SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Selasa, 28 Januari 2025

Penulis: Dewi Jafar Sidik

(Penulis dan Aktivis Dakwah)





Data terbaru menunjukkan bahwa angka kehamilan di luar nikah makin mengkhawatirkan. Fenomena ini merupakan salah satu dampak buruk dari liberalisasi pergaulan yang makin marak di masyarakat. Liberalisasi pergaulan ini tidak terlepas dari penerapan sistem sekularisme dalam kehidupan.  


Angka dispensasi nikah dini sangat memprihatinkan. Di Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Sleman, sepanjang tahun 2024, dilaporkan adanya 98 kasus permohonan dispensasi nikah yang dilakukan remaja. Penyebab terbanyak dari pengajuan dispensasi nikah adalah karena hamil di luar nikah. (Kompas.com, 10-1-2025)


Inilah salah satu fakta dari sekian kasus yang terjadi. Demikian, tampak bahwa liberalisasi pergaulan bebas makin meresahkan. Liberalisasi pergaulan menyasar berbagai kalangan, mulai dari orang dewasa, pelajar, hingga anak-anak, yang rentan terpapar seks bebas.


Efek Pergaulan Bebas


Apabila dicermati lebih dalam, liberalisasi pergaulan lahir dari penerapan sekularisme dalam kehidupan. Sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan menjadikan generasi hidup atas kehendaknya sendiri. Aturan agama dicampakkan dan tidak dijadikan pedoman dalam kehidupannya.


Sistem ini juga menganggap bahwa kebebasan adalah hak setiap individu, termasuk kebebasan berekspresi yang sering kali melahirkan perilaku yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Seperti gaya hidup bebas, hedonis, dan permisif. Akibatnya, generasi muda semakin jauh dari hakikat dan tujuan penciptaannya oleh Sang Pencipta.


Liberalisasi pergaulan sangatlah berbahaya bagi kehidupan, karena akan berpotensi pada tingginya permohonan dispensasi nikah karena kehamilan yang tidak diinginkan, perzinaan dan perselingkuhan. Sementara itu, perzinaan dan perselingkuhan akan memicu pertengkaran, yang tidak sedikit berakhir dengan KDRT, perceraian, bahkan pembunuhan.


Di sisi lain, liberalisasi pergaulan juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental, seperti patah hati karena putus cinta, depresi karena kehamilan di luar nikah, frustasi karena putus sekolah, merasa tertekan karena belum siap menikah dan memiliki anak, tidak direstui orang tua, bahkan sampai bunuh diri.


Bahaya Pemikiran Pergaulan Bebas


Paham sekularisme telah lama memasuki pemikiran umat Islam. Akibatnya, atas nama hak asasi dan kebebasan berperilaku pergaulan bebas dianggap biasa. Nilai agama makin jauh dari kehidupan. Halal dan haram, tidak lagi menjadi tolok ukur perbuatan, misal adanya normalisasi maksiat dengan memaklumi aktivitas pacaran.


Alih-alih mewujudkan generasi emas, negara dengan penerapan sistem kapitalis sekuler justru melahirkan peraturan yang melemahkan moral generasi. Negara hari ini seolah memfasilitasi liberalisasi pergaulan, dengan adanya aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan pendidikan kespro yang berasaskan pada peradaban Barat.


Hal ini sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam pandangan Islam, pergaulan bebas sangat tidak dianjurkan. Pergaulan antara pria dan wanita diatur dan memiliki tata caranya. Apalagi jika pergaulan bebas berujung pada perbuatan zina, yang dalam Islam termasuk dosa dan haram dilakukan.


Keharaman zina ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya dalam surat Al-Isra [17]: 32


وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا


Artinya: "Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk."


Perzinaan bukan saja haram, tetapi juga akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan umat. Di antaranya, akan merusak hukum waris, nasab, serta mendorong perbuatan aborsi dan pembuangan bayi. Zina juga akan menjadi sarana penyebaran berbagai penyakit kelamin serta akan menghancurkan keharmonisan keluarga.


Solusi Islam


Dengan demikian, sangat tepat jika Islam mengharamkan perzinaan. Bahkan, Islam memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghilangkan pergaulan bebas di tengah masyarakat, di antaranya:


Pertama, sistem Islam akan mengatur kehidupan antara pria dan wanita. Pada dasarnya, kehidupan mereka terpisah, kecuali ada keperluan yang diperbolehkan syariat. Islam melarang campur baur dalam pergaulan, kewajiban menundukkan pandangan, larangan khalwat, dan perbuatan lain yang dilarang syariat.


Kedua, Islam akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Peserta didik akan dididik dengan ajaran Islam yang akan menguatkan akidah dan keimanannya. Hal ini akan menjadikan mereka individu yang takwa dan memahami bahwa pergaulan bebas adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. Keluarga dan masyarakat akan berperan menjaga dan memberikan nasihat ketika ada individu yang melakukan maksiat. Dengan demikian, terbentuklah kehidupan yang penuh dengan ketaatan kepada Allah Swt.


Ketiga, negara dalam sistem Islam akan menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan. Berupa hukum cambuk 100 kali bagi pezina yang belum menikah serta pengasingan selama satu tahun, dan rajam sampai mati bagi pezina yang sudah menikah. Dengan diberlakukan sanksi tersebut, siapa pun akan berpikir ulang untuk melakukan perbuatan zina.

 

Keempat, negara dalam Islam akan menutup celah apapun yang dapat memicu terjadinya pergaulan bebas, seperti pornoaksi dan pornografi. Negara juga akan mengatur dan menyaring konten mana yang boleh tayang ataupun tidak. Konten-konten yang tidak bermanfaat dan tidak mendidik akan dihapus dan diberantas. 


Demikianlah mekanisme Islam untuk menghentikan pergaulan bebas di tengah masyarakat. Namun mekanisme ini tidak akan bisa dijalankan secara sempurna apabila negara masih mengadopsi sistem kapitalis sekuler. Hanya dengan negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, mekanisme tersebut bisa dijalankan dengan sempurna.


Karena itu, marilah kita berjuang bersama-sama demi menerapkan aturan Islam agar Islam dapat hadir sebagai solusi permasalahan hidup manusia. 

Wallahualam bissawab.


Editor: Devy Rikasari


Penulis: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)





Pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi setiap individu, bahkan pendidikan termasuk kebutuhan primer. Tanpa pendidikan yang memadai, seseorang akan kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak, menghadapi ketertinggalan dalam pengetahuan sains dan teknologi, serta mengalami rendahnya rasa percaya diri. Sayangnya, saat ini pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk diskriminasi yang muncul akibat faktor ekonomi, sosial, etnis, agama, hingga warna kulit. 


Meskipun pendidikan itu penting, saat ini kondisi pendidikan sedang tidak baik-baik saja. Diskriminasi pendidikan sering terjadi. Banyak faktor yang menyebabkan diskriminasi dalam pendidikan, di antaranya ekonomi, sosial, etnis, agama, warna kulit, dan lainnya.


Seperti berita beberapa hari lalu yang viral di media sosial, yaitu sebuah sekolah yayasan di Kota Medan, Sumatera Utara, terdapat anak yang dihukum duduk di lantai akibat menunggak tiga bulan dalam membayar SPP.


Perilaku seorang guru yang tidak etis terhadap muridnya tersebut mendapatkan komentar dari Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian bahwa tindakannya akan menghilangkan kepercayaan diri siswa. Selain itu, diskriminasi pendidikan juga mengancam perkembangan pribadi siswa. Mereka akan merasa malu, stres, depresi, hingga menyebabkan putus sekolah.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2023/2024, angka anak putus sekolah di negeri ini mengalami peningkatan. Selain faktor diskriminasi, penyebab lainnya adalah kemiskinan, kurang perhatian orang tua, kemalasan belajar, dan lingkungan pertemanan yang kurang baik.


Realitas semacam ini harus segera diatasi karena akan menambah angka kemiskinan dan meningkatkan perilaku kriminalitas yang disebabkan pengangguran. Selain itu, anak putus sekolah akan menghambat kemajuan bangsa karena generasi muda adalah pewaris atau estafet negeri menuju cita-cita bangsa. Kualitas generasi yang baik akan menjadi modal dasar untuk bersaing dengan negara lain.


Sayangnya, dalam negara yang menerapkan demokrasi, pendidikan tidak lagi menjadi kebutuhan primer. Hal ini terbukti dari negara yang tidak hadir dalam mendukung pendidikan generasi, yaitu biaya pendidikan yang tidak gratis. Mirisnya, negara justru menyerahkan pendidikan kepada korporasi. Padahal, jelas tolak ukur korporasi adalah manfaat yang tujuannya hanya mencari keuntungan semata, bukan membentuk pola pikir dan pola sikap generasi.


Kendati demikian, kasus dihukumnya siswa yang belajar duduk di lantai tersebut tidak akan terjadi jika pendidikan dapat diakses secara gratis oleh semua siswa.


Fakta tersebut akan terwujud jika negara menerapkan Islam. Dalam Islam, pendidikan adalah tanggung jawab negara, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, "Pemimpin adalah pelayan umat."


Pelayanan pendidikan ini akan dirasakan oleh semua rakyat, baik muslim maupun non-muslim. Negara akan memberikan sarana dan prasarana demi mewujudkan generasi unggul, baik dalam agama, sains, maupun teknologi.


Tujuannya adalah membangun kepribadian Islami, yaitu pola pikir (akliah) dan jiwa (nafsiah) bagi anak-anak umat. Hal ini karena akidah Islam adalah asas kehidupan setiap orang.


Selain itu, mempersiapkan anak-anak kaum muslim agar di antara mereka menjadi para ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, atau peradilan) maupun berbagai bidang sains (teknik, kimia, fisika, atau kedokteran).


Tentunya, pendidikan gratis ini sangat mudah diraih oleh negara. Dengan menerapkan ekonomi Islam, otomatis segala sumber daya alam, baik di laut maupun di darat, dikuasai oleh negara. Negara akan mengelola sumber daya alam tersebut dengan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, dan hasil dari pengelolaan itu akan dikembalikan kepada rakyat. Sesuai dengan hadis Rasulullah saw., "Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yakni api, air, dan rumput." (H.R. Abu Daud dan Ahmad)


Seperti contoh tambang emas di Freeport, yaitu PT Freeport Indonesia (PTFI), yang memiliki cadangan emas dan tembaga yang melimpah di bawah tanah. Untuk tembaga, diperkirakan masih 29 miliar pound dan 24 juta ons emas hingga tahun 2041. (cnbcindonesia.com, 12/12/2024)


Itu baru penghitungan tambang emas di Freeport, sementara kekayaan alam di negeri ini masih banyak, seperti nikel, batu bara, minyak bumi, air, hutan, dan lainnya.


Selain dari sumber daya alam, negara juga akan mendapatkan pemasukan dana dari usyur, jizyah, ghanimah, fai, dan lainnya.


Namun, hanya dalam Islamlah pendidikan akan dirasakan benar-benar gratis.

Wallahualam bissawab.


Senin, 27 Januari 2025

Penulis: Iin S, SP

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)





Di tengah arus modernisasi yang kian deras, moralitas generasi muda kian terkikis. Data menunjukkan kenaikan signifikan kasus pergaulan bebas, kehamilan di luar nikah, hingga penyebaran penyakit menular seksual di kalangan remaja. Di Blora, misalnya, lebih dari 10 persen pengajuan dispensasi nikah pada 2023 disebabkan oleh kehamilan pranikah. Tak hanya itu, menjamurnya konten pornografi yang gampang diakses turut memperparah keadaan, membentuk budaya permisif yang kian jauh dari nilai-nilai agama.


Ironisnya, meski berbagai regulasi telah diterapkan, seperti undang-undang pernikahan dini dan program edukasi kesehatan reproduksi, hasilnya malah memperburuk keadaan. Generasi muda seolah dibiarkan terjebak dalam lingkaran sekularisme dan liberalisme yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari.


Di tengah kegelapan ini, Islam hadir sebagai solusi yang menawarkan cahaya terang. Dengan aturan yang komprehensif, Islam mampu menjaga kehormatan, moralitas, dan kesucian generasi muda dari gempuran gaya hidup bebas yang destruktif. Maka, bagaimana penerapan Islam secara kafah dapat melindungi generasi dari kerusakan moral? Artikel ini akan membahasnya secara mendalam.


Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, Prih Hartanto, menyatakan bahwa pergaulan bebas di kalangan remaja semakin tak terkendali. Saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (26/6/2024), ia mengungkapkan bahwa kasus HIV/AIDS di Blora menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pada 2021, tercatat 96 kasus, yang kemudian melonjak menjadi 213 kasus pada 2022, meski pada 2024 menurun menjadi 101 kasus.


Sementara itu, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kelas 1B Blora, Kastari, mengungkapkan bahwa hingga Agustus 2024, sebanyak 237 anak baru gede (ABG) mengajukan dispensasi nikah. "Sebagian besar kasus ini disebabkan oleh kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas. Berpacaran tanpa batas akhirnya membuat mereka dinikahkan, meski belum berusia 19 tahun," jelasnya kepada detik.com pada Jumat (25/9/2024).



Mengapakah Pergaulan Bebas Remaja Makin Marak?


Kondisi buruk ini terjadi karena penerapan sistem sekularisme dan liberalisme. Sistem sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan manfaat sebagai tujuan utama, dan mengesampingkan ajaran Islam. Tolok ukur kebahagiaan bukan lagi meraih ridho Allah, melainkan memperoleh materi sebanyak-banyaknya. Sekularisme merupakan akar masalah kerusakan moral, yang mengakibatkan pergaulan semakin liberal dan jauh dari tuntunan agama. Semua usia menjadi rusak karena pergaulan yang makin bebas tanpa aturan dan mengedepankan pemuasan hawa nafsu.


Pemenuhan potensi manusia berupa gharizah nau (ketertarikan terhadap lawan jenis) tidak akan muncul tanpa rangsangan dari luar. Sayangnya, banyak tontonan atau konten seperti pornografi dan pornoaksi yang mudah diakses oleh segala usia, termasuk anak-anak. Pemerintah juga tidak melakukan filter yang ketat untuk mencegah tayangan yang tidak layak, serta tidak memberikan sanksi yang jelas dan tegas bagi penyebar dan pelaku.


UU No. 16 Tahun 2019 yang disahkan untuk mengurangi pernikahan usia dini tidak memberikan pengaruh positif terhadap perilaku remaja. Masih banyak remaja yang mengajukan dispensasi nikah karena hamil duluan. Jelas, UU yang dibuat tidak ampuh membendung perilaku seks bebas di kalangan pelajar.


Alih-alih mewujudkan generasi emas, negara dengan sistem kapitalisme sekuler justru melahirkan aturan yang melemahkan moral generasi. Negara memfasilitasi liberalisme pergaulan, misalnya memberikan aturan kontrasepsi untuk pelajar dan pendidikan kespro yang berasaskan peradaban Barat. UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP No. 28 Tahun 2024 mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja, serta edukasi kesehatan reproduksi yang mencakup pengetahuan tentang sistem, fungsi, dan proses reproduksi.


Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi angka kehamilan di luar nikah dan angka penyakit menular. Namun, kenyataannya justru berpotensi meningkatkan angka penyakit menular seksual (PMS) di kalangan remaja, karena merasa lebih aman ketika melakukan hubungan seksual tanpa memikirkan konsekuensinya.


Kesetaraan gender dan turunannya yang berkiblat pada Barat, seperti hak reproduksi dan autonomi, telah meracuni pemikiran umat. Perempuan diperbolehkan melakukan aborsi secara aman dan legal terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Kampanye "**My Body, My Choice**" memberikan kebebasan bagi perempuan terhadap tubuh mereka, dan tidak boleh diatur oleh siapa pun, termasuk agama. Kampanye ini diprakarsai oleh badan-badan PBB dan dunia, seperti UN Women dan UNFPA, yang menganut sistem sekuler-liberal.


Hal ini menjadi bukti bahwa penerapan sistem sekularisme dan liberalisme tidak mampu menyelesaikan masalah pergaulan bebas. Pergaulan bebas terus terjadi dan semakin parah.


Islam Membentengi Keluarga dari Pergaulan Rusak


Islam merupakan agama yang sempurna, kesempurnaannya terdapat dalam aturan-aturannya. Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.


Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah:208, Allah memerintahkan umat Islam untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah.


"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu" (Qs. Al-Baqarah:208)


Islam menjaga kemuliaan manusia dan memerintahkan negara menjaga nasab, sebagai salah satu aspek penting dalam syariat Islam, dengan berbagai mekanisme.


Pertama, menanamkan akidah sejak usia dini agar anak memiliki keimanan yang kokoh, taat terhadap syariat, merasa setiap aktivitasnya selalu diawasi oleh Allah, memiliki kesadaran bahwa setiap perbuatannya di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, dan takut berbuat maksiat.


Kedua, menerapkan sistem pergaulan Islam, yang diatur oleh syariat. Di antaranya:


a. Menundukkan pandangan, berdasarkan Qs. An-Nur:31. Allah SWT berfirman:


"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat" (Qs. An-Nur:31)


b. Menutup aurat saat sudah baligh. Dalam Qs. Al-Ahzab:59, Allah SWT berfirman:


"Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Qs. Al-Ahzab:59)


c. Dilarang berkhalwat, berdasarkan hadits riwayat HR. Ahmad:


"Janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahramnya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan" (HR Ahmad)


d. Dilarang bertabaruj (berdandan berlebihan) terhadap laki-laki yang bukan muhrimnya. Berdasarkan firman Allah Qs. Al-Ahzab:33, Allah SWT berfirman:


"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah (Qs. Al-Ahzab:33)


Ketiga, sistem pendidikan berbasis Islam, di mana negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam bagi seluruh anak (membentuk kepribadian Islam). Dengan demikian, akan terbentuk kepribadian Islam pada anak, yang pola pikir dan sikapnya Islami. Pembentukan standar Islam inilah yang akan menyelamatkan para pemuda dari gempuran ide-ide Barat yang menyesatkan. Misalnya, jika agama melarang berpacaran, maka tidak akan mendekati zina karena merasa diawasi oleh Allah SWT.


Negara juga wajib memberikan sanksi tegas dan menghukum pelaku zina karena melanggar hukum syariah, agar dapat mengerem upaya perusakan generasi secara efektif. Hukuman bagi pelaku zina ghoiru mukhson (belum pernah melakukan hubungan seksual dalam pernikahan yang sah) adalah dicambuk sebanyak 100 kali, sebagaimana dijelaskan Allah dalam Qs. An-Nur:2. Bagi pelaku zina mukhson (pernah melakukan hubungan seksual dalam pernikahan yang sah), hukumannya dirajam sampai mati.


Media yang memuat pornografi, kekerasan, ide LGBT, dan segala hal yang merusak akhlak dan agama, dilarang untuk terbit dan diberi sanksi bagi pelaku pelanggaran. Media harus memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Media informasi juga berperan dalam mengungkap kesalahan pemikiran, paham, ideologi, dan aturan-aturan sekuler-liberal. Dengan cara itu, masyarakat menjadi paham mana yang benar dan yang salah, sehingga dapat terhindar dari pemikiran, pemahaman, dan gaya hidup yang tidak Islami. Negara juga harus memberikan sanksi tegas terhadap media-media yang berasal dari ide-ide Barat dan merusak moral bangsa.


Untuk menyelamatkan generasi yang rusak diperlukan peran negara, karena hanya negara yang mampu melakukan fungsi besar itu. Mau tidak mau negara tersebut harus kuat, memiliki ideologi yang dipegang erat, ideologi yang bersumber dari akidah yang tidak goyah. Negara itu adalah negara Islam, Khilafah Islamiyah.

Wallahualam bissawab.

Minggu, 19 Januari 2025

Penulis: Rita Handayani 

(Penulis Kota Blora)





Forum Muslimah Blora (FORMULA) baru-baru ini menggelar acara yang sarat makna, menyoroti kondisi bangsa dan peran kepemimpinan Islam dalam menjawab tantangan zaman. Acara yang bertema “Mewujudkan Kepemimpinan Islam Harapan Masa Depan” ini menjadi panggung bagi para tokoh muslimah untuk berdiskusi, berbagi ide, dan merumuskan solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa.


Refleksi atas Kondisi Bangsa


Acara diawali dengan pemaparan data dan fakta yang menunjukkan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Tingginya angka kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, dan kerusakan lingkungan menjadi gambaran nyata tantangan yang dihadapi. Para peserta diajak untuk merenung, apakah kondisi ini sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang telah digaungkan para pahlawan bangsa.


Kepemimpinan Islam: Harapan dan Tantangan.


Salah satu fokus utama dalam acara ini adalah kepemimpinan Islam. Para narasumber sepakat bahwa kepemimpinan yang baik adalah kunci untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa. Seorang pemimpin yang ideal tidak hanya memiliki pengetahuan agama yang mendalam, tetapi juga memiliki integritas, keberanian, dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat.


Ustadzah drg. Tumirah, dalam paparannya, mengingatkan kembali pada sejarah kepemimpinan Islam pada masa Rasulullah saw. dan para sahabat. Beliau menekankan pentingnya kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. "Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang menjadikan rakyat sebagai prioritas utama," tegas Ustadzah Tumirah.


Sementara itu, Ustadzah Hafshah Mundzirah, dalam paparannya, menyoroti pentingnya hubungan yang harmonis antara pemimpin dan rakyat. Beliau mengajak para peserta untuk merefleksikan kembali makna kepemimpinan dalam Islam, yang tidak hanya sebatas kekuasaan, tetapi juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.


Dalam sistem politik sekuler-demokratis yang memisahkan agama dan negara, mustahil melahirkan pemimpin yang benar-benar berkarakter Islam. Pemimpin yang sejati bagi umat Islam hanya dapat muncul dari lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.


Cara Islam mewujudkan pemimpin umat: 


Sistem Pendidikan: Pendidikan Islam yang komprehensif akan mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan karakter yang kuat akan membentuk pemimpin yang amanah, adil, dan bijaksana.


Partai Politik dan Organisasi Dakwah: Partai politik dan organisasi dakwah dapat menjadi wadah bagi kaderisasi pemimpin. Melalui pelatihan, pendidikan politik, dan pengalaman organisasi, kader-kader dapat ditempa menjadi pemimpin yang siap menghadapi tantangan zaman.


Sistem Khilafah: Sistem khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Dalam sejarah Islam, sistem khilafah telah melahirkan banyak pemimpin yang sukses memimpin umat dan membangun peradaban yang maju.


Peran Perempuan dalam Membangun Bangsa


Acara ini juga menjadi ajang bagi para perempuan untuk menegaskan peran mereka dalam membangun bangsa. Para peserta sepakat bahwa perempuan memiliki potensi yang besar untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Mereka tidak hanya sebagai ibu dan istri, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mampu membawa dampak signifikan.


Acara ini tidak hanya berhenti pada diskusi dan refleksi, tetapi juga menghasilkan sejumlah rekomendasi konkret untuk mengatasi permasalahan bangsa dengan bersama-sama berkomitmen untuk melanjutkan kehidupan Islam. Membangun masyarakat Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat, dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman hidup.


Harapan ke Depan


Acara FORMULA Blora ini menjadi tonggak sejarah bagi para tokoh muslimah di Blora. Melalui acara ini, mereka telah menunjukkan komitmennya untuk ikut serta dalam membangun bangsa. Harapannya, semangat yang telah tumbuh dalam acara ini dapat terus berkobar dan menginspirasi banyak orang untuk melakukan perubahan yang lebih baik.


Pesan Utama


Acara FORMULA Blora telah mengingatkan kita semua tentang pentingnya kepemimpinan yang baik dalam membangun bangsa. Kepemimpinan yang berkarakter, adil, dan berpihak pada rakyat adalah kunci untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa. 


Perempuan, sebagai bagian dari masyarakat, memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Mari bersama-sama kita membangun bangsa yang lebih baik, bangsa yang bermartabat, dan bangsa yang diridai Allah Swt.


Wallahualam bissawab. 


Penulis: Rita Handayani

(Penulis Kota Blora)




Blora, 22 Desember 2024—Forum Muslimah Blora (FORMULA) sukses mengadakan acara risalah akhir tahun 2024 bertema "Mewujudkan Kepemimpinan Islam Harapan Masa Depan". Acara yang meriah ini diselenggarakan di salah satu restoran Kota Blora dan dihadiri oleh tokoh-tokoh dari Rembang, Blora, Cepu, hingga Randublatung. Acara ini menyoroti peran penting tokoh umat dalam memajukan agama Islam dan bangsa Indonesia.


Acara dibuka oleh MC, Ibu Dwi R, S.Si, dengan membacakan ummul kitab Al-Fatihah. Selanjutnya, peserta acara RATU 2024 diberikan gambaran tentang kondisi rakyat Indonesia saat ini yang sangat memprihatinkan secara nasional melalui pemutaran video.


Pemutaran video kedua memaparkan fakta-fakta di daerah, memberikan gambaran yang menyedihkan tentang kondisi sebagian besar masyarakat Jawa Tengah. Angka kemiskinan yang masih tinggi, kondisi hunian yang tidak layak, dan bencana banjir yang berulang menjadi bukti bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kondisi ini semakin mendesak kita untuk mencari solusi konkret, termasuk melalui kepemimpinan yang efektif dan berpihak pada rakyat.


MC menjelaskan bahwa Jawa Tengah, dengan kekayaan alam dan budaya yang beragam, sering kali mendapatkan berbagai macam sertifikat yang mengakui keberhasilan dan potensinya di berbagai bidang. Namun, di balik gemerlap prestasi tersebut, kondisi masyarakatnya masih jauh dari ideal. Selain itu, kasus PHK massal di sejumlah industri semakin memperburuk situasi. Beban pajak yang terus meningkat juga membebani masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.


Tidak hanya itu, berbagai permasalahan sosial lainnya juga menghantui Jawa Tengah. Maraknya kasus narkoba, perundungan di sekolah, dan pergaulan bebas mengancam generasi muda. Kejahatan jalanan, kemiskinan ekstrem di beberapa daerah, serta bencana alam seperti banjir dan tanah longsor semakin memperparah kondisi.


Bagaimana tanggapan tokoh umat saat ini? MC memberikan kesempatan kepada narasumber pertama untuk memaparkan materi terkait profil pemimpin Islam.


Profil Pemimpin Islam


Narasumber pertama adalah seorang dokter gigi yang juga aktivis muslimah, Ustadzah drg Tumirah. Beliau membuka presentasinya dengan pantun "Bunga mawar, bunga melati, sugeng rawuh ibu-ibu yang saya cintai. Bunga mawar, bunga melati, mari kita cari rida Illahi."


Ia menjelaskan bahwa ajaran Islam tidak terbatas pada ibadah semata. Islam juga memberikan panduan tentang bagaimana manusia menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri (introspeksi diri), dan dengan orang lain di sekitarnya. Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hal tersebut, terutama para tokoh umat yang merupakan sumber penerangan bagi masyarakat.


Selanjutnya, narasumber membandingkan sosok Ibnu Sina dengan dokter saat ini. Beliau menekankan bahwa Ibnu Sina tidak hanya ahli dalam bidang kedokteran, tetapi juga memiliki pengetahuan yang luas di berbagai disiplin ilmu. Sebaliknya, dokter saat ini, seperti dokter gigi, sering kali terpaku pada spesialisasinya tanpa memiliki pemahaman yang komprehensif tentang ilmu-ilmu lain. Hal yang sama berlaku untuk profesi lain, seperti guru, yang hanya dididik pada satu bidang ilmu saja.


Narasumber membandingkan kepemimpinan ideal dalam Islam dengan kondisi kepemimpinan di Indonesia saat ini. Beliau mempertanyakan apakah tujuan kemerdekaan Indonesia sudah tercapai setelah 79 tahun. Ia menyoroti adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, serta mempertanyakan mengapa dengan banyaknya pakar, Indonesia masih menghadapi berbagai masalah.


Kemudian, narasumber mengutip hadis dari jalur Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "... Pada saat itu, seorang pendusta dianggap jujur, orang yang jujur dianggap pembohong, pengkhianat dipercaya, orang yang bisa dipercaya dianggap pengkhianat, dan ar-Ruwaibidhah akan menjadi penyambung lidah masyarakat." Beliau mengaitkan hadis tersebut dengan kondisi saat ini, di mana nilai-nilai kebenaran dan kejujuran sering kali terbalik.


Narasumber juga mengutip hadis lain, yang diriwayatkan oleh Ahmad, yang berbunyi: "Sungguh, simpul-simpul Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang bergantung pada simpul berikutnya. Yang pertama terlepas adalah al-hukm (pemerintahan/hukum) dan yang terakhir adalah salat."


Ia menanyakan kepada hadirin apakah kondisi saat ini sesuai dengan prediksi hadis tersebut, dan hadirin menjawab ya.


Kemudian, narasumber mengajak para tokoh umat untuk tidak egois. Kita harus memperjuangkan hak-hak seluruh umat Islam. Sayangnya, sistem pemerintahan Islam yang adil dan dijalankan oleh Rasulullah saw. serta para khalifah setelahnya telah dihapuskan. Untuk itu, kita perlu berupaya membangun kembali sistem tersebut sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud di Indonesia.


Wallahualam bissawab. 



Jumat, 17 Januari 2025

Penulis: Anizah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)





Harga sembako meroket, biaya hidup semakin mahal. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% di awal tahun 2025 menjadi pukulan telak bagi masyarakat Indonesia yang sedang bergembira di awal pergantian pemimpin.


Harapan masyarakat Indonesia di setiap pergantian pemimpin pastilah ingin memiliki pemimpin yang bertanggung jawab, adil, dan bisa mensejahterakan rakyatnya, di antaranya orang miskin berkurang, banyaknya lapangan kerja, harga-harga terjangkau, berbagai macam fasilitas mudah diakses seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.


Namun, apa daya, di awal tahun ini penguasa malah memberikan hadiah pahit pada masyarakat Indonesia dengan naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.


Kenaikan PPN menjadi beban baru bagi masyarakat. Bak jatuh tertimpa tangga pula, belum pulih dari perekonomian pascapandemi, kini rakyat harus rela menerima kenaikan pajak, hal ini akan mengakibatkan harga barang dan jasa naik dan memengaruhi daya beli masyarakat.



Banyak Penolakan


Kebijakan naiknya PPN menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Sejumlah elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan buruh, sudah turun ke jalan.


Pada Jumat (27/12/2024), aliansi mahasiswa yang bergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya Gambir, Jakarta Pusat. (Kontan.co.id, 30/12/2024)


Petisi juga dilakukan oleh Bareng Warga tentang penolakan PPN 12%, dari 19 November 2024 hingga 2 Januari 2025 telah ditandatangani oleh 200.811 orang. (TEMPO, 2/1/2025)


Meskipun banyak penolakan dari masyarakat, pemerintah tetap akan menaikkan PPN menjadi 12%. Padahal, itu semua akan memperdalam kesulitan masyarakat, karena kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang terpuruk.


Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Kemudian, dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besarnya atau 57,94% bekerja di sektor informal atau mencapai 83,83 juta orang. Pendapatan atau upah masyarakat juga terdapat masalah. Data dari BPS, per bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP), begitu pun dengan daya beli masyarakat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. (CNN Indonesia, 28/12/2024)



Akibat Sistem Kapitalisme


Pemerintah mengungkapkan bahwa kenaikan tarif PPN ini akan diterapkan pada barang dan jasa yang tergolong mewah. Namun, apakah rakyat kecil tidak akan terkena imbasnya?


Kenaikan pajak bukan hanya memengaruhi kelas menengah ke atas, melainkan akan berimbas pada kelas bawah juga, karena ini merupakan efek domino kepada semua kalangan. Para pengusaha yang terkena pajak akan menaikkan harga jual barang karena biaya produksinya menjadi naik. Alhasil, kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat, tetapi mengapa pemerintah tetap menaikkan pajak?


Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan salah satu penyumbang utama APBN. Pajak juga digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi berbasis utang. Sementara itu, Sumber Daya Alam yang melimpah malah diserahkan kepada pihak asing. Alih-alih memberi kemudahan kepada rakyatnya, yang terjadi malah menambah penderitaan rakyat. Ini semua adalah bentuk kezaliman penguasa kepada rakyatnya. Sudah sepatutnya para pemegang kekuasaan berhati-hati dalam menentukan kebijakan. Jika seorang pemimpin menyusahkan rakyatnya, konsekuensi yang ditanggung bukanlah main-main karena menyangkut nasib kekal di akhirat.


Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus urusan rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali ia tidak akan mencium bau surga".

(HR. Al-Bukhari dan Muslim)



Kebijakan Pajak Dalam Islam


Dalam Islam, pemimpin (Khalifah) bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok setiap rakyat yang meliputi sandang, pangan, dan papan, tetapi juga menjamin berbagai layanan seperti kesehatan, pendidikan, serta keamanan.


Khilafah memiliki beberapa sumber pemasukan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam kitab Nizham al Iqtishadi karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, pemasukan negara berasal dari 3 bagian, yaitu: (1) Fa'i dan kharaj, terdiri dari seksi ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, Fa'i, dan dharibah; (2) Kepemilikan Umum, terdiri dari seksi migas, pertambangan, hutan, laut, sungai, perairan, mata air, listrik, padang rumput, serta aset yang diproteksi negara; dan (3) Zakat, terdiri dari zakat pertanian, buah-buahan, serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing.


Namun, harta zakat tidak boleh diberikan selain kepada delapan asnaf, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an, baik untuk keperluan negara maupun keperluan umat.


Sedangkan pemasukan harta dari hak milik umum diletakkan pada kas khusus baitulmal dan tidak boleh dicampur dengan yang lain. Sebab, harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin.


Adapun pungutan pajak yang disebut dengan istilah "dharîbah", adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan hanya dibebankan kepada laki-laki muslim yang kaya saja. Pajak dalam Islam tidak dipungut dari perempuan, anak-anak, orang kafir, dan orang miskin. Setelah baitulmal sudah tercukupi, penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Jadi, pajak dalam Islam bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan negara, melainkan dijadikan alternatif terakhir saat kondisi keuangan negara sedang genting.


Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Sungguh, hanya dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, rakyat akan terhindar dari berbagai kezaliman. 

Wallahualam bissawab.

(Editor: Rita Handayani)


Penulis: Arimbi N.U

(Penulis dan Peneliti Kebijakan Pendidikan)





Kapitalisasi pendidikan, yang marak terjadi di Indonesia, telah menyebabkan kesenjangan pendidikan yang semakin lebar dan mengancam masa depan bangsa. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap individu, kini telah berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Akibatnya, hanya segelintir masyarakat yang mampu mengakses pendidikan berkualitas, sementara mayoritas lainnya terpinggirkan. Tulisan ini akan mengulas dampak negatif kapitalisasi pendidikan, menganalisis akar masalahnya, dan mengusulkan solusi yang relevan.


Pendidikan merupakan fondasi suatu bangsa. Sistem pendidikan yang baik akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul yang mendorong kemajuan suatu negara. Semakin tinggi kualitas pendidikan di suatu negara, semakin maju pula negara tersebut. Sebaliknya, rendahnya kualitas pendidikan akan menyebabkan negara tersebut tertinggal. Lalu, apa yang terjadi jika pendidikan dikapitalisasi? Tentu, hal ini akan mengancam kualitas dan kesetaraan pendidikan di Indonesia.


Kapitalisasi pendidikan memperburuk kesenjangan sosial, karena hanya sebagian kecil masyarakat yang mampu mengakses pendidikan berkualitas, yaitu mereka yang memiliki kekuatan finansial. Sementara itu, masyarakat dengan keterbatasan ekonomi terpaksa hanya menikmati pendidikan yang terbatas dan seadanya. Ini jelas akan mengurangi kesempatan belajar bagi kalangan masyarakat kurang mampu dan semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial dan ekonomi.


Selain itu, kapitalisasi pendidikan juga akan menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Ketika fokus utama sistem pendidikan beralih ke keuntungan, nilai-nilai pendidikan sebagai investasi untuk masa depan bangsa pun terabaikan. Sebagai contoh, sekolah-sekolah swasta dan universitas komersial sering kali menetapkan biaya yang sangat tinggi sebagai kompensasi atas fasilitas-fasilitas yang disediakan. Walaupun pemerintah berusaha menyediakan pendidikan gratis melalui sekolah negeri, ketimpangan kualitas pendidikan antara daerah kaya dan miskin tetap sulit diatasi.


Di sisi lain, ketergantungan pemerintah terhadap lembaga pendidikan swasta semakin memperburuk keadaan. Pendidikan seharusnya menjadi hak yang dapat diakses oleh semua kalangan, namun kenyataannya kini menjadi barang mewah yang hanya dapat dijangkau oleh mereka yang mampu secara finansial. Anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses ke pendidikan berkualitas, sementara anak-anak dari keluarga miskin sering kali harus menerima pendidikan dengan kualitas yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan peluang untuk meraih kesuksesan semakin sempit bagi mereka yang kurang mampu.


Kapitalisasi pendidikan juga memengaruhi tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang seharusnya berfungsi untuk mencetak generasi yang cerdas, kreatif, dan kritis kini lebih banyak berfokus pada pencapaian keuntungan finansial. Akibatnya, siswa dan mahasiswa lebih didorong untuk mengejar gelar demi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, ketimbang untuk berpikir kritis atau berinovasi. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.


Selain itu, dengan tingginya biaya pendidikan, banyak keluarga yang terpaksa mengorbankan kebutuhan dasar mereka demi memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan taraf hidup, bukan justru menjadi beban finansial yang menambah kesulitan hidup mereka.


Kapitalisasi pendidikan merupakan ancaman serius bagi kualitas dan kesetaraan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil peran yang lebih tegas dalam pengaturan pendidikan. Pendidikan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang bagi bangsa, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Negara perlu memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan yang berkualitas.


Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas guru dan fasilitas pendidikan di daerah-daerah terpencil. Jangan sampai kesenjangan antara kota besar dan daerah semakin lebar, karena hal ini akan menghambat perkembangan sumber daya manusia di wilayah tersebut.


Dalam perspektif Islam, pendidikan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap individu dan negara. Pendidikan dalam Islam tidak hanya mengarah pada pencapaian duniawi, tetapi juga bertujuan untuk mempersiapkan individu agar menjadi hamba Allah yang bertakwa.


Menurut Islam, negara memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan pendidikan yang adil dan merata bagi semua lapisan masyarakat. Solusi pengaturan pendidikan dalam Islam adalah dengan mengembangkan sistem pendidikan yang mengutamakan kualitas dan pemerataan akses, tanpa membedakan latar belakang ekonomi. Negara harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk sektor pendidikan, memastikan fasilitas yang layak di setiap sekolah, serta memberi perhatian khusus kepada daerah-daerah yang tertinggal.

Wallahualam bissawab. 

(Editor: Rita Handayani)


Penulis: Azizah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)





Bayangkan, puluhan ribu rumah hancur, ribuan jiwa kehilangan sanak saudara, dan jutaan rupiah harta benda lenyap dalam sekejap. Itulah gambaran nyata dampak bencana alam yang terus menerus melanda Indonesia. Banjir, tanah longsor, dan gempa bumi seolah menjadi tamu tak diundang yang hadir setiap tahun.


Berdasarkan data Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur, bencana melanda di 27 titik yang tersebar di 18 wilayah Kecamatan, antara lain Kadupandak, Cijati, Tanggeung, Agrabinta, Sindangbarang, dan Leles.


Tak hanya di Cianjur, bencana banjir juga terjadi di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, Banten pada Kamis (5/12/2024). Bencana ini disebabkan oleh meluapnya Sungai Cilemer sejak Senin (2/12/2024). Banjir merendam pemukiman warga setinggi 1-2,5 meter, menyebabkan jalan putus.


Bencana juga terjadi di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan data BPBD setempat, hingga Sabtu (7/12/2024) pukul 17.30 WIB, terdapat 328 titik bencana di 39 kecamatan. Deden Sumpono, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukabumi, mengatakan bahwa jenis bencana yang terjadi bervariasi, seperti tanah longsor, banjir, angin kencang, dan pergerakan tanah.


Terjadinya bencana alam memang patut membuat kita muhasabah. Sering kali manusia menganggap bencana alam terjadi karena fenomena alam dan takdir yang tak terelakkan, sehingga kita hanya pasrah menerima apa pun yang terjadi. Padahal, bencana juga dapat terjadi akibat ulah manusia, seperti pelanggaran syariat kehidupan yang tidak diatur dengan benar (Islam).


Namun, kita juga tak dapat memungkiri bahwa bencana alam di Jawa Barat bersifat sistemis. Hal ini terlihat dari penanganan bencana dari tahun ke tahun yang tak menunjukkan perubahan signifikan, padahal rekomendasi kerentanan bencana dari Badan Geologi selalu diperbarui dan diberikan kepada pemerintah daerah terkait.


Bencana alam yang terjadi berulang dan menjadi langganan menunjukkan kelalaian dan pengabaian penguasa terhadap rakyatnya. Inilah buah dari kepemimpinan sistem kapitalisme, yang mengutamakan materi dan mengabaikan syariat Allah SWT. Asy-Syariah telah mengatur bahwa seorang pemimpin seharusnya menjadi raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Namun, sistem kapitalisme menjadikan pemimpin sebagai sosok populis otoriter. Kebijakan dibuat seolah pro-rakyat, tetapi sebenarnya hanyalah regulator kebijakan oleh para kapital.


Hutan dieksploitasi berlebihan atas nama pembangunan. Perawatan sungai yang seharusnya dapat mencegah banjir, justru anggarannya dikorupsi atau dialihkan untuk tunjangan pejabat. Inilah salah satu bentuk kezaliman pemimpin yang tidak menggunakan syariat Islam dalam mengatur negara. Pelanggaran syariat inilah yang menyebabkan terjadinya bencana alam.


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


ظَهَرَ الْفَسَا دُ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ


"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

(QS. Ar-Rum [30]: 41)


Penguasa seharusnya malu dengan julukan "banjir tahunan" atau "bencana alam langganan". Julukan ini menunjukkan sikap abai terhadap mitigasi bencana, bukan mengantisipasinya.


Dengan terjadinya berbagai bencana alam di negeri ini, umat wajib muhasabah dan bertobat serta berupaya agar syariat segera tegak di bawah kepemimpinan Islam. Sudah saatnya penguasa kembali kepada hakikat kekuasaan yang dimilikinya, yaitu menegakkan aturan Allah SWT dan meneladani Rasulullah SAW dalam mengurus umat.


Rasulullah SAW bersabda,

"Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad)


Kepemimpinan seperti ini hanya ada dalam institusi Khilafah, karena hanya negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kafah. Khilafah adalah satu-satunya negara yang dapat menyelamatkan umat manusia dari bencana di dunia dan di akhirat. Dalam Khilafah, negara berperan sebagai raa'in dan junnah sehingga rakyat hidup sejahtera dan penuh berkah.


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ ...


"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi ..."

(QS. Al-A'raf [7]: 96)



Ketaatan pemimpin kepada syariat akan menuntunnya mengatur urusan masyarakat sesuai dengan kemaslahatan mereka. Islam tidak anti terhadap pembangunan. Banyaknya pembangunan dalam sejarah peradaban Islam justru telah terbukti riil berfungsi untuk urusan umat. Bangunan-bangunan peninggalan peradaban Islam itu bahkan masih banyak yang berfungsi baik hingga era modern ini, padahal usianya sudah ratusan tahun.


Pembangunan dalam Islam juga mengandung visi ibadah, yaitu bahwa pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah Taala. Untuk itu, jika suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah ataupun berdampak pada terzaliminya hamba Allah, pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan.


Begitu pula perihal tata guna lahan. Penguasa sudah seharusnya memiliki inventarisasi fungsi dari masing-masing jenis lahan. Lahan yang subur dan efektif untuk pertanian sebaiknya jangan dipaksa untuk dialihfungsikan menjadi permukiman maupun kawasan industri.


Juga lahan pesisir, semestinya difungsikan menurut potensi ekologisnya, yakni mencegah abrasi air laut terhadap daratan. Sedangkan kawasan hutan hendaklah dilestarikan sebagai area konservasi agar dapat menahan/mengikat air hujan sehingga tidak mudah menimbulkan tanah longsor, sekaligus menjaga siklus air.


Islam telah mensyariatkan pembangunan secara terukur, berkelanjutan (_sustainable_), dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan agar bencana bisa diminimalisasi. Bahkan Islam pun sudah mengatur anggaran jika terjadi bencana. Dalam Baitul Mal terdapat alokasi pengeluaran khusus untuk keperluan bencana alam.


_Syaikh Abdul Qadim Zallum_ menjelaskan dalam kitab _Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah_ bahwa pada bagian belanja negara terdapat Seksi Urusan Darurat atau Bencana Alam (_Ath-Thawaari_). Seksi ini memberi bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat atau bencana yang menimpa mereka.


Beberapa konsep syariat tersebut akan diterapkan dalam negara Khilafah, bahkan dijadikan sebagai undang-undang negara. Dan siapa pun yang melanggar akan diberikan sanksi. Jika syariat Islam diterapkan oleh level negara, maka akan hadir kepemimpinan yang mengantarkan masyarakat hidup dalam keberkahan, seperti terhindar dari bencana alam. Bahkan untuk mewujudkan kepemimpinan _raa'in_ dan _junnah_, Islam memberikan tanggung jawab pada diri seorang pemimpin bahwa dia harus memiliki kekuatan kepribadian Islam, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati. Dengan demikian, bukankah bisa dikatakan bahwa berbagai bencana yang terjadi hari ini menjadi bukti bahwa umat membutuhkan kepemimpinan Islam di bawah naungan Khilafah?

Wallahualam bissawab. 

(Editor: Rita Handayani)









Penulis: Ratih Suharjo

(Pegiat Literasi)





Konflik Palestina telah berlangsung puluhan tahun dan mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat Palestina, terutama anak-anak. Tindakan kekerasan Israel, seperti serangan udara dan blokade, telah menyebabkan ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang parah.

Meskipun berbagai upaya perdamaian telah dilakukan, konflik ini belum juga menemukan penyelesaian.


Hingga hari ini, konflik tersebut terus membara. Bahkan, Ustaz Abdul Somad pernah menanyakan kepada guru tafsirnya saat kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Beliau bertanya kepada Syekh Muhammad Jibril. "Wahai syekh, pada zaman dahulu kaum 'Ad, kaum Tsamud, kaum Madyan, Firaun, semuanya binasa. Mengapa kaum Israel tidak dibinasakan oleh Allah SWT?"


Namun, pertanyaan itu dijawab dengan senyum oleh beliau. "Jika Allah SWT membinasakan, apa yang tersisa untukmu?"


Pertanyaan tersebut wajar, karena pada zaman dulu ketika ada yang bermaksiat kepada Allah SWT, maka Allah SWT langsung memberikan azab. Pemikiran seperti ini bukan hanya ada pada Ustaz Abdul Somad, melainkan hampir di kepala semua kaum Muslim.


Penderitaan, penindasan, dan pembunuhan telah terjadi secara terus-menerus. Kejadian ini telah merenggut harta benda dan nyawa banyak warga Palestina. Seorang istri kehilangan suami, seorang suami kehilangan istri, dan anak harus mengasuh adik-adiknya karena kehilangan kedua orang tuanya.


Israel terus melakukan genosida untuk melenyapkan rakyat Palestina hingga ke akar-akarnya. Dalam satu jam, anak-anak di Gaza tewas akibat serangan yang dilakukan Israel secara membabi buta. Sejak 2023, jumlah anak yang meninggal telah mencapai 14.500 anak. (antara.com, 25/12/2024)


Sementara itu, 96% anak-anak takut akan kematian yang akan datang, 49% mengungkapkan keinginan untuk mati, 92% tidak bisa menerima kenyataan, 79% menderita mimpi buruk berulang, dan 73% menunjukkan tanda-tanda agresi.


Kebrutalan Israel juga tidak pandang bulu. Bom-bom diluncurkan untuk meratakan permukiman dan rumah sakit. Tak terkecuali rumah sakit Kamal Adwan yang hancur dan terbakar. Akibatnya, puluhan ribu pasien di rumah sakit terancam jiwanya, hingga 60 personel kesehatan dan 25 pasien dalam keadaan kritis.


World Health Organization (WHO) sebagai badan kesehatan dunia pun menyampaikan agar konflik ini segera dihentikan. Namun, dengan cara apa agar genosida di Gaza ini berhenti?


Demokrasi yang telah dianut di beberapa negara membuat konflik terjadi puluhan tahun hingga menewaskan puluhan juta rakyat Gaza. Sekolah-sekolah, permukiman penduduk, dan rumah sakit telah rata dengan tanah. Selain itu, wilayah Palestina pun sedikit demi sedikit terus berkurang.


Sementara itu, umat Islam melihat konflik Gaza hanya sekadar pertandingan. Jika rakyat Palestina membutuhkan bantuan logistik, umat Islam sedunia berbondong-bondong mengirimkan bantuan. Sayangnya, bantuan yang masuk ke Gaza harus mendapat persetujuan Israel.


Apakah solusi konflik hanya dengan bantuan semata, sedangkan rakyat Palestina semakin hari semakin habis? Gaza butuh kemerdekaan hakiki. Mereka juga butuh beribadah, sekolah, bekerja, dan hal lainnya dengan tenang.


Hanya ada satu cara untuk menghentikan konflik ini, yaitu dengan kembali mengikuti minhaj nubuat. Metode kekhalifahan Islam dalam Bingkai Daulah Islamiyah.


Ketika Islam diterapkan dalam konstitusi negara, sekat-sekat nasionalisme akan tercabut di dada umat Islam. Mereka akan berjihad membebaskan rakyat Palestina. Mereka akan paham bahwa Palestina adalah saudara umat Islam. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa:


"Umat Islam ibarat satu tubuh. Jika ada salah satu bagian tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakannya." (H.R. Imam Muslim)


Dengan demikian, umat Islam akan hidup mulia, tanpa kekerasan, penindasan, pembunuhan, dan hal lainnya.

Wallahualam bissawab.

(Editor: Rita Handayani)

Jumat, 10 Januari 2025

Oleh: Rita Handayani 

(Penulis dan Founder Media)



Bupati Blora Dr. H. Arief Rohman, S.IP., M.Si., bersama Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Blora Hj. Ainia Sholichah, SH, dan Forkopimda mencanangkan Kesatuan Gerak PKK Bangga Kencana Kesehatan Tingkat Kabupaten Blora Tahun 2024, di Pendopo Rumah Dinas Bupati, Senin, (16/12/ 2024). Bupati mengajak PKK untuk bersatu padu dan bahu-membahu dengan berbagai pihak dalam melaksanakan program-program pembangunan, khususnya program-program yang bertujuan mewujudkan Kabupaten Blora yang lebih maju dan sejahtera, seperti program keluarga berencana, kesehatan, dan penurunan stunting. (blorakab.go.id/16/12/2024)


Program kesehatan yang dicanangkan tersebut patut diapresiasi. Akan tetapi, efektifitas dan keberhasilan dalam pelaksanaannya memunculkan skeptisme. Pasalnya, kapitalisme yang mengutamakan keuntungan, telah menjadikan kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan demi mendapatkan keuntungan. 


Komoditas yang dikapitalisasi

Dalam sistem kapitalisme, sektor kesehatan dan pendidikan dianggap sebagai komoditas dan peluang bisnis yang menguntungkan. Para pelaku bisnis pun akhirnya berlomba-lomba menyediakan layanan ini untuk mendapatkan profit. Orientasi profit ini akan meningkatkan biaya layanan, seiring dengan mindset “kualitas yang bagus harganya mahal”. Sebaliknya, layanan gratis seringkali mengorbankan kualitas. Parahnya, kebijakan pemerintah yang melegalkan kapitalisasi sektor kesehatan telah mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan semakin mahal, sementara distribusi pelayanan kesehatan semakin tidak merata. 


Adapun komersialisasi pendidikan, alih-alih meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, yang terjadi justru kesenjangan sosial yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin. Orang kaya bisa dengan mudah mengakses pendidikan berkualitas, sementara orang miskin tidak. Akhirnya, orang miskin semakin terjebak dalam kemiskinan karena pendidikan rendah sehingga kemiskinannya pun menimbulkan berbagai persoalan termasuk persoalan kesehatan. 


Perspektif Islam

Dalam pandangan Islam, Pemimpin adalah raa’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin (ra'in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).


Artinya, pemimpin dalam hal ini adalah negara, wajib memastikan tiap-tiap individu rakyat mendapatkan layanan kesehatan juga pendidikan. Sebab, pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar bagi setiap individu yang menjadi tanggung jawab negara. Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa seluruh rakyat dapat memperoleh layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Islam pun telah menyediakan kerangka kerja yang jelas mengenai pengelolaan negara dan sumber daya, termasuk mekanisme pendanaan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat.


Rasulullah saw. sebagai pemimpin umat Islam mencontohkan penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan gratis untuk rakyat. Dari Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter untuk Ubay bin Kaab.” (HR Muslim). Pun demikian dengan Kisah tentang pembebasan tawanan perang Badar dengan syarat mengajar baca tulis merupakan contoh nyata bagaimana Rasulullah saw. menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama. 


Pada masa kejayaan Islam, pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Khilafah telah mencapai standar yang sangat tinggi dan sepenuhnya tanpa biaya bagi masyarakat. Sejarah mencatat bahwa sistem kesehatan dan pendidikan di bawah pemerintahan Khilafah sangat maju dan seluruh warga negara dapat mengakses layanan kesehatan secara gratis. Dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya, ia berkata, “Saya pernah sakit keras pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Khalifah Umar memanggil dokter untukku.” (HR Al-Hakim).


Adapun fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, negara wajib menyediakan layanan yang komprehensif, termasuk akomodasi, perlengkapan, makanan, dan obat-obatan bagi seluruh pasien. Negara juga menyediakan fasilitas pendidikan yang lengkap, seperti sekolah mulai dari jenjang dini hingga perguruan tinggi. Selain itu, negara wajib menyediakan tenaga pengajar yang berkompeten beserta ruang kelas dan fasilitas yang memadai.


Lebih jauh lagi, pendidikan dan kesehatan dalam islam terintegrasi dengan sangat apik. Rumah sakit Al-Adhudi misalnya, yang didirikan di Baghdad pada masa Daulah Ibnu Buwaih (981M). Selain memiliki ruang perawatan dan tempat pengobatan, terdapat aula besar yang digunakan untuk perkuliahan kedokteran. Perpustakaan rumah sakit juga sangat kaya dengan koleksi buku-buku medis, seperti perpustakaan Rumah Sakit Ibnu Thulun di Kairo yang memiliki lebih dari 100.000 judul buku.


Hal ini tak lepas dari sistem pendidikan Islam yang memiliki visi, misi, serta orientasi untuk kemaslahatan umat demi membangun dan memajukan peradaban. Bukan seperti sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi dan kesejahteraan diri, tanpa memperdulikan kondisi masyarakat. Dalam hal penguasaan ilmu, sistem pendidikan Islam menghasilkan peserta didik yang menguasai multidisiplin ilmu, bukan sekadar mengejar gelar/ijazah/sertifikat untuk kepentingan diterima di dunia kerja, tanpa memiliki disiplin ilmu sebagaimana yang terjadi saat ini dalam sistem kapitalisme.


Sedangkan dari sisi output intelektual, sistem pendidikan Islam akan melahirkan individu yang tidak hanya berkepribadian Islam saja, tetapi juga menguasai iptek, inovator, problem solver, hingga mujtahid serta terdepan dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Setiap individu didorong agar menjadi individu yang ulul albab, khairu ummah, dan pemimpin peradaban.


Semua ini bukanlah utopia, tetapi kenyataan yang hanya akan dapat terwujud dalam kepemimpinan Islam yakni Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Tanpa Khilafah, mustahil untuk mencapai keunggulan dalam pendidikan juga kesehatan seperti yang pernah diraih umat Islam di masa lalu. Wallahualam bissawab.


Oleh: Anizah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)

 

 

 

Dua oknum bidan di Yogyakarta yaitu DM (77) dan JE (44) ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penjualan bayi secara ilegal. DM adalah bidan sekaligus pemilik rumah bersalin, sementara itu JE adalah bidan yang bekerja di rumah bersalin milik DM. Keduanya telah melakukan aksi ini selama 10 tahun dan sebanyak 66 bayi telah dijual oleh keduanya. Dari 66 bayi yang telah dijual, 28 diantaranya adalah laki-laki, 36 perempuan, dan 2 lainnya tidak memiliki keterangan jenis kelamin. DM dan JE menjual bayi dengan harga bervariasi, untuk bayi perempuan dijual dengan harga 55-65 juta, sedangkan bayi laki-laki dihargai lebih mahal yaitu 65 hingga 85 juta, dengan modus untuk biaya persalinan. (detik jateng, 15/12/2024)

 

Terus Berulang dalam Sistem Kapitalisme

Menurut pemeriksaan, JE merupakan residivis dalam kasus yang sama pada tahun 2020 dengan hukuman 10 bulan penjara. Artinya, sistem sanksi hari ini tidak memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Alih-alih bertaubat dan menjadi pribadi yang lebih baik, hukuman penjara justru menjadikan pelaku kejahatan menjadi lebih jahat bahkan lebih sadis dari kondisi sebelumnya. Tak heran jika sekeluarnya dari penjara, mereka pun melakukan kejahatan yang sama.

 

Diakui atau tidak, hukum dan persanksian dalam sistem kapitalisme ini nyatanya memang bisa diperjualbelikan. Terutama oleh orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Fenomena hukum yang diibaratkan seperti pisau, dimana hukum itu tumpul ke atas dan tajam kebawah, hingga fenomena penegakan hukum tebang pilih, menjadi bukti yang tak terbantahkan. Inilah kelemahan hukum buatan manusia yang sarat kepentingan dan keberpihakan. 

 

Begitu pula halnya terkait dengan kasus perdagangan bayi. Penegakan hukum yang lemah tampak pada respon pemerintah yang hanya sekadar memenjarakan pelakunya saja. Kasusnya dianggap selesai dengan menangkap pelakunya saja. Sementara itu, faktor pendorong kejahatan tidak diperhatikan dan terkesan tidak ada upaya pencegahan. Inilah yang menyebabkan kasus demi kasus terus berulang. Apalagi dalam kasus jual beli bayi ini tidaklah terlepas dari hukum permintaan dan penawaran. Logikanya jika ada permintaan, maka penawaran akan selalu ada. Mengapa demikian?

 

Ada beberapa faktor pendorong terjadinya kejahatan jual beli bayi. Pertama, faktor kemiskinan. Kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan dan iman yang lemah kadangkala memicu seseorang untuk berbuat kriminal. Di satu sisi, biaya pendidikan dan kesehatan yang tak terjangkau serta kebutuhan pokok yang terus naik menjadikan biaya hidup semakin mahal. Di sisi lain, susahnya mencari lapangan pekerjaan menambah derita bagi masyarakat. Kondisi ekonomi sulit ini menandakan bahwa pemerintah tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menjerumuskan rakyat dalam kejahatan demi bertahan hidup.

 

Kedua, faktor pergaulan bebas. Saat ini, praktik seks bebas seperti perzinahan hingga hamil diluar nikah tidak lagi dipandang sebagai aib yang memalukan. Ketika mereka sadar telah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, secara spontan mereka akan melakukan aborsi, membuang bayi atau menyerahkannya ke panti asuhan. Dalam kasus jual beli bayi, kehamilan yang tidak diinginkan ini adalah peluang usaha untung mengambil keuntungan dari bayi-bayi yang tidak diinginkan. Daripada tidak bermanfaat untuk orang tuanya, lebih baik dijual agar lebih bermanfaat, baik bagi orang tuanya, maupun orang yang membeli bayinya. Naudzubillah 

 

Ketiga, faktor standar nilai kebahagiaan. Dalam sistem kapitalisme, standar nilai kebahagiaan diukur dari kelimpahan materi yang diperoleh. Pada akhirnya, manusia berlomba-lomba mendapatkan cuan tanpa memandang halal dan haramnya. Karena itulah, menjual bayi dengan harga puluhan juta dianggap dapat mendatangkan kebahagiaan.

 

Islam Mampu Mencegah Kejahatan Jual Beli Bayi

Sejatinya kasus jual beli bayi ini adalah problem sistemik yang harus diselesaikan dengan tuntas sampai ke akar-akarnya. Islam sebagai agama yang sempurna, memiliki seperangkat aturan kehidupan yang mampu mengatasi seluruh problematika kehidupan manusia. Islam yang diterapkan secara kaffah oleh negara memiliki berbagai cara untuk menyelesaikan kasus jual-beli bayi. 

 

Pertama, negara menjamin kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Negara tidak hanya menjamin kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, tetapi juga memberikan jaminan atas kesehatan, pendidikan dan keamanan, bahkan keadilan dalam hukum secara gratis. Negara juga memberikan kemudahan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya, agar setiap kepala keluarga bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga tidak ada keterpaksaan dalam melakukan kriminal demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

 

Kedua, negara menerapkan sistem pergaulan sesuai syariat Islam. Di dalam Islam, setiap individu akan dikuatkan keimanannya, sehingga aktivitas kesehariannya akan bersandar kepada halal atau haram. Islam telah melarang zina, khalwat (berduaan dengan non mahram), dan ikhtilat (bercampur baur laki-laki dengan perempuan). Selain itu, Islam juga mewajibkan menutup aurat secara syar'i dan menjaga pandangan. Semua ini akan menutup semua celah kemaksiatan, seperti perzinahan yang menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.

 

Ketiga, negara menerapkan sistem uqubat (sanksi) Islam. Dalam Islam, uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Sanksi Islam yang tegas akan membuat jera para pelaku kejahatan. Siapapun yang melakukan kejahatan, akan ditindak dan diberi sanksi tanpa pandang bulu. 

 

Dengan demikian, islam yang diterapkan dengan sempurna oleh negara, tidak hanya mampu menyelesaikan kasus jual beli bayi dengan tuntas, tetapi juga mampu mensejahterakan rakyatnya dan melindunginya dari berbagai kejahatan. Sudah saatnya negara berbenah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, dengan menerapkan syariat Islam dalam negara. Wallahu a’lam

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts