Oleh. Aisyah Ummu Fadhilah
(Pegiat Literasi Kota Blora)
Masyarakat Blora dikejutkan dengan peristiwa pencabulan terhadap sejumlah santri yang mondok di salah satu pesantren wilayah Banjarejo. Semula yang melapor hanya satu korban. Namun dari hasil penyidikan diketahui bahwa korban ada 3 orang dan semuanya laki-laki. Modus pelaku MRM (44) adalah memberi iming-iming surga, meminta korban untuk memijat kemudian secara spontanitas memaksa korban memuaskan hasrat pelaku (Radar Kudus, 27/09/2023)
Menurut AKBP Agus Puryadi melalui Kasat Reskrim AKP Slamet menyatakan hubungan pelaku dan korban adalah guru ngaji dan santrinya. Dari pengakuannya, pelaku sudah melakukan pencabulan berulang kali. Menurut bukti-bukti yang ada tindakan tersebut sudah berjalan setahun.
Orang tua korban menambahkan (berdasarkan pengakuan dari korban), pelaku melakukan aksinya itu di empat tempat yang berbeda. Yaitu, dirumah, rumah panggung (tempat ngaji), di masjid, dan juga di Gedung NU Mlangsen Blora. (Radar Kudus, 19/09/2023)
Aksi pencabulan juga terjadi terhadap disabilitas di kecamatan Kradenan. Seorang perempuan (24) penyandang disabilitas dicabuli oleh kakek (60) yang merupakan tetangga korban, hingga korban melahirkan (22/08/2023). Pencabulan dilakukan pelaku di rumah korban saat orang tua dan kakak korban tidak ada di rumah. Pelaku mengancam akan membunuh korban jika tidak menuruti keinginannya (Nusantara News, 29/09/2023)
Tak hanya itu, di Jepon juga terjadi kasus pencabulan. Bahkan korbannya penyandang disabilitas ganda. Kasus pencabulan di kecamatan Jepon ini paling lama dalam penanganannya, karena korban sampai 2 kali melahirkan dan 2 kali lapor polisi. Baru terungkap predatornya sampai 2 tahun lebih. Kendala lamanya kepolisian dalam mengungkap kasus ini dari 2020-Januari 2023 adalah karena korbannya adalah seorang disabilitas ganda dan pelakunya merupakan ayah kandung korban (62). (Liputan 6, 15-01-2023)
Kasus lainnya dirilis oleh Satreskrim Polres Blora pada Juli 2023. Pelakunya adalah tetangga korban berinisial S (54) dan korbannya masih SMP. Pelaku melancarkan aksinya sebanyak 2 kali dengan modus memberikan uang saku kepada korban sebesar 20rb dan 50rb. (Tribun Jateng, 13-07-2023)
Tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa perbuatan keji tersebut terjadi di lingkungan pendidikan dan pelakunya adalah aktor pendidik juga orang-orang terdekat korban? Bagaimana mampu tercetak generasi hebat jika mereka dirusak? Lingkungan yang seharusnya menjadikan mereka objek pendidikan yang semestinya dijaga dan dibina dengan sebaik-baiknya. Guru yang seharusnya menjadi pembimbing dan memberi contoh baik kepada muridnya. Orang-orang yang seharusnya menjaga dan melindungi mereka. Malah melakukan tindakan asusila dan amoral. Apalagi pelaku adalah guru di lembaga pendidikan Islam.
Ayah merupakan kerabat yang sangat dekat yang berkewajiban melindungi anaknya dari tindakan-tindakan yang berpotensi menghancurkan masa depannya. Begitu pula tetangga, adalah pihak yang dekat rumahnya, yang pada umumnya hidup saling membantu satu sama lain. Mereka semua malah merusak masa depan anak yang tidak berdosa dengan perilakunya yang durjana.
Regulasi Tidak Berfungsi
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), pada periode 1 Januari sampai 27 September 2023 saja ada 19.593 kasus tindak kekerasan yang telah tercatat di seluruh Indonesia. (Databoks.katadata.co.id, 27/09/2023)
Jika bicara regulasi, di negeri ini sejatinya sudah banyak regulasi untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak, diantaranya: UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, adanya larangan bagi setiap orang melakukan kekerasan atau mengancam akan melakukan kekerasan, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, memaksa atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut maka akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar. (Kompas 06/01/2022)
Ditambah dengan adanya UU no 17 tahun 2016 yang menetapkan pemberatan hukuman atas pelaku yang memiliki hubungan dekat dengan korban yaitu pelaksanaan kebiri kimia. Juga ada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, yang berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) untuk di lingkungan perguruan tinggi. Dalam Permendikbud 30 tersebut dijelaskan, bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, fisik, nonfisik, bahkan melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Tak hanya itu, juga terdapat UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) tahun 2022. Kemudian ada Peraturan Menag No. 73/2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan, yang diterbitkan pada awal Oktober 2022 lalu, ternyata semua regulasi itu tidak mampu dalam menangani kasus yang ada baik pencegahan maupun penanggulangan.
Kegagalan dari berbagai regulasi yang diterapkan, menunjukkan bahwa permasalahan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi. Melainkan karena penerapan sistem yang salah yaitu sistem sekuler dalam kehidupan. Sekularisme ini juga yang dijadikan sebagai asas dalam pembuatan regulasi yang ada.
Sekularisme tidak menumbuhkan rasa takut, meski ada sanksi pemberatan seperti hukuman pidana, denda, hingga hukuman kebiri. Kehidupan yang berorientasi pada materi dan pemenuhan hawa nafsu sudah membutakan mata dan hati. Membuat kekerasan terhadap anak bahkan kekerasan seksual, menjadi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang tercela dan keji. Sungguh, adanya penambahan regulasi sebanyak apapun tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan arti.
Akibat dari Sekularisme
Jika menelaah terkait penyebab dari permasalahan ini, setidaknya ada beberapa faktor:
Pertama, Pondasi Keimanan
Keimanan kaum muslimin saat ini yang semakin terkikis. Sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini mampu membuat individu muslim tidak merasa berdosa saat ia melakukan pelanggaran hukum syara. Kaum muslim semakin jauh dari pemahaman akidah yang benar. Akidah menjadi sangat dangkal, pemahamannya hanya sebatas pelaksanaan ibadah ritual semata.
Kedua, Pola Hidup Liberal
Pola hidup bebas atau liberal dan juga permisif menambah runyam kondisi yang ada. Ditambah dengan lingkungan masyarakat yang tidak peka pada keburukan dan kemaksiatan. Titik kritis yang seharusnya menjadi alarm bersama adalah bahwa kasus kekerasan seksual tersebut sejatinya muncul akibat pola pikir liberal (serba bebas). Ini terjadi karena pola pikir liberal memang dibiarkan tumbuh subur sebagai konsekuensi dari tegaknya sistem demokrasi dengan akidahnya, yakni sekularisme.
Ketiga, Dampak Media
Keberadaan media terlebih media sosial dijadikan sebagai instrumen untuk menderaskan ide-ide liberal. Seperti halnya pornografi dan pornoaksi secara masif dan langsung di gawai masing-masing individu. Ini menjadi faktor yang turut mempercepat maraknya kekerasan seksual.
Lemahnya filter media yang tidak mampu dikendalikan negara membuat dampaknya semakin buruk. Hal ini diperparah dengan tipisnya kadar keimanan individu serta abainya keterikatan mereka terhadap standar halal-haram.
Solusinya hanya Syariat Islam
Pemerintah sering berdalih telah melakukan banyak hal untuk menekan laju peningkatan kasus kekerasan seksual. Namun, tetaplah sepanjang peradaban sekuler ini masih ditegakkan dan dipertahankan, maka kerusakan tidak akan pernah hilang. Individu akan sulit menjaga ketakwaannya, masyarakat akan kehilangan fungsi amar makruf nahi munkar, dan negara juga akan tetap abai terhadap tugas dalam menjaga masyarakat dari segala hal yang membahayakan kehidupan.
Mubaligah nasional Ustazah Kholisoh Dzikri di dalam liputan MNews,15/01/2023 menyampaikan empat langkah yang harus dilakukan untuk menuntaskan kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Diantaranya adalah:
Pertama, negara wajib membangun ketakwaan individu untuk setiap rakyat dan mendorong mereka untuk selalu taat dalam rangka menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Kedua, negara wajib menutup rapat semua pintu terjadinya tindak pelecehan dan kekerasan seksual, baik itu berupa tontonan, ragam tayangan atau iklan yang dapat mendorong bangkitnya syahwat, memblokir semua situs porno dsb. Negara sebagai pemilik kebijakan, mempunyai kewajiban untuk hadir dalam mengatur konten film. Agar film menjadi media yang edukatif, mencerdaskan, memberi pencerahan, menginspirasi kebaikan serta mendorong masyarakat untuk bertakwa.
Ketiga, negara wajib memberi sanksi tegas yang mampu membuat jera para pelaku dengan menerapkan had (hukuman) Islam atas pelaku pelecehan seksual, perkosaan, maupun tindak pidana lainnya dengan hukuman jilid, rajam, atau hukuman lain sesuai ketetapan dalam hukum Islam.
Syeikh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya sistem sanksi dalam Islam, menjelaskan perbuatan liwath akan dikenai u liwath dengan pedang kemudian membakarnya karena dosanya yang besar. Khalifah Umar dan Utsman berpendapat pelaku ditimpuki dengan benda-benda keras sampai mati.
Namun, seluruh mekanisme tersebut hanya bisa diterapkan dalam sistem yang menjadikan akidah Islam sebagai pondasinya yaitu Institusi Khilafah. Hanya dalam Khilafah, kekerasan seksual diatasi dengan upaya yang berlapis-lapis, dan disertai juga dengan penegakan hukum yang sangat tegas.
Oleh karena itu, upaya dalam menegakkan kembali Khilafah harus menjadi fokus perjuangan para intelektual muslim dan juga seluruh umat Nabi Muhammad. Karena dengan menggantungkan harapan pada sistem sekuler hanya akan menghasilkan kerusakan dan kegagalan.
Sementara Khilafah telah terbukti mampu mengatasi berbagai problematik umat dengan tuntas dan berkeadilan. Di dalam Khilafah, tidak ada pihak yang dirugikan, masyarakat pun merasakan ketenangan dan terbebas dari tindak kejahatan.
Wallahualam bissawab.
0 comments:
Posting Komentar