Penulis: Rati Suharjo
(Pegiat Literasi)
Nuzulul Quran adalah peristiwa turunnya Al-Quran yang kerap diperingati setiap tahun, bertepatan dengan bulan Ramadan.
Nuzulul Quran adalah peristiwa turunnya Al-Quran yang seringkali diperingati pada 17 Ramadan. Al-Quran ini adalah salah satu mukjizat yang diberikan Allah Swt kepada Junjungan Nabi Agung kita Muhammad saw..
Banyak tema yang diangkat umat Islam ketika memperingati hari besar tersebut. Seperti tahun ini, 16 Ramadan 1444 H di Sulawesi Selatan, Kementerian Agama Republik Indonesia memperingati Nuzulul Quran dengan program bertajuk "Indonesia Khatam Al-Quran" yang digelar dengan 350 ribu khataman Al-Quran. Program ini diharapkan mampu menguatkan semangat keislaman dan kebangsaan serta mengajak umat Muslim untuk mencintai, memahami, dan meneladani Al-Quran. (metrotv.com, 16/3/2025)
Begitu pula Peringatan Nuzulul Quran yang diselenggarakan di Masjid Agung Nurul Faizin di Cibinong, Bogor pada Minggu, 14 Maret 2025. Acara yang diselenggarakan oleh Bapak Bupati Bogor ini mengusung tema "Peran Al-Quran dalam Membangun Masyarakat Berakhlak Mulia". (kabarindonesia.com, 16/3/2025)
Sungguh acara yang diusung pemerintah ini luar biasa. Dengan acara seperti di atas, maka otomatis akan menggerakkan hati rakyat untuk kembali mencintai Al-Quran dengan membaca, memahami, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apalagi melihat situasi masyarakat saat ini yang jauh dari Al-Quran. Hampir setiap hari, bahkan setiap detik, berita-berita tentang pergaulan bebas, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan kejahatan lainnya semakin terlihat jelas. Baik itu dilakukan oleh orang biasa, pelajar, mahasiswa, hingga anggota parlemen.
Perilaku semacam ini akibat jauhnya masyarakat dari aturan Islam. Islam hanya dijalankan sebatas ibadah mahdah (ibadah yang mengatur hubungan dengan Tuhan), tetapi dalam segala aspek kehidupan lainnya, mereka bebas melakukan apa saja.
Banyak kita jumpai orang jujur, dermawan, rendah hati, dan sopan santun di negeri ini, tetapi di balik semua itu, mereka melakukan maksiat, berhubungan dengan riba, berkhalwat, tidak menutup aurat, korupsi, dan lainnya.
Hal ini membuktikan bahwa akal mereka tidak digunakan untuk tunduk kepada Allah Swt. melainkan digunakan untuk membuat aturan dengan syarat tidak mengganggu kebebasan orang lain.
Akal manusia itu lemah, semakin tua semakin berkurang daya pikirnya dan tidak mampu menjangkau kejadian-kejadian yang akan datang. Dengan keterbatasan itu, berarti akal manusia adalah makhluk. Sama halnya dengan anggota tubuh yang lain seperti tangan, kepala, kaki, dan makhluk lainnya yaitu alam semesta dan hewan.
Mengakui sebagai makhluk, berarti ada yang menciptakannya, yaitu Allah Swt.. Allah Swt. yang bersifat azali, tidak berawal dan tidak berakhir. Dia menciptakan, bukan diciptakan. Selain sebagai Sang Pencipta, Dia juga sebagai Sang Pengatur.
Oleh karena itu, manusia yang diciptakan oleh Allah Swt. juga diberi petunjuk berupa Al-Quran, As-Sunnah, ijma', dan qiyas. Dengan begitu, manusia memiliki tolok ukur dalam memutuskan suatu perbuatan, yaitu halal-haram, mubah, makruh, dan sunah.
Sayangnya, saat ini yang berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah Swt. tersebut hanya individu-individu semata. Dan jika individu-individu tersebut menyerukan di masyarakat untuk mengembalikan syariat Islam, justru dianggap radikal.
Padahal, jelas hukum syariat Islam ini tidak akan sempurna jika tidak ada negara yang menerapkannya. Seperti pendidikan, kebudayaan, sosial, politik, dan berbagai aspek lainnya tidak bisa dilakukan secara individual.
Sebagai contoh, pezina, pembunuh, koruptor. Hal ini tidak bisa masyarakat yang memberikan sanksi kepada terdakwa. Pezina hukumnya rajam atau cambuk, pembunuh hukumnya qisas, koruptor hukumnya potong tangan, dan begitu pula pelaku LGBT dengan hukuman mati.
Namun, siapakah yang memberikan hukuman tersebut? Kalau bukan negara yang menerapkan hukum Islam.
Inilah suatu bentuk konsekuensi umat Islam terhadap keimanan pada Al-Quran. Yaitu dengan membaca, meyakini, memahami, mengamalkan, dan memperjuangkannya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Swt:
"Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (Q.S Al-Isra' [17]: 9).
Dalam demokrasi, akal dijunjung tinggi untuk memutuskan hukum, sehingga menjadikan kedaulatan di tangan manusia. Padahal manusia adalah makhluk yang lemah sehingga berpotensi adanya pertentangan dan munculnya berbagai masalah.
Dalam negara yang menerapkan demokrasi, hukum dibuat berdasarkan musyawarah yang diambil di legislatif dengan cara voting. Hal inilah yang bertentangan dengan Islam, karena manusia cenderung dalam memutuskan perkara dengan mengedepankan perasaan. Makanya, wajar jika kriminalitas dan kejahatan lainnya di negeri yang menerapkan demokrasi semakin meningkat.
Kendati demikian, mengubah negara ini menjadi lebih baik tidak hanya cukup dengan membaca, meyakini, dan mengamalkan Al-Qur'an secara pribadi, meskipun membaca dan menghafalnya dapat membentuk akhlak mulia.
Akan tetapi, untuk membentuk masyarakat yang baik dalam sebuah negara, perlu kembali menerapkan syariat Islam dalam konstitusi negara. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. dalam mendirikan negara di Madinah al-Munawarah.
Wallahualam bisshawab.