosial media yang turut menormalisasi kemaksiatan/tindakan asusila (pacaran bebas, zina, kumpul kebo, swinger/bertukar pasanga, penyimpangan seksual kaum pelangi dan sebagainya).
Mengingat Indonesia adalah negeri dengan populasi besar menjadi bidikan pasar yang strategis untuk industri budaya populer, Indonesia juga dinobatkan sebagai negara yang paling kecanduan scrolling handphone HP didunia durasi 5-7 jam dalam sehari. Selain itu, Indonesia juga memimpin konsumsi terbanyak di Asia Tenggara sebanyak 3,5 miliar jam konten setiap bulannya dalam penggunaan aplikasi layanan streaming film over to top (OTT) platform.(Imune.com 6/10/2023)
Fakta yang luar biasa di atas tentunya sangat dominan menjadi pintu masuknya pemikiran liberal, budaya yang serba bebas dari barat diadopsi oleh masyarakat kita yang mengakibatkan dampak pergeseran nilai yang luar biasa. Maka tak ayal jika menjadi tidak terkendali dan justru terus subur meningkatkan tindakan kekerasan seksual.
Sehingga diakui jika fenomena kekerasan seksual bukanlah problem yang berdiri sendiri namun berulangnya kasus kekerasan sesual pada anak ibarat fenomena gunung es. Ini artinya tindak bejat ini bukan bersifat kasuistik melainkan perkara sistemik. Yang sejatinya melahirkan individu individu pemuja syahwat, nir iman dan telah menghilangkan rasa takut di dada mereka akan dosa dan azab pedih dari Allah SWT.
Inilah alam kapitalisme dengan asas sekulerismenya yang menjunjung tinggi nilai kebebasan, ternyata merusak semua tatanan kehidupan. Tidak ada lagi budaya ketimuran menjaga sifat malu, namun yang ada individu bebas yang semakin liar mengagungkan kebebasan.
Tidak ada lagi kontrol agama. Agama hanya sebatas nilai yang mengatur wilayah ibadah hamba kepada Tuhanya saja. Sementara dalam aspek kehidupan yang lain semua tata aturan diserahkan kepada akal manusia.
Walhasil regulasi tidak akan bisa menuntaskan kekerasan seksual sebelum bisa memahami akar permasalahan meningkatnya angka kekerasan seksual. Selama pijakan sistem kehidupan kita adalah kebebasan maka selama itu pula tindak kekerasan akan terus merajalela.
Untuk itu, dibutuhkan supporting system yang kuat, yang dapat melawan tindak kejahatan seksual.
Mengapa butuh supporting system yang kuat?
Supporting system yang kuat pasti akan membentuk individu individu di dalamnya juga memiliki karakter yang kuat, karakter yang kuat lahir dari keimanan yang kuat. Pribadi berkarakter kuat yang bertaqwa pasti akan selalu terdorong menjalankan ketaatan dan takut akan penghisaban kelak di Yaumul Akhir.
Yang kedua supporting system juga dibutuhkan ketegasan mengambil sikap dalam menutup semua akses pintu masuknya ide liberal bebas yang memicu tindak kejahatan seksual. Bukan sekedar memperhitungkan keuntungan namun lebih berpihak pada keberlangsungan peradaban dan masa depan akhirat. Supporting system ini tegas menindak atau memberhentikan tontonan, tayangan ataupun iklan yang mengumbar dan merangsang syahwat semata. Selain itu juga berperan besar dengan menghadirkan tontonan sebagai tuntunan dengan film film edukatif, inspiratif kebaikan dan mendorong jalan ketaqwaan.
Selain itu juga diperkuat dengan menghadirkan sanksi yang tegas bagi pelaku tindak kejahatan seksual yang menjerakan dengan menerapkan hukuman yang pantas bagi pelakunya.
Sebagaimana sanksi atas pelaku tindak kejahatan seksual menurut Madzhab Syafi’i, seorang pemerkosa harus dihad (disanksi). Dan ini disesuaikan dengan statusnya, jika ia seorang laki-laki yang sudah berkeluarga, maka ia terkena had zina muhson, yaitu dirajam sampai mati. Jika ia laki-laki yang lajang, maka ia terkena had ghair muhson, yang mana ia akan dijilid atau dicambuk sejumlah 80 kali.
Pun diabadikan dalam kitab suci Al-Quran bahwa Allah telah mengazab kaum nabi Luth yang melakukan tindak liwath, dengan azab yang pedih.
Disebutkan pula dalam kitab sistem sanksi karya Syeikh Abdurrahman Al Maliki bahwa untuk sanksi hudud jenis hukumannya sudah ditentukan oleh Allah dan Rasulnya yakni hukuman mati. Ini artinya untuk menjaga kemuliaan seseorang, Islam betul betul memiliki sistem sanksi yang tegas membuat jera saat terjadi tindak pidana kejahatan seksual. Sehingga bukan mustahil jika ingin menuntaskan persoalan tindak kejahatan seksual secara tuntas di bulan maulid ini kita jadikan moment tepat untuk meneladani seluruh perbuatan, perkataan Rasulullah saw. dalam tugas pengembanan dan pengabdian kepemimpinan Islam untuk rahmat seluruh alam. Sebab hanya dengan menjadikan Islam sebagai tatanan kehidupan maka segala kejahatan seksual akan bisa dihilangkan dan ditekan.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar