SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Rabu, 26 Maret 2025

Penulis: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)





Nuzulul Quran adalah peristiwa turunnya Al-Quran yang kerap diperingati setiap tahun, bertepatan dengan bulan Ramadan.


Nuzulul Quran adalah peristiwa turunnya Al-Quran yang seringkali diperingati pada 17 Ramadan. Al-Quran ini adalah salah satu mukjizat yang diberikan Allah Swt kepada Junjungan Nabi Agung kita Muhammad saw..


Banyak tema yang diangkat umat Islam ketika memperingati hari besar tersebut. Seperti tahun ini, 16 Ramadan 1444 H di Sulawesi Selatan, Kementerian Agama Republik Indonesia memperingati Nuzulul Quran dengan program bertajuk "Indonesia Khatam Al-Quran" yang digelar dengan 350 ribu khataman Al-Quran. Program ini diharapkan mampu menguatkan semangat keislaman dan kebangsaan serta mengajak umat Muslim untuk mencintai, memahami, dan meneladani Al-Quran. (metrotv.com, 16/3/2025)


Begitu pula Peringatan Nuzulul Quran yang diselenggarakan di Masjid Agung Nurul Faizin di Cibinong, Bogor pada Minggu, 14 Maret 2025. Acara yang diselenggarakan oleh Bapak Bupati Bogor ini mengusung tema "Peran Al-Quran dalam Membangun Masyarakat Berakhlak Mulia". (kabarindonesia.com, 16/3/2025)


Sungguh acara yang diusung pemerintah ini luar biasa. Dengan acara seperti di atas, maka otomatis akan menggerakkan hati rakyat untuk kembali mencintai Al-Quran dengan membaca, memahami, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Apalagi melihat situasi masyarakat saat ini yang jauh dari Al-Quran. Hampir setiap hari, bahkan setiap detik, berita-berita tentang pergaulan bebas, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan kejahatan lainnya semakin terlihat jelas. Baik itu dilakukan oleh orang biasa, pelajar, mahasiswa, hingga anggota parlemen.


Perilaku semacam ini akibat jauhnya masyarakat dari aturan Islam. Islam hanya dijalankan sebatas ibadah mahdah (ibadah yang mengatur hubungan dengan Tuhan), tetapi dalam segala aspek kehidupan lainnya, mereka bebas melakukan apa saja.


Banyak kita jumpai orang jujur, dermawan, rendah hati, dan sopan santun di negeri ini, tetapi di balik semua itu, mereka melakukan maksiat, berhubungan dengan riba, berkhalwat, tidak menutup aurat, korupsi, dan lainnya.


Hal ini membuktikan bahwa akal mereka tidak digunakan untuk tunduk kepada Allah Swt. melainkan digunakan untuk membuat aturan dengan syarat tidak mengganggu kebebasan orang lain.


Akal manusia itu lemah, semakin tua semakin berkurang daya pikirnya dan tidak mampu menjangkau kejadian-kejadian yang akan datang. Dengan keterbatasan itu, berarti akal manusia adalah makhluk. Sama halnya dengan anggota tubuh yang lain seperti tangan, kepala, kaki, dan makhluk lainnya yaitu alam semesta dan hewan.


Mengakui sebagai makhluk, berarti ada yang menciptakannya, yaitu Allah Swt.. Allah Swt. yang bersifat azali, tidak berawal dan tidak berakhir. Dia menciptakan, bukan diciptakan. Selain sebagai Sang Pencipta, Dia juga sebagai Sang Pengatur.


Oleh karena itu, manusia yang diciptakan oleh Allah Swt. juga diberi petunjuk berupa Al-Quran, As-Sunnah, ijma', dan qiyas. Dengan begitu, manusia memiliki tolok ukur dalam memutuskan suatu perbuatan, yaitu halal-haram, mubah, makruh, dan sunah.


Sayangnya, saat ini yang berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah Swt. tersebut hanya individu-individu semata. Dan jika individu-individu tersebut menyerukan di masyarakat untuk mengembalikan syariat Islam, justru dianggap radikal.


Padahal, jelas hukum syariat Islam ini tidak akan sempurna jika tidak ada negara yang menerapkannya. Seperti pendidikan, kebudayaan, sosial, politik, dan berbagai aspek lainnya tidak bisa dilakukan secara individual.


Sebagai contoh, pezina, pembunuh, koruptor. Hal ini tidak bisa masyarakat yang memberikan sanksi kepada terdakwa. Pezina hukumnya rajam atau cambuk, pembunuh hukumnya qisas, koruptor hukumnya potong tangan, dan begitu pula pelaku LGBT dengan hukuman mati.


Namun, siapakah yang memberikan hukuman tersebut? Kalau bukan negara yang menerapkan hukum Islam.


Inilah suatu bentuk konsekuensi umat Islam terhadap keimanan pada Al-Quran. Yaitu dengan membaca, meyakini, memahami, mengamalkan, dan memperjuangkannya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Swt:


"Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (Q.S Al-Isra' [17]: 9).


Dalam demokrasi, akal dijunjung tinggi untuk memutuskan hukum, sehingga menjadikan kedaulatan di tangan manusia. Padahal manusia adalah makhluk yang lemah sehingga berpotensi adanya pertentangan dan munculnya berbagai masalah.


Dalam negara yang menerapkan demokrasi, hukum dibuat berdasarkan musyawarah yang diambil di legislatif dengan cara voting. Hal inilah yang bertentangan dengan Islam, karena manusia cenderung dalam memutuskan perkara dengan mengedepankan perasaan. Makanya, wajar jika kriminalitas dan kejahatan lainnya di negeri yang menerapkan demokrasi semakin meningkat.


Kendati demikian, mengubah negara ini menjadi lebih baik tidak hanya cukup dengan membaca, meyakini, dan mengamalkan Al-Qur'an secara pribadi, meskipun membaca dan menghafalnya dapat membentuk akhlak mulia.


Akan tetapi, untuk membentuk masyarakat yang baik dalam sebuah negara, perlu kembali menerapkan syariat Islam dalam konstitusi negara. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. dalam mendirikan negara di Madinah al-Munawarah.


Wallahualam bisshawab.

Rabu, 19 Maret 2025

Penulis: Rita Handayani 

(Founder Media)





Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu, sebagai bentuk penyucian diri setelah menjalani ibadah puasa Ramadan. Selain itu, zakat fitrah juga berfungsi sebagai bentuk kepedulian sosial agar kaum dhuafa dapat turut merayakan Idulfitri dengan kebahagiaan yang sama.  


Seiring dengan datangnya hari raya, setiap Muslim perlu memahami bagaimana hukum, tata cara, serta niat dalam membayar zakat fitrah agar ibadah ini diterima dan membawa berkah. Artikel ini akan membahas secara lengkap aspek-aspek penting dalam zakat fitrah.  


Hukum Mengeluarkan Zakat Fitrah


Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, sebagaimana disampaikan dalam hadis dari Ibnu Umar:  


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

  

Artinya: “Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk salat (Idulfitri).” (HR. Bukhari & Muslim)  


1. Pendapat yang Mewajibkan Zakat Fitrah dalam Bentuk Makanan


Mazhab Syafi’i dan Hanbali menegaskan bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan pokok, seperti beras, kurma, atau gandum, sebagaimana yang dilakukan di masa Rasulullah ﷺ.  


Dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri:  


كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ  


Artinya: "Dahulu kami mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ dari makanan, atau satu sha’ dari sya'ir (sejenis gandum), atau satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari keju kering, atau satu sha’ dari kismis." (HR. Bukhari & Muslim)  


Berdasarkan hadis ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang berlaku di suatu daerah.  


2. Pendapat yang Membolehkan Zakat Fitrah dengan Nilai Uang


Mazhab Hanafi dan beberapa ulama lainnya membolehkan zakat fitrah diberikan dalam bentuk uang. Mereka beralasan bahwa tujuan utama zakat fitrah adalah membantu orang miskin memenuhi kebutuhannya di hari raya.


Dalil yang Menjadi Dasar Pendapat Ini:

Dalil dari Ibnu Abbas

Ibnu Abbas berkata:


فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ


Artinya: “Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor, serta sebagai makanan bagi orang miskin.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Para ulama yang membolehkan zakat fitrah dengan uang menafsirkan kata ṭu‘matan lil-masākīn (makanan bagi orang miskin) tidak harus dalam bentuk makanan fisik, tetapi dapat berupa sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan mereka di hari raya, termasuk dalam bentuk uang.


Praktik Sahabat Nabi


Beberapa sahabat Nabi diketahui membayarkan zakat fitrah dalam bentuk uang. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa Mu’adz bin Jabal saat menjadi gubernur Yaman menerima zakat dalam bentuk pakaian dan barang lain yang memiliki nilai setara dengan makanan pokok.


Pendapat Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nilai zakat fitrah lebih utama diberikan dalam bentuk uang karena lebih bermanfaat bagi penerima zakat.


Selain itu, dalam riwayat lain dari Imam Abu Yusuf, salah satu murid Imam Abu Hanifah, disebutkan bahwa pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk uang. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam bentuk zakat fitrah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penerima.  


Tata Cara Zakat Fitrah


Menunaikan zakat fitrah memiliki tata cara yang perlu diperhatikan agar ibadah ini sah dan diterima. Berikut adalah langkah-langkahnya:


1. Menentukan Besaran Zakat Fitrah

Zakat fitrah dibayarkan sebesar satu sha’ makanan pokok, seperti beras, kurma, atau gandum. Satu sha’ setara dengan sekitar 2,5 – 3 kg makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerah setempat.


Jika mengikuti pendapat yang membolehkan zakat fitrah dalam bentuk uang, maka nilai uang yang dibayarkan harus setara dengan harga 2,5 – 3 kg makanan pokok. Besaran ini biasanya ditetapkan oleh lembaga zakat atau otoritas keagamaan setempat.


2. Menentukan Penerima Zakat Fitrah

Zakat fitrah harus diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu delapan golongan asnaf yang disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 60), terutama fakir dan miskin.


Bacaan Niat Zakat Fitrah


1. Untuk Diri Sendiri

Arab:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِيْ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَىٰ  

Latin:

Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an nafsii fardhan lillaahi ta’aalaa.

Artinya:

"Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardu karena Allah Ta'ala."  


2. Untuk Istri

Arab:

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﺯَﻭْﺟَﺘِﻲْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Latin:

Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri 'an zaujatii fardhan lillaahi ta'aalaa.

Artinya: 

"Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk istriku, fardu karena Allah Ta'âlâ."


3. Untuk Keluarga

Arab:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّيْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَنْ يَلْزَمُنِيْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَىٰ  

Latin:

Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘anni wa ‘an jamii’i man yalzamunii nafaqaatuhum syar’an fardhan lillaahi ta’aalaa.

Artinya:

"Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku dan seluruh orang yang nafkahnya menjadi tanggunganku menurut syariat, fardu karena Allah Ta’ala."  


4. Untuk Anak Laki-laki

Arab:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ ... فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَىٰ  

Latin:

Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an waladii (nama anak) fardhan lillaahi ta’aalaa.

Artinya:

"Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak laki-lakiku (sebutkan nama), fardu karena Allah Ta'ala."  


5. Untuk Anak Perempuan

Arab:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ بِنْتِيْ ...  فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَىٰ  

Latin:

Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an bintii (nama anak) fardhan lillaahi ta’aalaa.

Artinya:

"Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak perempuanku (sebutkan nama), fardu karena Allah Ta'ala."  


Niat Pemberi Zakat Fitrah

Arab:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ فَرْضًا لِلّٰهِ تَعَالَىٰ

Latin:

Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri fardhan lillaahi ta'aalaa.  

Artinya: 

"Aku niat mengeluarkan zakat fitrah, fardu karena Allah Ta'ala."  


Niat Penerima Zakat Fitrah

Arab:

اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ بَرَكَةً عَلَيَّ وَطَهُورًا لِنَفْسِي

Latin:

Allaahumma aj'alhu barakatan 'alayya wa thahuuran linafsii.  

Artinya:

"Ya Allah, jadikanlah zakat ini sebagai keberkahan bagiku dan penyuci bagi jiwaku."


Hikmah Zakat Fitrah

Beberapa hikmah dari zakat fitrah antara lain:  

- Membersihkan diri dari dosa kecil selama Ramadan.  

- Menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama.  

- Membantu fakir miskin merasakan kebahagiaan Idulfitri.  

- Menyempurnakan ibadah puasa Ramadan.  


Dengan memahami dan menunaikan zakat fitrah dengan benar, semoga kita mendapat keberkahan dan kebahagiaan di hari kemenangan.  


Sabtu, 15 Maret 2025

Penulis: Luth Balqist

(Pegiat Literasi)





Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diguyur hujan dengan intensitas tinggi. Sejak Senin malam (3/3/2025), Jakarta dikepung banjir. Akibat intensitas hujan yang tinggi, sungai di Jabodetabek meluap. Namun, wilayah yang paling parah terdampak adalah Bekasi. Banjir yang melanda Bekasi menenggelamkan permukiman, jalanan, dan fasilitas publik. Dari 12 kecamatan di Kota Bekasi, 10 kecamatan di antaranya terendam banjir, menunjukkan skala bencana yang lebih besar daripada banjir-banjir sebelumnya.


Menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikbudristek) Abdul Mu'ti, banjir tersebut menyebabkan 114 gedung sekolah mengalami kerusakan. Fasilitas pendidikan yang terdampak mencakup tingkat SD dan SMA, meliputi 90 SD, tujuh SLB, sembilan SMA, lima SMK, dan tiga SMP. (Beritasatu.com, 6/3/2025)


Selain akibat intensitas hujan yang tinggi, Firman Soebagyo, Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, menganggap program pembukaan lahan 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air sebagai pemicu terjadinya banjir di sejumlah wilayah Jabodetabek. Pembukaan hutan menjadi lahan di Puncak, Bogor, membuat kawasan hijau menjadi gundul, sehingga air hujan tidak bisa diserap dengan baik.


Firman menghimbau agar program bagi-bagi lahan hutan dihentikan karena pembagian kawasan hutan tersebut merusak ekosistem, sebab mayoritas lahan digunakan untuk pertanian dan penambangan galian golongan C (galian C). (tirto.id, 6/3/2025)


**Sistem yang Salah**


Bencana banjir yang terus berulang menunjukkan bahwa ini bukan sekadar problem teknis, melainkan sistemik. Masyarakat harus menyadari bahwa pembangunan saat ini dibangun di atas paradigma kapitalis.


Dalam sistem kapitalis, konsep pembangunannya mengabaikan kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia hanya demi keuntungan sebesar-besarnya.


Paradigma kapitalis tidak hadir begitu saja di tengah masyarakat, namun diterapkan oleh pihak tertentu. Secara sadar, pemerintah menerapkan sistem kapitalisme. Hal ini tampak jelas dari kebijakan pemerintah yang membagikan lahan 20 juta hektare. Lahan yang dibagikan itu telah menghilangkan hutan yang berfungsi sebagai resapan dan penopang air di kawasan Puncak.


Pembangunan brutal demi mengejar keuntungan dan lemahnya mitigasi bencana akhirnya menyebabkan banjir bandang di Jabodetabek, mengakibatkan rakyat hidup susah. Oleh sebab itu, rakyat harus menyadari bahwa bencana yang berulang adalah bentuk kezaliman penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme dan hanya mengejar keuntungan.


**Konsep Islam dalam Menangani Bencana**


Hanya negara Islam yang mampu mewujudkan pembangunan yang memudahkan kehidupan manusia dan menjaga kelestarian lingkungan. Dalam sistem Islam, konsep pembangunan yang diterapkan negara harus sesuai dengan konsep syariat.


Sebagai ideologi, Islam mampu memberikan arahan kepada negara tentang bagaimana membangun negara dengan tepat. Dalam Islam, negara harus dibangun sesuai prinsip syariat, yaitu kepemimpinannya harus menjadi *ra'in* (pengurus) atau *mas'ul* (penanggung jawab) urusan rakyat. Sebagaimana hadis Nabi SAW, "Imam adalah *ra'in* (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari)


Hanya Daulah Khilafah Islamiyah yang menempatkan penguasa sebagai *ra'in*. Pembangunan dalam negara Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan investor atau bagi-bagi jatah karena telah menjadi tim sukses.


Kelestarian lingkungan pun menjadi prioritas utama dalam pembangunan, sebab syariat melarang manusia merusak alam. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 205, Allah SWT berfirman: "Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebiasaan itu."


Islam juga memerintahkan untuk tidak mempertandingkan faktor ekonomi dengan faktor ekologi. Pembangunan harus berorientasi ibadah untuk menunjang visi penghambaan kepada Allah Ta'ala. Jika suatu proyek bertentangan dengan aturan Allah atau berdampak pada terzaliminya hamba Allah, maka pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan. Rasulullah bersabda, "Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkannya pada hari kiamat setebal tujuh lapis bumi." (HR. Muslim)


Hanya sistem Islam yang mampu melahirkan kebijakan teknis yang benar untuk mewujudkan arah pembangunan yang tepat. Sebelum melakukan pembangunan, negara akan melakukan pengkajian terkait infrastruktur yang dibutuhkan rakyat. Negara akan menurunkan para ahli untuk membaca kebutuhan infrastruktur bagi rakyat dan membuat skala prioritas dari sisi urgensitas dan kepentingannya. Pengkajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, lingkungan, geografi, dan lainnya, juga dilakukan untuk memastikan pembangunan tidak berdampak negatif.


Selain itu, khalifah akan meminta saran dari Majelis Umat di pusat dan daerah yang merupakan representasi rakyat sehingga mewakili aspirasi rakyat. Sehingga jika daerah yang dikaji jelas memiliki potensi banjir atau merupakan daerah resapan, maka pembangunan tidak akan dilakukan di daerah tersebut. Justru, negara akan melakukan mitigasi yang kuat untuk mencegah terjadinya bencana, khususnya banjir. Negara akan membuat tanggul, bendungan, kanal, penetapan himba (atau kawasan lindung) sebagai kawasan penyangga, dan beberapa teknis lainnya untuk mencegah banjir dan melakukan relokasi tanpa merampas ruang hidup warga jika diketahui tempat tinggal mereka berpotensi menjadi genangan air.


Dari aspek pendanaan, negara Islam sangat independen karena keuangan negara berbasis baitulmal, dengan posisi negara sebagai *ra'i* (pengurus/ pemimpin). Negara hadir untuk terus mengurus rakyatnya dengan baik sehingga rakyat akan hidup aman dan nyaman, terhindar dari banjir.


Wallahu a'lam bisshawab.

Penulis: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)





"Puasa itu adalah perisai." (H.R. Bukhari Muslim)


Puasa merupakan rukun Islam yang keempat dan wajib dilaksanakan oleh umat Islam selama bulan Ramadan. Secara sederhana, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, serta hawa nafsu sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa juga menjadi perisai bagi seorang muslim. Dengan berpuasa, seseorang akan terbentengi dari perbuatan maksiat, dosa, dan siksa neraka, kecuali jika ia sendiri yang merusaknya.


Namun, di tengah upaya ini, muncul berbagai kebijakan yang justru berpotensi menggerus nilai-nilai kesucian bulan ini. Seperti Ramadan kali ini, Pemerintah Propinsi (Penprov) Jakarta telah mengeluarkan kebijakan terkait hiburan malam, yakni karaoke dan biliar, di bulan ramadan dilarang beroperasi, akan tetapi ada pengecualian yaitu hotel bintang 4 dan 5 boleh beroperasi. (detiknews.com, 1-3-2025) 


Sementara, Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh justru mencabut kebijakan terkait pelarangan hiburan malam yang telah diputuskan oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yakni biliar, karaoke, plasstation diizinkan beroperasi.(kompas.com, 28-2-2025)


Selain di sektor pariwisata, dadi sektor kuliner yaitu adanya kebijakan dari Ketua MUI Banten, Amas Tajuddin, yang membolehkan pelaku usaha kuliner untuk beroperasi di siang hari selama Ramadan (radarindonesia, 15 Februari 2025).


Keputusan-keputusan seperti ini tentu tidak mencerminkan penghormatan terhadap umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Sebaliknya, hal ini justru menunjukkan sekularisme yang semakin mengakar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Ramadan adalah bulan penuh ampunan, bulan untuk membersihkan hati, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda:


"Barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebaikan di bulan ini, nilainya seperti orang yang melakukan perbuatan yang diwajibkan pada bulan lainnya. Dan barang siapa yang melakukan suatu kewajiban pada bulan ini, nilainya sama dengan 70 kali lipat dari kewajiban yang dilakukannya pada bulan lainnya." (H.R. Bukhari-Muslim)


Namun, dalam sistem sekularisme, negara tidak ikut campur dalam urusan ibadah, bahkan menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), yang dalam beberapa aspek memberikan ruang bagi individu untuk berbuat maksiat dan mengingkari aturan Allah Swt. Mirisnya, kebebasan individu ini justru dilindungi oleh negara.


Islam mengajarkan, amar makruf nahi mungkar dalam kepemimpinan. Rasulullah saw. bersabda:


"Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai." (H.R. Bukhari dan Muslim)


Oleh karena itu, agar puasa benar-benar menjadi perisai yang melindungi individu dan masyarakat dari maksiat, tidak cukup hanya dengan menguatkan ibadah secara pribadi.


Dibutuhkan junnah dalam bentuk kepemimpinan yang menegakkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw., penerapan syariat secara kafah dalam sebuah negara. Sehingga akan terwujud kemuliaan di tengah masyarakat.


Wallahu a'lam bishawab.

Rabu, 12 Maret 2025

Penulis: Sendy Novita, S.Pd., M.M.

(Praktisi Pendidik)


Lagi-lagi, Zionis melakukan pembatasan atas jamaah salat di kompleks Masjid Al-Aqsa selama Ramadan. Tentu saja dengan dalih penjagaan keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa Palestina masih dalam kungkungan penjajahan karena kontrol entitas zionis masih tampak menguasai, yang mana hal ini selalu dilakukan setiap tahunnya. Sedang Gaza, yang konon dikabarkan sedang dalam gencatan senjata, masih saja kesulitan mengakses bantuan dalam berbagai bentuk karena dipersulit untuk masuk. Zionis Israel sangat memahami bahwa umat Islam masih berpotensi melakukan perlawanan, sehingga mereka berupaya segala cara untuk melakukan penekanan.


Bukan karakter Palestina jika hanya diam dan menerima perlakuan kaum zionis tersebut. Sebagai bentuk perlawanan, kelompok Hamas mengajak warga Palestina untuk tetap beribadah di Masjid Al-Quds selama bulan Ramadan. Menjadikan hari-hari dan malam-malam Ramadan yang penuh berkah didedikasikan untuk ibadah, keteguhan hati, dan perlawanan terhadap musuh dan pemukim ilegal, serta mempertahankan Yerusalem dan Al-Aqsa sampai terbebas dari pendudukan (Antara, Sabtu, 1/3/2025). Selain itu, warga Palestina di seluruh dunia juga diimbau untuk mendukung saudara-saudara mereka di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem sebagai bentuk solidaritas.


Kooptasi, atau proses mekanisme penyesuaian yang ditujukan untuk menjamin stabilitas bagi suatu otoritas dalam menghadapi ancaman, lebih tepatnya adalah karantina wilayah, yaitu penerapan karantina terhadap suatu daerah atau wilayah tertentu dalam rangka mencegah perpindahan orang, baik masuk maupun keluar wilayah itu, untuk tujuan tertentu yang mendesak (Google Searching, 26 Juli 2023). Hal ini dipandang sebagai usaha Israel dalam meyahudikan Yerusalem Timur, di mana Al-Aqsa berada di dalamnya, dengan menghapus identitas Arab dan Islam.


Seperti yang kita ketahui, Al-Aqsa adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam di dunia. Masjid yang berdiri di kompleks Haram Al-Sharif atau Temple Mount di Kota Tua Yerusalem ini menyimpan banyak peristiwa yang membuatnya istimewa, salah satunya adalah kiblat pertama bagi umat. Awalnya, lokasi Masjid Al-Aqsa merupakan wilayah Palestina, namun saat ini menjadi wilayah Yerusalem karena pendudukan Israel sejak Perang Arab-Israel 1967. Israel mencaplok seluruh kota pada 1980, yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional. Bahkan Mahkamah Internasional menyatakan bahwa pemukiman tersebut ilegal dan menuntut pemindahan semua pemukim di Tepi Barat dan Timur pada Juli 2024. Umat Yahudi menyebut daerah itu sebagai Temple Mount dan mengklaimnya sebagai situs dua kuil Yahudi di zaman kuno.


Sejatinya, penderitaan yang dialami saudara kita di Palestina tidak akan pernah berakhir selama sistem kapitalisme sekuler menguasai dunia. Hal ini karena Israel mendapat perlindungan dari negara adidaya, Amerika Serikat, yang cenderung tidak peduli dengan kecaman masyarakat internasional terhadap genosida yang dilakukan Israel. Untuk kesekian kali, AS menegaskan bahwa mereka tidak menganggap tindakan Zionis melanggar hukum kemanusiaan internasional dalam perang di Gaza. AS juga bersikukuh bahwa bantuan senjata yang mereka berikan kepada Israel sudah tepat. Bagi AS, Israel adalah alat untuk mengamankan potensi SDA di beberapa wilayah jajahannya.


Banyak pemimpin di negeri-negeri Muslim nyatanya tidak mampu menghentikan penjajahan dan genosida yang terjadi di Palestina. Padahal mereka memiliki kekuasaan, militer, dan alat-alat tempur yang bisa saja mereka gunakan untuk membantu Palestina. Namun sayangnya, mereka hanya diam dengan dalih perjanjian internasional yang mereka sepakati untuk tidak ikut campur urusan negara lain.


Alih-alih mengirimkan tentara/militer, mereka hanya mengutuk serangan Zionis dan sibuk berdiplomasi di depan lembaga internasional untuk mencari solusi atas masalah Palestina. Seolah mereka lupa bahwa lembaga internasional itulah yang justru membidani adanya perang yang berujung pada genosida di wilayah Gaza. Mereka pun merasa puas hanya dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan yang sejatinya bukan solusi untuk mengenyahkan penjajahan Zionis Yahudi.


Meskipun kita mengenal PBB sebagai badan internasional yang menjaga perdamaian dan keamanan dunia, yang bertujuan untuk memelihara perdamaian, mengembangkan kerja sama internasional, dan memajukan hak asasi manusia, dengan 193 negara anggota, nyatanya tak cukup efektif untuk menghentikan genosida Israel terhadap warga negara Palestina. Terbukti PBB justru menjadi media efektif bagi Amerika Serikat dan sekutunya untuk menguasai nasib negeri-negeri Islam melalui para penguasa yang menjadi 'antek'-nya.


Berbagai pembantaian massal lolos dari hukuman internasional karena PBB terbukti terlibat membantu dan menyokong negara-negara penjajah. Sebagai contoh, pembantaian di Srebrenica (1995), yang menewaskan lebih dari 8.000 laki-laki dan remaja etnis Muslim Bosnia; genosida Rwanda (1994), yang menewaskan hampir satu juta jiwa; dan konflik di Kongo (akhir 2000-an) dengan korban jiwa mendekati lima juta jiwa, merupakan bukti nyata kegagalan sistem internasional. 


Sistem ini terkesan hanya menjadi alat legitimasi kepentingan Amerika Serikat, bukan melindungi umat Islam. Tragedi-tragedi kemanusiaan ini diakibatkan oleh lemahnya kepemimpinan dunia Islam dan penerapan sistem kapitalisme sekuler yang terbukti merusak dan membahayakan. Sistem ini telah menumpulkan akal dan nurani para pemimpin, sehingga kezaliman terus berlanjut. 


Oleh karena itu, pembebasan Palestina memerlukan dua pendekatan: pertama, perlawanan fisik (jihad); dan kedua, pembinaan kesadaran umat Islam akan urgensi kepemimpinan Islam yang mampu mempersatukan dunia Islam berdasarkan ideologi Islam, bukan demokrasi sekuler. Persatuan dunia Islam di bawah kepemimpinan tersebut akan memungkinkan terciptanya kekuatan militer yang mampu mengakhiri penjajahan dan membebaskan Palestina, yang merupakan bagian integral dari umat Islam global. 

Wallahualam bissawab.



Penulis: Arimbi N.U

(Aktivis Kota Blora)





Bulan suci Ramadan seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk meningkatkan ketakwaan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Namun, realitas di negeri ini justru sebaliknya. Pengaturan jam operasi tempat hiburan selama Ramadan yang hanya dibatasi, bukan ditutup sepenuhnya, menunjukkan kebijakan yang tidak benar-benar memberantas kemaksiatan. Bahkan, di beberapa daerah, tempat hiburan tetap beroperasi tanpa pembatasan. Fenomena ini mencerminkan bagaimana sistem kapitalisme sekuler mengatur kehidupan, termasuk aspek hiburan dan pariwisata.


Sekularisme: Pemisahan Agama dari Kehidupan


Salah satu ciri utama sistem sekuler adalah pemisahan aturan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, hukum yang diterapkan lebih mengutamakan asas manfaat daripada ketaatan kepada syariat Islam. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi daripada pertimbangan moral dan agama.


Allah SWT telah memperingatkan dalam Al-Qur'an bahwa aturan yang tidak bersumber dari-Nya hanya akan membawa kerusakan:


"Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Maidah: 45)


Fakta bahwa tempat hiburan masih beroperasi selama Ramadan, meskipun dengan pembatasan jam, menunjukkan pemerintah tidak benar-benar serius mencegah kemaksiatan. Selama masih ada keuntungan ekonomi yang bisa didapatkan, aturan syariat terabaikan. Padahal, Islam menegaskan bahwa segala bentuk kemaksiatan harus diberantas, bukan sekadar dikurangi atau dibatasi.


Kegagalan Sistem Pendidikan Sekuler


Selain kebijakan yang berbasis manfaat, keberlanjutan tempat-tempat maksiat ini juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan sekuler. Pendidikan dalam sistem ini tidak berorientasi pada pembentukan individu yang bertakwa, melainkan hanya berfokus pada aspek akademik dan keterampilan duniawi. Akibatnya, banyak individu yang tidak memiliki kesadaran untuk menjauhi kemaksiatan, bahkan di bulan yang mulia seperti Ramadan.


Sistem pendidikan Islam seharusnya tidak hanya mencetak individu yang cerdas, tetapi juga yang memiliki kesadaran menjalankan syariat dalam setiap aspek kehidupan. Dengan pendidikan berbasis akidah Islam, masyarakat akan memahami bahwa maksiat bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi juga pelanggaran syariat yang memiliki konsekuensi di dunia dan akhirat.


Solusi Hakiki: Penerapan Syariat Islam Secara Kaffah dalam Naungan Khilafah


Islam telah menetapkan bahwa segala bentuk kemaksiatan harus diberantas secara tuntas, bukan hanya dikurangi atau dibatasi. Dalam sistem Islam, pengaturan semua aspek kehidupan, termasuk hiburan dan pariwisata, berlandaskan akidah Islam, bukan asas manfaat.


1. Penghapusan Tempat Hiburan Maksiat


   Dalam Islam, segala bentuk tempat hiburan yang menjerumuskan pada kemaksiatan akan dilarang secara mutlak. Tidak ada ruang bagi praktik yang bertentangan dengan syariat untuk tetap eksis dalam masyarakat Islam. Allah SWT berfirman:


   "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32)


2. Penerapan Sanksi yang Menjerakan


   Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan terhadap segala bentuk pelanggaran hukum syarak. Hukuman dalam Islam bukan sekadar hukuman fisik, tetapi juga memiliki dimensi edukatif dan preventif agar masyarakat takut melakukan kemaksiatan. Rasulullah ﷺ bersabda:


   "Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah apabila ada orang terpandang yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi jika ada orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)


3. Sistem Pendidikan Islam yang Membangun Ketakwaan


   Pendidikan Islam berperan dalam mencetak individu yang memahami syariat dan menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan. Dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, individu akan tumbuh dengan kesadaran menjauhi segala bentuk kemaksiatan, baik dalam memilih hiburan maupun dalam membuka usaha.


4. Negara sebagai Pelindung Aqidah dan Moral Umat


   Dalam Islam, negara memiliki peran sentral dalam menjaga moral dan akidah umat. Pemerintah yang menerapkan syariat Islam tidak akan membiarkan kemaksiatan tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, terlebih di bulan Ramadan. Rasulullah ﷺ bersabda:


   *"Imam (pemimpin) adalah laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya."* (HR. Bukhari dan Muslim)


Kesimpulan


Fenomena tetap beroperasinya tempat hiburan selama Ramadan menunjukkan wajah asli sistem kapitalisme sekuler yang tidak memiliki komitmen terhadap penerapan syariat Islam.





Jumat, 07 Maret 2025

Penulis: Sendy Novita, S.Pd., M.M.

(Praktisi Pendidik)





Kabar duka datang menjelang Ramadan. Beberapa perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan, menyebabkan ribuan buruh terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Salah satunya adalah PT Sanken Indonesia. Setelah hampir tiga dekade berkecimpung di dunia industri elektronik, perusahaan ini resmi ditutup per Juni 2025, sebagaimana disampaikan melalui *online single submission* (Tempo, 24/2/2025). Berikutnya, Toyota, Isuzu, Hino, dan Mitsubishi—pabrikan otomotif yang memproduksi truk dan *dump truck* dengan pabrik dan karyawan dalam jumlah besar di Indonesia—terdampak membanjirnya impor mobil truk dan *dump truck* dari Tiongkok. Yang tak kalah mengejutkan, perusahaan tekstil Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang bermula dari kios kecil di Indonesia, berada di ujung tanduk setelah Mahkamah Agung menolak kasasinya pekan lalu. Didirikan 58 tahun lalu, Sritex merupakan pemain utama dalam industri tekstil Indonesia, memasok seragam militer ke negara-negara NATO dan mempekerjakan banyak tenaga kerja di Jawa Tengah. Namun, hingga September 2024, Sritex tercatat memiliki *outstanding* kredit sebesar Rp14,64 triliun, terdiri dari Rp14,42 triliun utang ke 27 bank dan Rp220 miliar utang ke perusahaan pembiayaan (Kompas.com, 26/12/2024). PT Sritex, yang dianggap paling kuat menghadapi PHK, nyatanya juga melakukan PHK massal. Tentu saja, ini dampak sosial dari kebijakan pemerintah yang memudahkan produk Tiongkok masuk ke Indonesia melalui ACFTA maupun UU Cipta Kerja.


Banyaknya PHK massal merupakan akibat penerapan sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasi ekonomi. Negara berwatak populis otoriter ini menjalankan peran hanya sebagai regulator untuk memenuhi kepentingan oligarki. Bahkan, Sritex dijanjikan selamat jika pada pemilu memilih calon tertentu. Nyatanya, PHK massal tetap tak terhindarkan.


Selain di sektor swasta, PHK juga mengancam pekerja di instansi pemerintah. Efisiensi anggaran berimbas pada karyawan, terutama tenaga lepas. Mereka akan digaji sesuai durasi waktu kerja atau proyek. Seleksi ulang berdasarkan kompetensi dan kinerja juga dilakukan, membuat banyak pekerja khawatir kehilangan pekerjaan.


Akibat pemangkasan anggaran, beberapa kementerian dan lembaga kesulitan membayar gaji dan tunjangan karyawan. Kondisi ini menurunkan motivasi kerja dan memengaruhi kualitas pelayanan.


Melihat banyaknya PHK, Presiden Prabowo Subianto membuat kebijakan pemberian 60% gaji selama enam bulan bagi karyawan yang di-PHK. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pasal 21 Ayat (1) PP tersebut menjelaskan pekerja yang terkena PHK dan terdaftar dalam Program JKP dapat menerima manfaat uang tunai setiap bulan sebesar 60% dari upah selama maksimal enam bulan.


Namun, regulasi ini bersifat sementara (enam bulan) dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Padahal, kebutuhan hidup terus ada. Mencari pekerjaan setelah PHK juga sulit, terutama bagi pekerja berusia lanjut.


Buruh Menjadi Korban


Gelombang PHK menunjukkan buruknya dampak investasi di negara kita dan lemahnya kondisi buruh dalam sistem kapitalisme. Buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi, seperti bahan baku dan mesin. Buruh bukan mitra kerja dan selalu dipandang sebelah mata, menjadi objek yang dikorbankan saat perusahaan menghentikan produksi, baik karena pailit atau relokasi.


Bahkan tanpa PHK, buruh selalu berada di bawah, dengan upah minim, tanpa jaminan kesejahteraan, dan banyak haknya yang hilang, termasuk kebijakan *outsourcing* yang zalim. Berbagai aksi demonstrasi tak mampu membawa perubahan signifikan. Pemilik modal abai, dan pemerintah seolah pasrah. Serikat buruh pun tak mampu menyuarakan keinginan buruh dan melawan korporasi yang dimudahkan penguasa. Saat ini, ribuan buruh mengalami PHK massal tanpa adanya pihak yang bertanggung jawab atas nasib mereka.


Buruh sejahtera hanya dengan Islam?


Islam dan kapitalisme tentu berbeda dalam memposisikan buruh. Ada hubungan antara buruh, pemberi kerja atau pengusaha, dan penguasa atau pemerintah. Jika kapitalisme mengeksploitasi buruh, maka Islam menganggap buruh sebagai mitra bagi pengusaha. Keduanya harus saling tolong-menolong dalam mewujudkan kelangsungan kehidupan.


Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyampaikan dalam buku *Sistem Ekonomi dalam Islam (Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam)*, “Ijarah (pengupahan) pada dasarnya adalah upaya seorang majikan (musta’jir) mengambil manfaat (jasa) dari seorang pekerja (ajir) dan upaya seorang pekerja untuk mengambil harta (upah) dari majikan. Artinya, ijarah adalah akad (transaksi) jasa dengan adanya suatu kompensasi.”


Menilik kalimat tersebut, hubungan buruh dan pengusaha adalah hubungan yang terikat dalam kondisi kebaikan. Buruh memberi jasa dan pengusaha membayar upahnya; esensinya, tidak ada kedzaliman di antaranya.


Yang tak kalah penting adalah negara sebagai pengurus urusan umat. Sehingga wajib memenuhi kebutuhan pokok buruh atau pekerja berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, juga keamanan. Dengan demikian, tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat ada di tangan negara, bukan pengusaha. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin.” (HR. Al-Bukhari).


Pengusaha tidak berkewajiban menjamin kebutuhan pokok karyawannya. Kewajiban pengusaha adalah memberikan upah kepada buruh secara layak, sesuai kesepakatan keduanya. Pengusaha wajib menjelaskan segala sesuatu tentang pekerjaan, yaitu deskripsi tugas, upah, jam kerja kepada buruh sehingga terwujud keadilan, tidak ada kezaliman. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR. Ad-Daruquthni).


Dalam Islam, negara mempunyai peran penting untuk mewujudkan iklim investasi yang kondusif sehingga industri bisa tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kebangkrutan, dengan menghilangkan pungutan-pungutan seperti pajak, retribusi, dan pungli yang bisa membebani pengusaha sehingga menghambat pertumbuhan industri.


Jika ada perusahaan yang bangkrut, negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyat yang menjadi korban PHK. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta tersebut menjadi hak keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau keluarga (yang wajib diberi nafkah), maka itu urusanku dan kewajibanku (penguasa).” (HR. Muslim).


Selain itu, negara harus mampu mengelola sumber daya alam (SDA), bukan menyerahkannya pada swasta, asing maupun asing (perbaikan redaksi: mungkin maksudnya "asing" saja?), sehingga mampu melakukan industrialisasi. Hal ini akan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat. Dengan demikian, tidak ada rakyat yang hidup kekurangan karena tidak punya atau kehilangan pekerjaan. Semua rakyat akan memiliki pekerjaan dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya berupa sandang, pangan, dan papan. Sedangkan kebutuhan pokok berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan oleh negara secara gratis.


Dengan pengaturan berdasarkan syariat Islam kaffah, rakyat (termasuk buruh) akan merasakan kesejahteraan yang sebenarnya. Wallahu a'lam bisshawab.





Penulis: Anizah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)





Ramadan, semua orang menyambut dengan gembira. Namun, tidak  para buruh di Indonesia. Ramadan tahun ini justru mereka diterpa duka karena dihantam gelombang PHK.


Dikutip dari tempo.co pada 1/3/2025, sejumlah perusahaan di Indonesia melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PT Yamaha Musik Indonesia melakukan PHK terhadap 1.100 karyawan di dua pabrik di Bekasi dan Pulo Gadung, Jakarta. Alasan PHK terkait relokasi produksi alat musik ke Jepang dan Tiongkok (China). Sedangkan PT Sritex melakukan PHK terhadap 10.665 karyawan. Slamet Kuswanto, selaku Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, telah mengkonfirmasi jumlah total karyawan yang terdampak PHK. Jumlah karyawan yang terkena PHK berasal dari empat perusahaan, yaitu PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Panjang Jaya Semarang, dan PT Primayanda Boyolali. Keempat perusahaan yang berada di bawah naungan Sritex Group ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang karena gagal membayar utang kepada kreditor.


Bukan hanya para buruh, tetapi juga karyawan berstatus tenaga lepas terdampak gelombang PHK. Ini disebabkan oleh kebijakan efisiensi anggaran. Mereka akan digaji sesuai durasi waktu kerja atau proyek yang diikuti, bahkan ada yang terancam kehilangan pekerjaan karena pos anggaran yang dipangkas.


Efisiensi anggaran juga menyebabkan beberapa kementerian dan lembaga mengalami kesulitan dalam membayar gaji dan tunjangan karyawan. Kondisi ini dapat menurunkan motivasi kerja karyawan dan memengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan.


Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kebijakan PHK besar-besaran ini bukan hanya merugikan individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga berisiko menghancurkan kehidupan keluarga mereka. Anak-anak dari para karyawan yang dipecat kini kehilangan biaya sekolah, sementara masyarakat juga harus menghadapi berkurangnya pelayanan publik yang selama ini mereka andalkan. Achmad menekankan bahwa prinsip efisiensi tidak boleh digunakan untuk menindas orang-orang lemah dan menguntungkan kalangan elit. Jika pemerintah ingin benar-benar serius melakukan efisiensi, seharusnya langkah pertama yang diambil adalah menghapus pos-pos pemborosan yang ada di kalangan pejabat tinggi, bukan dengan menyingkirkan pekerja keras yang sudah lama mengabdi kepada negara.



Akibat Kapitalisme


Dengan banyaknya PHK, Presiden Prabowo meneken regulasi baru, yaitu memberikan uang tunai kepada korban PHK sebesar 60 persen dari gaji bulanan mereka selama 6 bulan. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Namun, setiap kebijakan dan solusi yang dibuat oleh pemerintah dalam sistem kapitalisme ini tidak mampu mengatasi masalah sampai ke akarnya. Solusi yang ditawarkan hanya bersifat sementara. Kebutuhan hidup harus terus dipenuhi, bukan hanya selama 6 bulan saja. Apalagi, mencari pekerjaan baru setelah di-PHK tidaklah mudah.


Di sisi lain, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme, harga barang dan jasa setiap tahunnya mengalami kenaikan, dan di momen Ramadan menjelang Idulfitri, harga-harga pasti akan meroket. Ditambah lagi dengan perputaran ekonomi yang melambat, para pelaku usaha kecil akan sepi karena daya beli masyarakat berkurang akibat PHK.


Dalam kapitalisme, buruh dipandang hanya sebagai faktor produksi seperti mesin, bahan baku, dan alat produksi lainnya. Mereka tidak dianggap sebagai mitra kerja pengusaha, tidak ada perlindungan yang menjamin kesejahteraan mereka, baik dari pengusaha maupun negara. Negara dalam sistem kapitalisme juga tidak bertindak sebagai pengurus rakyat yang mampu melindungi dan memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, melainkan hanya sebagai regulator. Alhasil, untuk bertahan hidup, buruh harus membela diri sendiri dengan membuat serikat buruh. Namun, pada kenyataannya, serikat buruh pun tak mampu melawan kezaliman korporasi. Sejatinya, negaralah yang mampu memaksa korporasi menunaikan hak-hak buruh. Namun, kenyataannya, negara justru berada di pihak korporasi. Demikianlah, selama negara menetapkan sistem kapitalisme, kesejahteraan para buruh tidak akan pernah terwujud.



Islam: Solusi Tepat Mensejahterakan Buruh


Dalam pandangan Islam, buruh adalah mitra pengusaha. Keduanya saling bekerja sama dan tolong-menolong dalam kebaikan; buruh memberi jasa dan pengusaha memberi upah yang layak. Begitu pula hubungan antara buruh dengan negara. Negara sebagai pengurus rakyat akan memperlakukan rakyatnya dengan baik, yaitu memenuhi kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis. Jadi, negara bertanggung jawab penuh kepada rakyatnya, bukan dialihkan pengurusannya kepada pengusahaKarena pengusaha hanya berkewajiban memberikan upah yang layak, sesuai kesepakatan kedua belah pihak.


Negara Islam juga kelak akan mewujudkan iklim investasi yang kondusif, sehingga industri tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kebangkrutan. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan, negara akan menyediakan lapangan kerja alternatif.


Untuk pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam), negara akan mengelolanya sendiri dan hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan menyerahkannya kepada pihak swasta dan asing. Negara Islam juga akan memberikan modal dan bimbingan bagi rakyatnya yang ingin berbisnis hingga berhasil, serta menyediakan lahan dan alat produksi bagi rakyat yang ingin bertani. Dengan demikian, rakyat termasuk buruh akan merasakan kesejahteraan. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, masyarakat akan hidup tenang dan tentram.

Wallahualam bissawab. 


Penulis: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)





"Gelap,

Gelap terasa hidup ini,

Seakan mendung

Sepanjang masa."


Kehidupan saat ini seakan-akan tak memberikan harapan menuju kebaikan. Berbagai kebijakan pemerintah nyatanya bukanlah solusi bagi rakyat. Hampir di semua aspek politik, hukum, keadilan, sosial, dan ekonomi—masalah terus bermunculan. Maka, benar adanya bahwa penggalan lagu yang dinyanyikan almarhum Ustaz Hari Mukti telah menggambarkan kondisi negeri ini yang berada dalam kegelapan.


Setelah tagar #KaburAjaDulu tren di media sosial, kini #IndonesiaGelap juga menjadi tren, terutama di aplikasi X. Tidak hanya di media sosial, tetapi aksi besar-besaran juga terjadi di berbagai kota besar.


Di Jakarta, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas memadati kawasan Patung Kuda. Di antaranya mahasiswa dari Universitas Nasional, Politeknik Negeri Jakarta, Sekolah Tinggi Teknologi Terpadu Nurul Fikri, Universitas Bung Karno, dan lainnya. Mereka bergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEMSI) untuk melakukan protes terhadap pemerintah.


Aksi mahasiswa ini berlangsung dari 17 hingga 21 Februari 2025 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak rakyat dan berpotensi menyengsarakan masyarakat serta mengancam generasi muda di masa depan. Aksi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota besar seperti Serang, Makassar, Palembang, Medan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan lainnya. (beritasatu.com, 17-2-2025)


Mereka mengajukan 11 tuntutan, di antaranya terkait Proyek Strategis Nasional (PSN), Undang-Undang Minerba, program makan bergizi gratis, serta pendidikan gratis.


Jika melihat kondisi rakyat saat ini, keadaannya sangat memprihatinkan. Kemiskinan merajalela, pengangguran terjadi di mana-mana, dan harga kebutuhan pokok terus melonjak. Berbagai aksi telah dilakukan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa, guru, hingga petani. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tetap tidak berpihak kepada mereka. Bahkan hingga kini, rakyat masih mengalami perampasan tanah atau tempat tinggal, padahal mereka memiliki sertifikat resmi.


Banyak aksi protes terjadi di negeri ini, dengan ribuan massa turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan mereka. Namun, sering kali aksi-aksi ini hanya berfokus pada pergantian pemimpin atau penolakan terhadap undang-undang tertentu. Sayangnya, hal ini tidak menyentuh akar permasalahan sebenarnya, yaitu perlunya perubahan sistem secara menyeluruh.


Jika yang diubah adalah undang-undang, bukankah undang-undang tersebut telah berulang kali direvisi? Dan jika yang rusak presidennya, bukankah negeri ini telah delapan kali berganti presiden?


Sistem pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kebijakan hukum yang diterapkan. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga keputusan hukum sering kali didasarkan pada kehendak mayoritas, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai syariat Islam secara mutlak. Akibatnya, hukum yang ditetapkan bisa berubah-ubah sesuai kepentingan materi atau manfaat ekonomi, bukan berdasarkan prinsip halal dan haram.


Demokrasi juga telah membohongi rakyat. Ketika kampanye, mereka menawarkan kesejahteraan, tetapi ketika berkuasa, mereka lupa dengan janji tersebut. Bahkan, mereka bermusyawarah membuat undang-undang bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk kepentingan korporasi. Contohnya adalah undang-undang tentang kenaikan harga BBM, Undang-Undang Migas, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Pendidikan, dan lainnya.


Dalam Islam, manusia adalah hamba. Meskipun ia memiliki akal yang jenius, tugasnya bukan untuk membuat hukum, melainkan untuk beribadah kepada Allah Swt.


Hal ini tidak akan dijumpai jika Islam diterapkan dalam konstitusi negara. Dalam Islam, kedaulatan berada pada hukum syara', yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas sebagai sumber hukum umat Muslim. Sebagaimana firman Allah Swt.:


"Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Q.S An-Nisa [4]:65)


Dalam Islam, pembuatan hukum tidak didasarkan pada suara mayoritas. Meskipun Islam mengakui musyawarah, penerapannya bukan untuk menentukan hukum syariat, melainkan untuk hal-hal seperti pembangunan infrastruktur, strategi perang, atau urusan duniawi lainnya yang tidak terkait dengan ketetapan hukum Allah Swt.


Kendati demikian, untuk mewujudkan penguasa sebagai pelayan umat, perubahan undang-undang saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistem dari demokrasi menuju sistem Islam kaffah dalam bingkai Daulah Islamiyah.


Wallahu a'lam bisshawab.

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts