SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Sabtu, 18 Oktober 2025

Oleh: Rati Suharjo Pengamat Kebijakan Publik




Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seolah menjadi saksi bisu runtuhnya harapan para penimba ilmu. Bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny ambruk ketika para santri tengah khusyuk menunaikan salat Asar di mushala lantai satu. Dalam sekejap, tempat suci itu berubah menjadi puing-puing kematian. Tragedi ini menelan 167 korban, dengan 67 santri meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Ironisnya, peristiwa memilukan itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi benteng moral dan ilmu—bukan kuburan massal bagi para penuntut ilmu.

Analisis Kegagalan Struktural dan Kelalaian Pengawasan

Bangunan pesantren tersebut awalnya hanya dua lantai, namun sedang dalam proses renovasi menjadi tiga hingga empat lantai. Berdasarkan temuan awal, pondasi dan struktur penyangga tidak dirancang untuk menahan beban tambahan. Kegagalan struktur pada kolom, balok, serta plat lantai menjadi penyebab utama ambruknya gedung. Lebih tragis lagi, meski renovasi sedang berjalan, aktivitas para santri tetap berlangsung seperti biasa—tanpa pengamanan atau penutupan area rawan. Saat bangunan runtuh, evakuasi berlangsung sulit karena banyak korban tertimbun reruntuhan beton dan besi. (Sumber: detiknews.com, 30/9/2025)

Tragedi ini bukan kasus tunggal. Banyak pondok pesantren di Indonesia beroperasi tanpa izin bangunan (IMB/PBG), tanpa sertifikasi kelayakan struktural, dan tanpa pengawasan teknis dari dinas terkait. Akibatnya, bangunan pendidikan bisa berdiri hanya berlandaskan niat baik—bukan standar keselamatan.

Tragedi Al-Khoziny sebagai Cermin Abainya Negara

Peristiwa ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi negara yang selama ini abai terhadap sektor pendidikan. Ia bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan cermin nyata lemahnya peran negara dalam menjamin keselamatan rakyatnya.

Di atas kertas, demokrasi menjanjikan pemerataan layanan publik, termasuk pendidikan. Namun realitas di lapangan justru berbanding terbalik. Dalam sistem demokrasi, pendidikan sering kali diserahkan kepada mekanisme pasar dan inisiatif masyarakat, bukan tanggung jawab penuh negara. Akibatnya, banyak pesantren dan sekolah rakyat bergantung pada dana swadaya, wakaf, atau sumbangan masyarakat lokal, dengan fasilitas seadanya. Karena keterbatasan biaya, mereka tidak mampu menyewa arsitek, insinyur, atau konsultan struktur profesional. Lalu muncullah praktik “bangun sendiri, asal jadi” yang pada akhirnya memakan korban jiwa.

Lebih parah lagi, kebijakan pendidikan di negeri ini sering berorientasi politis dan elitis, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Pendidikan dijadikan komoditas, bukan hak dasar. Akibatnya, biaya pendidikan melambung tinggi, akses terbatas, dan mutu pendidikan justru semakin timpang antara kaya dan miskin.

Peran Negara dalam Pendidikan Menurut Sistem Islam

Berbeda dengan sistem demokrasi yang menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab individu atau swasta, Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara secara penuh. Negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang gratis, aman, dan berkualitas bagi seluruh rakyat, tanpa memandang strata sosial.

Pada masa Khilafah Abbasiyah (750–1258 M), tanggung jawab ini dijalankan secara nyata. Khalifah seperti Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun mendirikan lembaga pendidikan dan riset berkelas dunia, seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Pendidikan disediakan gratis, tenaga pengajar digaji oleh negara, dan riset didanai penuh dari baitul mal. Dari sistem ini lahir para ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Biruni, yang ilmunya menjadi fondasi sains modern.

Islam menegaskan bahwa negara bukan hanya pengatur, tetapi pelindung dan penjamin hak rakyat untuk memperoleh ilmu. Ketika syariat Islam ditegakkan, pendidikan bukan barang mewah, melainkan hak seluruh umat manusia.

Solusi Sistemik: Kembali kepada Syariat Islam

Tragedi runtuhnya Ponpes Al-Khoziny bukan sekadar cerita duka. Ia adalah cermin retak dari sistem yang gagal melindungi generasi bangsa. Jika negara terus abai dan menyerahkan pendidikan pada mekanisme pasar, maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang.

Sudah saatnya negeri ini kembali pada sistem yang menempatkan ilmu dan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama—bukan pada kepentingan politik atau kapital. Yaitu dengan sistem Islam dalam bingkai Daulah Islamiyyah yang adil dan menyeluruh, yang mampu menjamin pendidikan aman, berkualitas, dan gratis untuk seluruh rakyatnya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Jumat, 17 Oktober 2025

Oleh: Rita Handayani 

(Penulis)



Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk merevisi regulasi yang kini mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) atau ekspatriat memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (KOMPAS.com, 17 Oktober 2025) merupakan titik balik krusial dalam tata kelola kekayaan negara. Kebijakan ini, yang disokong dalih untuk mencapai "standar bisnis internasional," harus disikapi dengan kritis. Dalam perspektif Islam Kaffah, langkah ini bukan sekadar urusan profesionalisme, tetapi adalah ancaman serius terhadap kedaulatan ekonomi umat.

BUMN: Harta Milik Umum yang Wajib Dilindungi

Dalam hukum Islam (Syariah), BUMN yang mengelola sumber daya vital (seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur strategis seperti maskapai Garuda Indonesia) dikategorikan sebagai Harta Milik Umum (Milkiyah ‘Ammah). Konsekuensinya:

  1. Pengelolaan adalah Amanah Negara: Harta milkiyah ‘ammah wajib dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk mencari laba maksimal (profit-oriented) seperti perusahaan swasta di bawah sistem kapitalisme.
  2. Kedaulatan di Tangan Umat: Kepemilikan dan kendali atas aset strategis ini harus berada di tangan umat Islam.

Ketika Presiden menyatakan bahwa regulasi telah diubah agar "ekspatriat, non-Indonesia bisa memimpin BUMN kita," ini secara substansi adalah penyerahan amanah kekuasaan (wilayah) atas aset umat kepada pihak asing.

Bahaya Pokok (Ancaman) Pimpinan Asing Menurut Syariah

Mengangkat WNA, yang notabene tidak terikat pada akidah dan hukum Islam, ke posisi puncak BUMN menimbulkan dua ancaman fundamental:

1. Ancaman terhadap Kedaulatan Politik dan Ekonomi

Keputusan strategis BUMN sangat memengaruhi kebijakan nasional. Apabila puncak kepemimpinan diisi oleh WNA, mereka berpotensi besar membawa kepentingan geopolitik dan ekonomi negara asalnya atau kepentingan korporasi global.

Dalam fiqih siyasah (politik Islam), jabatan kepemimpinan strategis dilarang diserahkan kepada non-Muslim, apalagi WNA. Mengapa? Karena pemimpin di posisi puncak adalah pembuat keputusan yang akan menentukan arah kebijakan, yang harus tunduk sepenuhnya pada kemaslahatan umat.

  • Pelemahan Posisi Tawar: Ekspatriat yang ditunjuk mungkin menjadi jembatan bagi perusahaan atau kekuatan asing untuk mengamankan kontrak, sumber daya, dan pasar, yang pada akhirnya merugikan negara.
  • Alih-Fungsi Aset: WNA yang berorientasi kapitalis akan cenderung memprioritaskan laba dan divestasi (penjualan aset) demi efisiensi, mengabaikan fungsi sosial BUMN sebagai penyedia layanan dasar dan stabilitas ekonomi nasional.

2. Penolakan terhadap Profesionalisme Lokal

Dalih untuk merekrut "talenta-talenta terbaik" menunjukkan kelemahan internal yang diselesaikan dengan cara yang keliru. Islam Kaffah tidak menolak profesionalisme; sebaliknya, Islam memerintahkan penggunaan ahli (kafa'ah) dan orang yang berintegritas (amanah).

Jika memang talenta lokal tidak memadai, solusi Islam adalah:

  1. Reformasi Pendidikan Total: Membangun sistem pendidikan yang mencetak ahli dan profesional Muslim dengan standar keilmuan tertinggi, yang juga terikat pada etika syariah.
  2. Pemanfaatan Tenaga Ahli (Konsultan): Tenaga ahli asing dapat digunakan sebagai konsultan atau tenaga alih teknologi dengan kontrak jelas. Namun, kekuasaan pengambilan keputusan dan kepemimpinan wajib dipegang oleh kaum Muslim yang berjuang untuk tegaknya syariat.

Kapitalisme Gagal: Kepemimpinan BUMN Harus Kembali ke Syariah

Kebijakan Direksi WNA adalah gejala dari sistem kapitalisme sekuler yang telah gagal. Kapitalisme mendefinisikan keberhasilan negara dari besaran laba (return) BUMN, bukan dari terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Oleh karena itu, BUMN dianggap setara dengan perusahaan swasta yang boleh dipimpin siapapun asal menguntungkan.

Islam memberikan solusi tuntas:

  • Kepemimpinan Berbasis Iman dan Kompetensi: Pemimpin BUMN haruslah Muslim yang memiliki kompetensi teknis sekaligus integritas moral tinggi (kafa'ah dan amanah), sesuai tuntutan syariah.
  • Pengelolaan Berbasis Kemaslahatan: BUMN dikelola untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa publik yang stabil dan terjangkau, serta menjadi sumber utama pendanaan negara (Baitul Mal), bukan sekadar lahan bisnis asing.

Umat Islam wajib menolak kebijakan yang secara ideologis melemahkan kedaulatan ekonomi bangsa. Hanya dengan kembali pada syariat Islam Kaffah, kedaulatan atas harta milik umum dapat dipertahankan, dan kepemimpinan BUMN dapat dijamin integritasnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan kepentingan asing.

Oleh: Sendy Novita, S.Pd., M.M. (Praktisi Pendidik dan Pemerhati Masyarakat)




Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan dengan tren Rp10.000 di tangan istri yang tepat. Banyak ibu rumah tangga membuat konten yang menggambarkan bagaimana mereka berusaha mengatur uang sepuluh ribu rupiah untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang menjadikannya tantangan belanja cerdas, ada pula yang memaknainya sebagai satire halus terhadap kenyataan pahit: di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, uang sepuluh ribu kini tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga.


Sebagian ibu benar-benar mencoba menunjukkan kreativitas dan kemampuan manajemen rumah tangga mereka. Namun, di balik itu, ada pesan getir yang terselip. Bagaimana mungkin rakyat harus bertahan hidup dengan nominal sekecil itu, sementara kebutuhan pokok terus melambung dan lapangan kerja semakin sempit? Apakah cukup hanya dengan istri yang tepat untuk menyelesaikan masalah struktural ekonomi yang carut-marut?


Fenomena ini sejatinya mencerminkan satire sosial atas kegagalan sistem ekonomi sekuler kapitalistik. Sistem yang selama ini diterapkan di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia—menjadikan uang dan materi sebagai pusat kehidupan—telah menciptakan ketimpangan luar biasa. Kekayaan menumpuk pada segelintir elite dan korporasi besar, sedangkan rakyat kecil semakin terhimpit oleh biaya hidup, pajak, dan harga kebutuhan yang tak terkendali.


Ekonomi Sekuler: Sistem yang Tak Pernah Berpihak pada Rakyat


Sistem ekonomi sekuler memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, kebijakan ekonomi disusun bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi kepentingan pasar dan investasi. Pemerintah lebih sibuk menarik modal asing, memberi karpet merah bagi investor, sementara petani, buruh, dan pedagang kecil dibiarkan berjuang sendiri dalam kerasnya persaingan.


Akibat dari paradigma sekuler ini bisa kita rasakan hari ini:

  • Harga bahan pokok tak sebanding dengan pendapatan masyarakat.
  • Angka pengangguran terus meningkat.
  • Kesenjangan sosial makin lebar, dan
  • Kemiskinan menjadi warisan antargenerasi.

Faktanya, sebagian besar sumber daya alam dikuasai swasta dan asing. Tambang emas, batu bara, minyak, bahkan air dikelola korporasi yang berorientasi pada laba. Rakyat hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Inilah bukti bahwa sistem ekonomi kapitalis telah gagal total dalam mewujudkan kesejahteraan. Ia hanya melahirkan kesenjangan, bukan keadilan.


Islam: Sistem Ekonomi yang Adil dan Manusiawi, sebagai aturan dari Sang Pencipta


Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam memiliki politik ekonomi yang khas dan manusiawi. Islam tidak menilai kesejahteraan dari besarnya PDB atau pertumbuhan ekonomi, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Negara dalam pandangan Islam wajib meriayah (mengurus) rakyatnya, memastikan setiap orang mendapatkan akses terhadap sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.


Nabi Muhammad ï·º sendiri mencontohkan bagaimana negara Islam pertama di Madinah mengatur ekonomi dengan prinsip keadilan dan keberkahan. Rasulullah ï·º:

  1. Menetapkan kepemilikan publik dan negara. Sumber daya alam seperti air, padang rumput, dan api (energi) tidak boleh dimonopoli. Semua itu harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.
  2. Melarang riba dan penimbunan harta. Sistem bunga dan spekulasi yang menjadi tulang punggung ekonomi kapitalis justru menjadi sebab kesengsaraan umat. Dalam Islam, uang tidak boleh menjadi komoditas, melainkan alat tukar yang adil.
  3. Menegakkan zakat dan distribusi kekayaan. Zakat bukan sekadar amal, melainkan instrumen ekonomi yang mendistribusikan kekayaan dari orang mampu kepada yang membutuhkan.
  4. Menjamin pekerjaan bagi laki-laki dewasa. Negara Islam bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja dan memberi bantuan bagi yang belum mampu bekerja.
  5. Menyediakan kebutuhan dasar secara gratis. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara, bukan dikomersialisasi seperti saat ini.

Bukti Historis Kesejahteraan di Bawah Sistem Ekonomi Islam


Bukti nyata dari penerapan sistem ekonomi Islam dapat kita lihat pada masa Khilafah Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz. Pada masa Umar bin Khaththab, Baitul Mal (perbendaharaan negara) berfungsi optimal dalam mendistribusikan kekayaan. Beliau menolak memungut pajak dari rakyat yang sedang kesulitan dan memastikan setiap orang, termasuk non-Muslim, mendapatkan haknya.


Sementara itu, pada masa Umar bin Abdul Aziz, keadilan ekonomi mencapai puncaknya. Dikisahkan bahwa pada masa pemerintahannya, nyaris tidak ada lagi rakyat yang mau menerima zakat, karena semua sudah tercukupi kebutuhannya. Gaji pegawai dinaikkan, harga stabil, dan negara tidak berutang kepada siapa pun. Semua itu karena Islam diterapkan secara kaffah, bukan setengah hati.


Bandingkan dengan kondisi sekarang. Meski teknologi semakin maju dan sumber daya alam melimpah, kemiskinan tetap menjadi momok. Ini menunjukkan bahwa bukan karena kurangnya potensi, tetapi karena sistem yang salah. Selama kita masih berpegang pada sistem sekuler kapitalistik, penderitaan ekonomi akan terus berulang dalam berbagai bentuk.


Menuju Solusi Sistemik: Kembali kepada Islam Kaffah


Islam bukan sekadar sistem spiritual, tetapi juga sistem hidup yang menyeluruh (kaffah). Al-Qur’an telah memberikan pedoman yang sempurna tentang bagaimana mengatur harta, berdagang, hingga menyalurkan rezeki. Ketika Al-Qur’an dijadikan dasar kebijakan, maka akan lahir pemimpin yang amanah, rakyat yang jujur, dan ekonomi yang penuh keberkahan.


Sudah saatnya umat menyadari bahwa Islam bukan hanya agama pribadi, tetapi sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia, termasuk kemiskinan. Nabi Muhammad ï·º telah mencontohkan bagaimana sebuah negara yang berlandaskan wahyu mampu menyejahterakan rakyatnya. Para khalifah setelah beliau meneruskan sistem itu dengan adil dan amanah.


Maka, solusi atas kemiskinan dan pengangguran bukan sekadar program bantuan sosial atau kampanye moral untuk hemat. Solusi satu-satunya adalah kembali pada sistem Islam secara kaffah, di mana negara menjalankan fungsi pengurusan rakyat berdasarkan syariat, bukan kepentingan pasar. Dalam sistem itu, setiap individu dijamin kebutuhannya, setiap sumber daya dikelola untuk kemaslahatan umum, dan setiap kebijakan berpijak pada keadilan Ilahi. Wallahu alam.


Oleh: Rosy Anna A.Md.M 

(Penulis dan Aktivis Kota Cepu)




Akhir-akhir ini media sosial kembali dihebohkan dengan adanya tagar #BoikotTrans7 di Instagram, Facebook, dan Tiktok. Tagar ini menjadi bentuk protes netizen, terutama bagi kalangan santri maupun masyarakat pesantren.

Kisruh bermula dari program Xpose di Trans7 yang menayangkan kehidupan santri yang bersalaman dengan cara jongkok atau menunduk di hadapan guru dan kyai. Bagi sebagian orang, hal ini tampak sebagai bentuk adab dan penghormatan. Namun bagi sebagian lainnya, hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah ini warisan ketulusan atau sisa feodalisme yang tidak disadari?

Batas Tipis Antara Adab dan Feodalisme Budaya

Dalam lingkungan pesantren, penghormatan kepada guru memang menjadi bagian penting dalam pendidikan adab. Namun, penghormatan yang menekankan kerendahan fisik seperti jongkok atau ngesot perlu dicari tahu kembali dalam konteks ajaran Islam yang menegaskan kesetaraan manusia di hadapan Allah.

Dalam Islam, adab memang penting, tetapi tidak dengan menghilangkan martabat manusia. Adab tak berarti tunduk, hormat tidak berarti merendahkan. Adab seharusnya menumbuhkan rasa hormat dan cinta karena ilmu, bukan rasa takut atau ketundukan sosial. Bila penghormatan berubah menjadi pengagungan atau pengkultusan manusia, maknanya berubah dari adab menjadi feodalisme budaya.

Keteladanan Rasulullah dalam Menolak Penghormatan Berlebihan

Rasulullah adalah suri teladan kita, seharusnya kita belajar dari beliau, yang menolak bentuk penghormatan berlebihan. Ketika para sahabat ingin berdiri, menunduk, atau memperlakukan beliau seperti raja, Nabi menegur dan melarangnya. Beliau menegaskan bahwa bentuk penghormatan sejati bukan pada posisi tubuh, melainkan pada ketulusan hati dan ketaatan pada nilai.

Islam mengajarkan untuk menghormati guru tanpa kehilangan kesetaraan antar sesama manusia. Al-Qur'an telah menegaskan bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh takwa, bukan gelar, jabatan, maupun derajat manusia.

Menjaga Martabat Diri dalam Bingkai Adab dan Tauhid

Menghormati guru dan ulama adalah bagian adab, namun penghormatan itu tidak boleh merendahkan martabat diri. Guru dimuliakan karena ilmu dan keteladanan. Bukan status atau jabatan. Adab lahir dari tauhid, akan kesetaraan manusia dihadapan Allah.

Wallahualam bishawab.







Kamis, 09 Oktober 2025


Oleh: Anizah

(Aktivis dan Penulis)




Praktik kumpul kebo atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, dulunya dianggap sebagai aib sosial yang besar. Pelakunya bisa mendapat stigma, dikucilkan, bahkan diusir dari lingkungan tempat tinggalnya. Namun hari ini, fenomena tersebut justru mulai dianggap lumrah dan bahkan menjadi tren, terutama di kalangan remaja dan milenial.

Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari alasan ekonomi hingga keinginan untuk saling mengenal lebih jauh sebelum menikah. Istilah "kumpul kebo" pun kini bergeser menjadi living together, sebuah istilah yang terkesan lebih modern, keren, dan trendy.

Namun, benarkah tinggal bersama sebelum menikah akan membuat pasangan lebih saling mengenal dan memperkuat hubungan? Faktanya, tidak sedikit kasus kekerasan bahkan pembunuhan yang bermula dari hubungan semacam ini.

Potret Buram Gaya Hidup Bebas

Contoh nyata adalah kasus pembunuhan sadis yang terjadi pada akhir Agustus lalu. Seorang pria bernama Alvi Maulana (24) membunuh kekasihnya, TAS (25), yang merupakan pasangan kumpul kebo. Tragisnya, korban dimutilasi hingga ratusan potong.

Peristiwa ini mengguncang masyarakat, menjadi potret buram dari gaya hidup bebas tanpa ikatan pernikahan. Dan ini bisa jadi hanyalah satu dari sekian banyak kasus kejahatan moral yang tidak terekspos media.

Akar Masalah: Sistem Kapitalis Sekuler

Fenomena ini tidak lepas dari sistem hidup yang dianut masyarakat saat ini, yakni sistem kapitalis sekuler. Sistem ini menempatkan kebebasan individu di atas segalanya, termasuk dalam hal moral dan gaya hidup. Agama dipisahkan dari kehidupan publik dan pemerintahan, sehingga standar benar atau salah ditentukan oleh manusia, bukan oleh wahyu atau nilai-nilai ilahi.

Dalam sistem ini, pacaran dan tinggal bersama tanpa pernikahan dianggap hal biasa. Media, pendidikan, dan budaya populer seolah melegitimasi gaya hidup bebas ini. Kurikulum pendidikan semakin sekuler, nilai-nilai agama dikikis, dan pendidikan Islam hanya diajarkan secara dangkal, tidak menyentuh akar pembentukan keimanan dan moral.

Negara pun dianggap gagal dalam membentengi generasi muda dari pengaruh pergaulan bebas dan pornografi. Sanksi hukum terhadap kumpul kebo pun lemah. Berdasarkan Pasal 411 ayat (1) dan Pasal 416 KUHP, pelaku hanya dapat dipenjara maksimal satu tahun atau didenda maksimal sepuluh juta rupiah, dan itu pun hanya jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan secara langsung. Masyarakat umum tidak memiliki kewenangan hukum untuk melaporkan.

Amar ma’ruf nahi munkar pun kian tergerus. Masyarakat yang berani menegur perbuatan maksiat justru kerap dianggap ikut campur urusan pribadi, bahkan bisa dilaporkan balik.

Solusi Islam Menutup Pintu Perzinahan

Islam memandang zina sebagai perbuatan keji dan dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra ayat 32:

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Islam tidak hanya melarang zina, tetapi juga menutup semua jalan menuju perzinaan, termasuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Dalam sistem Islam, negara bertugas sebagai penjaga moral rakyat.

Melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, generasi dididik agar memiliki keimanan yang kuat dan menjauhi perbuatan maksiat. Media, konten, dan pergaulan pun diatur agar tidak merusak akhlak masyarakat. Masyarakat didorong untuk aktif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan. Sanksi tegas juga diberlakukan untuk memberikan efek jera, yakni 100 kali cambukan bagi pezina belum menikah, dan rajam bagi pezina yang telah menikah.

Semua itu hanya bisa terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai institusi negara, yaitu Khilafah. Tanpa penerapan sistem ini, upaya menghapus praktik perzinaan hanya akan jadi mimpi kosong.

Khatimah

Fenomena kumpul kebo bukan sekadar masalah gaya hidup atau pilihan pribadi, melainkan bagian dari krisis moral yang lebih besar akibat diterapkannya sistem sekuler. Solusi tuntas terhadap masalah ini bukan dengan sekadar memperkuat hukum atau kampanye moral, melainkan dengan mengganti sistem kehidupan yang ada saat ini dengan sistem Islam yang paripurna.

Oleh: Arimbi N.U

(Aktivis Kota Blora)




Setiap hari, berita dari Gaza semakin memilukan. Reruntuhan bangunan menjadi saksi bisu atas kezaliman yang di luar nalar. Entitas Zionis yang didukung oleh Amerika Serikat terus meningkatkan serangan brutal, bertekad mengosongkan Gaza dari seluruh penduduknya. Sementara itu, dunia hanya menonton. Tak satu pun negara benar-benar berani berdiri di sisi Gaza. Mereka mencari "jalan aman" dengan diam atau memilih "solusi dua negara."

Ilusi Bernama "Solusi Dua Negara"

"Solusi dua negara" bukanlah jalan keluar, melainkan sebuah bentuk keputusasaan Amerika terhadap keteguhan rakyat Gaza dan para mujahidin yang tidak pernah tunduk. Setelah berbagai tekanan, blokade, dan serangan tak mampu membuat mereka menyerah, kini muncul ilusi baru bahwa perdamaian akan tercapai jika Palestina diberi sebagian kecil tanah untuk disebut sebagai "negara merdeka."

Namun, di balik kalimat manis itu tersembunyi fakta pahit: Pengakuan kemerdekaan Palestina dalam versi dua negara berarti pengakuan atas pencaplokan 70 hingga 80 persen wilayah kaum Muslimin oleh entitas Yahudi. Ini bukanlah kemenangan diplomasi, melainkan penyerahan diri secara halus, yang dibungkus dengan nama "perdamaian."

Tragisnya, gagasan ini tidak hanya datang dari Barat. Para pemimpin negeri-negeri Muslim pun ikut menyuarakannya, termasuk Indonesia. Mereka menyebutnya langkah realistis, padahal hakikatnya justru menjauhkan umat dari jalan pembebasan sejati. Seruan "dua negara" hanyalah pengkhianatan terhadap darah syuhada yang telah tumpah demi tanah suci Palestina. Bagaimana mungkin kita berbagi rumah dengan pencuri?

Penjajahan Tak Pernah Berakhir dengan Diplomasi

Sejarah membuktikan bahwa penjajahan tidak pernah berakhir dengan diplomasi yang tunduk pada logika penjajah. Tidak ada penindas yang rela mengembalikan hak hanya karena negosiasi. Zionis tidak pernah berkompromi. Mereka bergerak dengan ideologi, misi, dan dukungan sistem global yang menopangnya. Maka, mustahil Gaza bisa bebas hanya dengan perundingan dan kesepakatan damai.

Solusi sejati bagi Gaza tidak akan lahir dari PBB. Bukan pula dari para pemimpin yang takut kehilangan kursinya. Solusi itu hanya mungkin datang ketika kaum Muslim kembali mengambil peran sebagai pelindung bagi saudaranya.

Solusi Sejati: Jihad dan Tegaknya Khilafah

Solusi atas genosida di Gaza adalah pengerahan pasukan kaum Muslim untuk berjihad fi sabilillah. Bukan perang demi kekuasaan, tetapi perang untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Kaum Muslim sejatinya sangat mampu melawan Zionis. Dengan potensi militer, sumber daya, dan kekuatan iman yang mereka miliki, andai saja ada satu komando yang menyatukan mereka, kemenangan bisa diraih. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Umatku seperti satu tubuh." Bila satu bagian sakit, seluruhnya akan merasakan nyeri.

Namun, saat ini tubuh itu tercerai-berai. Tidak ada satu institusi pun yang benar-benar menjadi penjaga bagi umat Islam, tidak ada yang memimpin pasukan untuk membela Gaza.

Karena itu, seharusnya kaum Muslim menuntut tegaknya Khilafah Islamiyah. Institusi inilah yang akan mempersatukan negeri-negeri Muslim di bawah satu kepemimpinan, satu panji, satu tujuan. Hanya dengan Khilafah, jihad bisa menjadi realitas, bukan sekadar seruan emosional. Hanya dengan Khilafah, potensi umat dapat diarahkan untuk melindungi kehormatan Islam dan kaum Muslimin. Dalam sistem itu, tidak akan ada lagi perbatasan yang memisahkan antara "mereka" dan "kita," sebab seluruhnya adalah satu umat.

Khilafah bukanlah mimpi utopis. Ia adalah janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah SAW. Ia pernah ada, pernah memimpin dunia dengan keadilan, dan akan kembali tegak ketika umat ini sadar bahwa tidak ada kemuliaan tanpa Islam sebagai sistem yang menyeluruh.

Jalan Pembebasan Sejati

Sementara dunia terus menipu kita dengan "solusi dua negara," marilah kita kembali kepada janji Allah bahwa kemenangan hanya milik mereka yang beriman dan berjuang di jalan-Nya. Gaza tidak butuh simpati kosong. Gaza butuh kepemimpinan yang membawa seluruh umat bersatu di bawah panji Rasulullah SAW.

Saatnya berhenti berharap pada solusi yang lahir dari tangan penjajah. Saatnya umat Islam kembali mengambil peran sebagai pembela kebenaran dan penegak keadilan sejati. Karena hanya dengan Islam, perjuangan Gaza akan menemukan arti, dan bumi Palestina akan benar-benar merdeka.

Wallahu a'lam bi showab.

Jumat, 03 Oktober 2025

Oleh:  Rati Suharjo 

(Pengamat Kebijakan Publik)





Sepanjang tahun 2025, Indonesia diguncang serangkaian kasus pembunuhan disertai mutilasi yang mengerikan. Peristiwa-peristiwa ini bukan sekadar kriminalitas biasa, melainkan potret runtuhnya moral generasi muda di tengah gaya hidup bebas dan sekularisme yang kian mengakar. Fenomena mutilasi menjadi alarm keras bahwa nilai agama dan kemanusiaan telah tergeser oleh budaya kebebasan tanpa batas.

Rentetan Tragedi Kemanusiaan

Rentetan kasus mutilasi ini menorehkan luka mendalam dan menampilkan wajah kelam generasi muda yang kehilangan kendali moral dan rasa kemanusiaan:

  • Ngawi, Jawa Timur: Publik dikejutkan oleh pembunuhan Uswatun Khasanah oleh RTH alias Antok yang kemudian memasukkan jasad korban ke dalam koper.
  • Jombang, Jawa Timur: Agus Soleh tewas di tangan Eko Fitrianto, di mana kepala korban dipenggal hanya karena perselisihan sepele.
  • Serang, Banten: Kasus SA, seorang perempuan hamil yang dicekik pacarnya ML lalu dimutilasi karena desakan menikah.
  • Padang Pariaman, Sumatera Barat: SJ membunuh tiga orang, termasuk SA, lalu memotong jasad korban menjadi sepuluh bagian hanya karena persoalan utang.
  • Surabaya, Jawa Timur: Alvi Maulana (24) membunuh pacarnya, Tiara (25), lalu memutilasi jasadnya menjadi ratusan potongan yang disebar ke berbagai lokasi (detikNews, 8/9/2025).

Rangkaian kasus ini memperlihatkan bahwa fenomena mutilasi tidak bisa dipandang sebagai kasus kriminal semata, melainkan gejala rapuhnya fondasi moral generasi.

Akar Persoalan: Rapuhnya Fondasi Moral

Ada akar persoalan yang jauh lebih mendasar yang berkontribusi pada krisis moral ini:

  1. Sekularisme yang Mengikis Peran Agama: Nilai halal dan haram tidak lagi dijadikan batasan, melainkan dianggap penghalang kebebasan.
  2. Normalisasi Kohabitasi (Kumpul Kebo): Budaya ini menormalisasi hubungan tanpa ikatan pernikahan. Akibatnya, generasi muda terbiasa hidup tanpa komitmen dan tanggung jawab.
  3. Hilangnya Praktik Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Masyarakat cenderung permisif, membuat penyimpangan seperti zina, pergaulan bebas, hingga kekerasan semakin subur.
  4. Lemahnya Penegakan Hukum: Hukuman yang ringan tidak memberi efek jera bagi pelaku kejahatan, menambah keruh keadaan.

Semua faktor ini berpadu membentuk generasi yang menuhankan kebebasan, tetapi kehilangan akhlak, kendali diri, dan nurani kemanusiaan. Padahal, Islam telah menegaskan bahwa membunuh satu jiwa setara dengan membunuh seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32).

Solusi Islam: Mengembalikan Kontrol Moral Generasi

Di tengah krisis moral ini, Islam menawarkan solusi menyeluruh yang menyentuh ranah individu, keluarga, masyarakat, hingga negara:

1. Pembinaan Individu dan Keluarga

  • Pembinaan Akidah dan Akhlak: Islam menekankan pentingnya pembinaan ini sejak dini. Rasulullah ï·º bersabda bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan orang tuanyalah yang membentuknya. Tanggung jawab orang tua dalam menanamkan iman, ibadah, dan akhlak mulia tidak bisa digantikan.
  • Pernikahan sebagai Benteng Moral: Islam menjadikan pernikahan sebagai jalan halal untuk menyalurkan naluri biologis (QS. An-Nur: 32) dan mengharamkan zina (QS. Al-Isra: 32). Pernikahan melahirkan keluarga yang menjadi benteng pertama pembinaan generasi. Hilangnya komitmen terhadap pernikahan dan maraknya kohabitasi justru membuka pintu kerusakan moral.

2. Penegakan Hukum dan Pencegahan Sosial

  • Hukum Hudud dan Qishas: Islam menetapkan hukum setimpal sebagai bentuk perlindungan nyawa dan kehormatan, sekaligus memberi efek jera (QS. Al-Baqarah: 178–179 dan QS. Al-Maidah: 45). Qishas bukanlah balas dendam, melainkan sarana menjaga kehidupan. Tanpa penerapan hukum yang tegas, pelaku kejahatan akan merasa aman.
  • Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Ini adalah kewajiban kolektif masyarakat. Setiap individu memiliki peran menjaga lingkungannya. Rasulullah ï·º menegaskan bahwa siapa saja yang melihat kemungkaran harus mencegahnya dengan tangan, lisan, atau minimal dengan hati. Apabila praktik ini hilang, kejahatan seperti mutilasi akan terus bermunculan.

Mutilasi: Pelanggaran Syariat yang Serius

Islam secara tegas melarang praktik mutilasi. Rasulullah ï·º melarang mutilasi bahkan dalam peperangan (HR Ahmad). Dalam riwayat lain, beliau menyamakan mematahkan tulang mayat dengan mematahkan tulang orang hidup (HR Malik, At-Tirmidzi). Larangan ini menegaskan betapa Islam menjunjung tinggi kehormatan manusia, baik saat hidup maupun setelah mati. Dengan demikian, praktik mutilasi bukan hanya kejahatan hukum, tetapi juga pelanggaran syariat yang serius.

Tragedi mutilasi sejatinya adalah alarm keras bahwa kontrol moral generasi telah runtuh. Menangisi korban atau memperberat pasal pidana tidak akan cukup jika akar masalah tidak diselesaikan. Solusi sejati hanya akan hadir dengan mengembalikan kehidupan pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Penerapan syariat Islam secara kaffah akan membangun generasi yang memiliki benteng akidah, akhlak, dan hukum yang tegas. Tanpa itu, bangsa ini hanya akan terus menjadi saksi tragedi kemanusiaan yang mengerikan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Selasa, 30 September 2025

Oleh: Rati Suharjo 
(Pengamat Kebijakan Publik)

Sebuas-buasnya binatang di alam liar, tak ada yang tega melukai darah dagingnya sendiri. Harimau rela mengorbankan diri, singa menahan lapar, dan burung kecil mempertaruhkan nyawa demi melindungi anak-anaknya. Maka, betapa ironis dan tragis ketika manusia—makhluk yang dibekali akal dan nurani—justru tega menyakiti, menelantarkan, bahkan menghabisi buah hati mereka sendiri.

Indonesia dalam Status Darurat Filisida

Realitas memilukan ini kini menjangkiti masyarakat kita. Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyebut Indonesia berada dalam status darurat filisida. Dalam psikologi forensik, fenomena ini dikenal sebagai maternal filicide-suicide, yaitu seorang ibu yang membunuh anak-anaknya lalu mengakhiri hidupnya sendiri. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, lebih dari 60 anak meregang nyawa di tangan orang tua mereka (sindonews.com, 13/1/2025).

Kasus terbaru yang mengguncang adalah tragedi yang menimpa EN (31), seorang ibu yang ditemukan gantung diri bersama dua buah hatinya, AA (9) dan AAP (11 bulan). Diduga, EN terlebih dahulu meracuni anak-anaknya. Dalam surat wasiat yang ditinggalkan, ia meluapkan keluh kesah akibat tekanan ekonomi dan lilitan utang suaminya (kompas.com, 8/9/2025).

Akar Masalah: Kapitalisme-Demokrasi yang Mengekang

Peristiwa ini jelas bukan sekadar tragedi individual. Ada faktor besar yang melatarbelakanginya: beban ekonomi yang menghimpit, konflik rumah tangga, lemahnya dukungan sosial, hingga rapuhnya ketahanan jiwa. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya adalah sistem hidup yang mengekang manusia hari ini.

Di bawah naungan sistem demokrasi-sekular, agama direduksi sebatas ibadah ritual, sementara aturan kehidupan dikendalikan oleh logika manusia yang terbatas. Sistem ini melahirkan generasi pragmatis—rapuh iman, dangkal spiritualitas, dan mudah menyerah—hingga menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas.

Padahal, Islam dengan tegas melarangnya. Hidup adalah amanah Allah Swt., bukan milik kita untuk diakhiri sesuka hati. Bunuh diri adalah dosa besar. Allah Swt. berfirman dalam Al-Baqarah ayat 195:

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

Demikian pula, Islam menegaskan bahwa hidup adalah ujian dan keniscayaan. Kesulitan hidup—baik berupa kemiskinan, utang, konflik, maupun cobaan lainnya—harus dihadapi dengan memperkuat iman, bersabar, dan menjadikan syariat Islam sebagai pegangan. Allah Swt. berfirman:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: 'Kapankah datangnya pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Solusi Komprehensif: Penerapan Islam Total

Penyelesaian masalah filisida ini tidak bisa dibebankan hanya kepada individu, keluarga, atau lembaga pendidikan. Negara wajib hadir dan melakukan perubahan mendasar:

  1. Sistem Pendidikan Sekuler harus diganti dengan kurikulum berbasis akidah Islam untuk membentuk kepribadian yang kokoh.
  2. Sistem Ekonomi Kapitalisme yang menindas harus ditinggalkan, diganti dengan ekonomi Islam yang menempatkan negara sebagai pelayan umat, bukan sekadar regulator pasar.

Semua ini hanya mungkin terwujud apabila Islam diterapkan secara total dalam bingkai daulah Islamiyah. Selama sistem demokrasi-kapitalisme dipertahankan, tragedi filisida serupa hanya akan terus berulang dan meninggalkan luka sosial yang tak kunjung sembuh.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rabu, 24 September 2025

Oleh: Dewi Jafar Sidik

(Ibu Rumah Tangga)




Peribahasa "kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah" menggambarkan betapa besar dan tanpa batasnya kasih sayang seorang ibu. Namun, ironisnya, dalam kehidupan modern, kita justru menyaksikan peristiwa tragis di mana seorang ibu tega mengakhiri hidup anaknya.

Salah satu kasus terbaru menimpa seorang ibu berinisial EN (34) di Kabupaten Bandung yang ditemukan tewas gantung diri bersama dua anaknya. Diduga, ia meracuni kedua anaknya sebelum mengakhiri hidupnya sendiri. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengategorikan kasus ini sebagai filisida maternal, yaitu pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya.

Bukan Sekadar Masalah Individu

Kasus seperti ini bukanlah yang pertama. Beratnya beban hidup dan tekanan ekonomi dapat mengikis akal sehat, bahkan menggerus fitrah keibuan. Padahal, ibu seharusnya menjadi sosok yang paling mencintai anaknya—anak yang telah dikandung, diperjuangkan, dan diharapkan menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga.

Namun, filisida maternal tidak bisa dipandang hanya sebagai masalah individu atau keluarga. Ada banyak faktor yang saling berkaitan dan bersifat sistemis. Ketika sistem kehidupan bermasalah, tidak mengherankan jika melahirkan individu-individu yang bermasalah.

Beberapa faktor penyebabnya antara lain:

  • Lemahnya Keimanan Individu. Keimanan yang rapuh membuat seorang ibu mudah putus asa dan gelap mata, tidak lagi memandang anak sebagai anugerah dan amanah dari Tuhan.
  • Rapuhnya Ketahanan Keluarga. Dalam sistem kapitalisme, ibu sering kali dipaksa menanggung beban ekonomi keluarga. Akibatnya, kehadiran anak dianggap sebagai beban, bukan kebahagiaan.
  • Melemahnya Peran Masyarakat. Kapitalisme menciptakan masyarakat yang individualis dan minim kepedulian. Kerabat dan tetangga sering abai terhadap ibu yang sedang menghadapi masalah, sehingga tidak ada ruang untuk berbagi beban.
  • Abainya Peran Negara. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru tampak abai terhadap kesejahteraan rakyat. Alih-alih melindungi, para penguasa lebih sibuk dengan retorika pertumbuhan ekonomi dan investasi, sementara banyak rakyat tenggelam dalam penderitaan.

Solusi yang Gagal dan Kebutuhan Perubahan Mendasar

Pemerintah sering kali hanya berhenti pada pendataan dan sanksi, tanpa memberikan solusi mendasar. Depresi pascamelahirkan, kesulitan ekonomi, dan keruntuhan keluarga membuat ibu kehilangan pegangan. Seharusnya, negara menjadi pihak utama dalam melindungi ibu, menanamkan keimanan yang kokoh, serta menghadirkan aturan yang menyejahterakan.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, negara lebih mengabdi pada kepentingan pemilik modal. Kebijakan publik sering kali menguntungkan segelintir kapitalis, bukan rakyat. Situasi ini tidak bisa dibiarkan dan harus ada perubahan mendasar.

Islam sebagai Solusi Tuntas

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memberikan jaminan penuh agar perempuan, khususnya ibu, dapat menjalankan perannya dengan mulia. Ibu dijamin kebutuhannya. Saat hamil dan menyusui, ia mendapat keringanan bahkan boleh tidak berpuasa demi menjaga kesehatan diri dan bayinya.

Dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) yang melindungi perempuan dari berbagai kesulitan, termasuk masalah ekonomi. Ada tiga mekanisme utama yang ditawarkan Islam:

  1. Nafkah. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah. Ia berhak mendapatkan nafkah dari suami atau walinya, sehingga dapat fokus menjalankan fungsi keibuannya.
  2. Dukungan Masyarakat. Islam menjunjung tinggi prinsip tolong-menolong. Jika ada anggota masyarakat yang kesulitan, yang lain akan membantu.
  3. Peran Negara. Negara dalam Islam wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya, terutama fakir miskin. Kisah Khalifah Umar bin Khaththab yang memikul gandum untuk seorang ibu miskin adalah contoh nyata perhatian negara.

Kepedulian ini terwujud karena Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang adil dan menyejahterakan. Dengan pos-pos pemasukan negara yang halal, kas negara cukup kuat untuk menjamin kebutuhan rakyat secara merata, termasuk ibu dan anak.

Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, kaum ibu akan terlindungi lahir dan batin. Mereka dapat mengasuh dan mendidik anak tanpa terbebani persoalan ekonomi. Dengan begitu, kasus filisida maternal dapat dicegah, dan generasi unggul pun dapat diwujudkan.

Wallahu a’lam bissawab.

Senin, 22 September 2025

Oleh: Rati Suharjo 

(Pengamat Kebijakan Publik)




Setiap tahun, umat Islam di berbagai negara memperingati hari lahir Nabi Muhammad ï·º dengan beragam tradisi. Ada yang mengadakan pengajian, bershalawat, membaca Barzanji, berbagi makanan, hingga memberi santunan kepada anak yatim dan dhuafa. Di Banten, tradisi Panjang Mulud masih dijaga sebagai wujud cinta kepada Rasulullah ï·º. Namun, tradisi yang indah ini seharusnya tidak hanya dijadikan warisan budaya, tetapi juga menjadi pengingat perjuangan Nabi yang penuh pengorbanan.


Salah satu contohnya terlihat pada peringatan Maulid di Masjid Agung Terate, Serang, Banten, Jumat malam, 12 September 2025. Ratusan jamaah hadir memenuhi masjid. Anak-anak muda Generasi Z menjadi panitia utama, memadukan kreativitas modern dengan nilai-nilai Islam. Suasana yang meriah namun sarat makna ini menunjukkan bahwa cinta kepada Rasulullah ï·º terus hidup dan diwariskan lintas generasi (inews.com, 13/9/2025).


Namun, di balik semaraknya perayaan Maulid, umat Islam masih menghadapi kenyataan pahit. Palestina, Suriah, Yaman, dan banyak negeri Muslim lainnya masih dilanda perang dan penjajahan. Jutaan saudara kita hidup miskin dan tertindas. Di sisi lain, tidak sedikit umat yang terlena dengan kehidupan dunia, melupakan amanah Rasulullah ï·º untuk menegakkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Akibatnya, peringatan Maulid sering kali hanya menjadi acara tahunan tanpa makna perjuangan.


Padahal, Maulid Nabi seharusnya menjadi momen untuk merenungkan perjuangan Rasulullah ﷺ. Beliau tidak hanya berdakwah tentang ibadah, tetapi juga membangun masyarakat dan peradaban Islam. Setelah 13 tahun berdakwah di Mekah dengan penuh tekanan, Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah dan mendirikan negara Islam pertama. Peradaban ini berkembang pesat selama lebih dari 13 abad, hingga akhirnya Khilafah Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924 akibat pengkhianatan Mustafa Kemal Atatürk.


Sejak saat itu, negeri-negeri Muslim terpecah, dijajah, dan dipimpin dengan sistem sekuler, baik demokrasi maupun monarki. Syariat Islam dihapus dari kehidupan publik, budaya Barat dipaksakan, bahkan adzan dan jilbab pernah dilarang di Turki. Dampaknya terasa hingga kini: umat Islam terpecah-belah, lemah, dan kerap menjadi korban ketidakadilan dunia.


Keterpurukan ini bukan disebabkan kurangnya sumber daya atau jumlah penduduk, melainkan karena umat meninggalkan penerapan Islam secara menyeluruh. Banyak yang hanya fokus pada ibadah pribadi dan ritual, tetapi melupakan perjuangan agar ajaran Nabi diterapkan dalam kehidupan nyata. Padahal, Allah berfirman:


"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)


Ayat ini menegaskan pentingnya perjuangan bersama, bukan hanya ibadah pribadi. Karena itu, Maulid Nabi seharusnya menjadi momentum kebangkitan umat untuk kembali kepada Islam secara kaffah (menyeluruh).


Ada tiga langkah penting untuk mewujudkan hal tersebut:


Menegakkan syariat Islam secara total. Islam harus menjadi pedoman hidup di semua bidang: politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, dan budaya.

Mempersatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan. Persatuan adalah kunci membangun kembali peradaban Islam.

Menguatkan dakwah secara berjamaah. Perubahan tidak dapat dicapai sendirian; harus diperjuangkan bersama-sama.

Hanya dengan penerapan Islam kaffah, umat Islam dapat bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi pemimpin dunia. Peringatan Maulid Nabi adalah waktu yang tepat untuk menyalakan kembali semangat perjuangan Rasulullah ï·º, bukan sekadar merayakan hari kelahirannya.


Mari kita berhenti puas dengan acara seremonial semata. Sudah saatnya mengemban amanah Rasulullah ï·º untuk menegakkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan dalam bingkai Daulah Islamiyah. Dengan kesadaran bersama, persatuan, dan perjuangan yang sungguh-sungguh, umat Islam akan kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam.


Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh: Niken Ayu Puspitasari




Dunia kini sedang dihadapkan pada persoalan angka pengangguran yang mengkhawatirkan. Meskipun secara nasional dinyatakan turun, Indonesia tetap mendominasi angka pengangguran, terutama di kalangan anak muda. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain seperti AS, Cina, Inggris, dan Prancis.


Dengan jumlah penduduk mencapai 286,6 juta jiwa per akhir Juni 2025—meningkat 1,7 juta jiwa—kenaikan ini jelas menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Diperlukan pemikiran cemerlang untuk mengembangkan sistem ekonomi, khususnya dalam penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai sebagai pokok kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya, mampukah pemerintah memecahkan persoalan ini dengan tanggung jawab besar menyediakan dan memfasilitasi lapangan kerja, apalagi dengan sistem ekonomi kapitalis yang mereka upayakan?


Sistem kapitalis, yang diterapkan di banyak negara, diharapkan menjadi solusi untuk perkembangan bangsa. Namun, kenyataannya, sistem ini sering kali gagal dalam praktiknya, terutama dalam sektor ekonomi. Berbagai upaya pemerintah untuk menyukseskan ekonomi kapitalisme, seperti pengadaan job fair yang berujung pada PHK, justru terasa sia-sia. Akibatnya, banyak anak muda kesulitan mencari pekerjaan dan berakhir menjadi pengangguran.


Selain tingginya angka pengangguran, Indonesia juga menghadapi ketimpangan kekayaan yang sangat nyata. Menurut data Celios, kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta rakyat Indonesia. Ironisnya, di saat rakyat kecil kesulitan, pemerintah seolah mengabaikan tanggung jawab mereka untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak.


Kondisi ini semakin memilukan ketika tingginya angka pengangguran diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak, sementara upah hanya sebatas upah minimum. Para "cukong" dan investor akan semakin kaya, sementara rakyat kecil semakin tertindas. Lantas, mengapa masalah ini tak kunjung usai? Jawabannya terletak pada sistem yang salah. Selama sistem kapitalis masih digunakan, angka pengangguran akan terus merajalela dan menjadi masalah utama setiap tahunnya.


Pahlawan yang Terlupakan dan Jeritan Rakyat

Dunia seakan membutuhkan pahlawan yang bisa menaklukkan krisis ini. Mereka yang hidup dalam kecukupan, kenyamanan, dan kelimpahan harta, seolah tinggal di istana kekuasaan yang megah. Mereka selalu mengagung-agungkan ketangguhan masyarakat untuk bangkit dan bertahan. Namun, semua itu hanya kata-kata pemanis. Mereka tidak benar-benar merasakan penderitaan rakyat kecil.


Ironisnya, apa yang rakyat bayarkan kepada pemerintah dalam bentuk pajak tidak membuahkan hasil yang sepadan. Hal ini dikarenakan negara justru memperoleh keuntungan besar, sementara masyarakat miskin menerima imbalan yang jauh lebih kecil dari apa yang mereka bayarkan. Keadaan ini menunjukkan bahwa sistem yang ada justru membuat masyarakat semakin miskin dan menderita.


Sistem Ekonomi Islam sebagai Solusi

Islam sangat menjunjung tinggi keadilan. Sebagai penguasa, diwajibkan untuk menyediakan segala kebutuhan rakyat demi kesejahteraan hidup mereka, seperti memfasilitasi pendidikan, lapangan pekerjaan yang mudah dan layak, pinjaman modal usaha, serta pemberian hak tanah untuk tempat tinggal atau usaha.


Sistem ekonomi Islam tidak akan menimbulkan keuntungan bagi sebagian pihak saja, melainkan mengupayakan semua secara merata dan adil. Ini berbeda dengan sistem kapitalis, di mana penguasa yang memiliki modal besar akan lebih diuntungkan dan semena-mena dalam mengambil keputusan. Mereka menjadi buta terhadap jeritan masyarakat yang membutuhkan, lapar, dan sengsara. Sistem kapitalis ini setiap hari selalu menimbulkan kebobrokan akibat aturan yang dibuatnya sendiri.


Ketika dunia memublikasikan pemborosan dan kerakusan ekonomi secara gamblang, di tengah mereka yang susah bernapas karena kemiskinan, ada masa di mana si miskin tidak lagi memiliki apa pun untuk dimakan selain 'memakan si kaya'. Terdengar sadis, tetapi hal ini bisa terjadi jika ketidakadilan terus berlanjut.


Mewujudkan Generasi Berkualitas dengan Sistem Islam

Penting untuk menerapkan sistem Islam. Dengan sistem ini, kita akan mewujudkan generasi yang berkualitas. Pemerintah dapat memfasilitasi pendidikan terbaik dan memudahkan segala kebutuhan pokok, agar orang tua tidak terbebani secara materi. Selain itu, anak muda akan disokong untuk mengembangkan keahliannya. Ketika waktunya tiba, mereka akan sangat mudah dan siap bekerja sesuai dengan kompetensi masing-masing.


Inilah sistem ekonomi Islam yang harus kita terapkan. Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang takut akan lalai dalam menjalankan kewajibannya kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, bukan yang sibuk mengenyangkan perut sendiri.

Minggu, 21 September 2025

Oleh: Elsa Agustin (KIPG)




Di tengah maraknya pembangunan kota dan derasnya arus urbanisasi, mimpi memiliki rumah yang layak huni masih menjadi perjuangan bagi keluarga di Indonesia. Harga tanah yang terus meroket, biaya cicilan yang mahal, hingga proses administrasi yang rumit seringkali menjadi kendala. Namun, secercah harapan muncul melalui program rumah subsidi pemerintah.


Salah satu contoh nyata terlihat di perumahan Pasadana, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Lahan kosong kini telah berjejer rapi rumah-rumah sederhana yang merupakan bagian dari program pemerintah 3 juta rumah layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Program ini berupaya mengatasi kendala yang selama ini menghantui calon pembeli, seperti uang muka yang tinggi, tenor pendek, dan bunga yang memberatkan.


Pemerintah berupaya memecahkan masalah ini dari dua sisi, yaitu penyediaan dan pembiayaan. Dari sisi penyediaan, rumah dibangun seefisien mungkin agar harganya tetap terjangkau. Sementara dari sisi pembiayaan, skema kredit dibuat lebih ringan dan panjang.


Dengan skema baru ini, masyarakat dengan penghasilan Rp5 juta per bulan bisa mendapatkan cicilan maksimal Rp1,5 juta. Pemerintah bahkan menjangkau mereka yang berpenghasilan di bawah Rp4 juta. Upaya ini mendapat dukungan penuh dari perbankan, seperti BTN, yang menjadi pelaku utama Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi.


Direktur BTN, Nixon LP Napitupulu, menyatakan bahwa perpanjangan tenor menjadi 20-30 tahun bisa menurunkan angsuran bulanan hingga Rp100.000-Rp200.000. Selain itu, biaya tambahan juga dipangkas. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kini ditanggung pemerintah, semakin meringankan beban finansial calon pembeli.


Kritik Terhadap Solusi Program Rumah Subsidi

Dalam pandangan sistem kapitalisme, program pemerintah untuk membantu MBR menyediakan rumah subsidi sering dianggap sebagai solusi sementara. Ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati:

  • Ketergantungan pada subsidi: Program ini bisa menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah, alih-alih memberdayakan masyarakat untuk mengelola keuangan secara mandiri.
  • Tidak tepat sasaran: Subsidi terkadang tidak tepat sasaran, di mana pihak yang tidak membutuhkan justru menerima manfaat, sementara yang benar-benar memerlukan kurang mendapatkan perhatian.
  • Tidak menyelesaikan masalah mendasar: Program subsidi tidak menyelesaikan akar masalah dalam sistem ekonomi, seperti ketidaksetaraan distribusi kekayaan dan kesenjangan sosial.

Masalah perumahan bersubsidi adalah permasalahan mendasar yang berulang, karena konsep pembangunan perumahan di negara kapitalis seringkali berorientasi pada bisnis, bukan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.


Alternatif Solusi dalam Sistem Islam

Sistem Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Dalam Islam, rumah bukanlah sekadar komoditas, melainkan hak yang harus dijamin oleh negara. Tidak ada ruang untuk spekulasi atau eksploitasi dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini.


Sistem Islam akan mengelola sumber daya alam dan kepemilikan umum secara langsung. Hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat dalam bentuk pelayanan publik, termasuk penyediaan hunian. Pembiayaannya berasal dari pos Baitul Mal, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, zakat, fai’, kharaj, dan jizyah.


Dana tersebut digunakan untuk membangun rumah bagi rakyat miskin, membantu mereka yang tidak memiliki hunian, atau menyediakan layanan pembiayaan tanpa riba, bukan diserahkan kepada korporasi atau pihak swasta yang mencari keuntungan semata.


Dalam pandangan Islam, rumah adalah kebutuhan primer manusia yang harus terpenuhi. Allah SWT berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu.” (QS Ath-Thalaq: 6). Sistem Islam menjamin setiap warga negaranya mendapatkan jaminan kesejahteraan. Selain sandang dan pangan, negara bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan pokok individu, termasuk tempat tinggal. Rasulullah ï·º bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengurus rakyatnya, dan ia bertanggung jawab atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Minggu, 14 September 2025

Oleh: Rati Suharjo (Pemerhati Kebijakan Publik)



Ironi Negara Agraris di Tengah Kenaikan Harga Beras

Indonesia, yang kerap dijuluki negara agraris dengan sawah membentang luas di berbagai wilayah, kini menghadapi kenyataan pahit. Di tengah potensi sumber pangan yang melimpah, rakyat harus menanggung beban lonjakan harga beras yang kian tak terkendali. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan ketiga Agustus 2025, sebanyak 200 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras, sebuah angka yang ironis dan mengkhawatirkan.

Kondisi ini menambah berat beban masyarakat, karena beras sebagai makanan pokok adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap hari, di samping kebutuhan pokok lainnya.

SPHP: Jurus Jitu yang Gagal?

Untuk meredam kenaikan harga, pemerintah meluncurkan "jurus ampuh" melalui Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), 800 ribu ton beras digelontorkan ke berbagai jaringan distribusi, mulai dari ritel modern, pasar tradisional, hingga lembaga pemerintah daerah. Program ini diharapkan dapat mempermudah masyarakat memperoleh beras dengan harga terjangkau dan menekan harga pasar.

Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Selain distribusi beras SPHP yang belum merata, kualitas berasnya pun menjadi sorotan. Investigasi Ombudsman RI menemukan banyak pedagang di pasar tradisional mengeluhkan mutu beras SPHP yang rendah, membuat konsumen enggan membeli. Akibatnya, banyak pedagang dan ritel memilih untuk tidak memajang atau menjual produk tersebut.

Melihat fakta ini, program SPHP tak lebih dari panggung sandiwara semata. Solusi yang ditawarkan bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar permasalahan.

Akar Masalah: Sistem Kapitalisme-Demokrasi

Sesungguhnya, masalah ini bukanlah sekadar soal teknis distribusi. Ini adalah cerminan lemahnya visi ketahanan pangan dan keberpihakan negara terhadap rakyat, khususnya petani. Padahal, seharusnya negara agraris seperti Indonesia mampu menggenjot produksi petani lokal dengan menyediakan bibit unggul, obat-obatan, hingga alat pertanian canggih untuk meningkatkan produktivitas.

Sayangnya, semua masalah ini berakar dari sistem kapitalisme-demokrasi yang diterapkan. Sistem ini melahirkan penguasa bermental pedagang, bukan pengurus rakyat. Alih-alih mendorong kedaulatan pangan, negara justru mengandalkan impor, bergantung pada mekanisme pasar, dan menyerahkan hajat hidup rakyat ke tangan korporasi besar. Akibatnya, petani lokal terus terpinggirkan, infrastruktur pertanian terbengkalai, dan rakyat dipaksa menanggung mahalnya harga pangan. Jika pola ini terus berlanjut, dampaknya akan semakin memiskinkan petani dan menjerat rakyat dalam harga pangan yang tinggi.

Khilafah: Solusi Tuntas untuk Kedaulatan Pangan

Berbeda halnya ketika Islam diterapkan dalam sebuah Daulah Islamiyah. Dalam sistem Khilafah, pertanian menjadi sektor prioritas negara. Penguasa atau khalifah adalah imam yang mengurus rakyat, bukan mencari keuntungan.

  • Optimalisasi Lahan: Setiap lahan produktif dioptimalkan agar tidak ada tanah yang terbengkalai. Negara akan mengambil alih tanah mati untuk diberikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, sesuai sabda Rasulullah ï·º: "Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Ahmad).
  • Pengaturan Kepemilikan: Kepemilikan tanah diatur ketat untuk mencegah monopoli dan spekulasi oleh korporasi. Tanah luas yang tidak digarap dapat diambil alih negara dan diserahkan kepada petani yang siap mengelolanya.
  • Dukungan Penuh untuk Petani: Negara memberikan kemudahan akses modal, bibit unggul, dan fasilitas agar petani bisa meningkatkan hasil panen. Dukungan ini mencakup pembangunan infrastruktur, riset varietas, dan penghapusan pajak yang memberatkan.
  • Cadangan Pangan dan Distribusi Adil: Negara menyediakan cadangan pangan melalui Baitul Mal untuk menjaga ketersediaan bahan pokok dan mencegah krisis. Hasil pertanian didistribusikan secara adil tanpa campur tangan tengkulak atau mafia pangan. Islam melarang penimbunan bahan makanan, sesuai peringatan Nabi ï·º bahwa pelakunya dijauhkan dari rahmat Allah.

Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, negara fokus mewujudkan swasembada, dan hanya melakukan impor jika keadaan benar-benar darurat.

Kedaulatan Pangan, Bukan Sekadar Slogan

Negara wajib mengelola urusan pangan secara langsung, menjamin ketersediaan dan kualitasnya, serta menyejahterakan petani. Pangan bukan komoditas untuk spekulasi, melainkan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dalam sistem Khilafah, ketahanan pangan bukan sekadar slogan, tetapi terbukti nyata sepanjang sejarah.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Ernanda Luluk Fatimah

(Penulis dan Aktivis Kota Blora)



Akhir-akhir ini, Indonesia kembali diguncang berbagai aksi unjuk rasa. Gelombang demonstrasi ini terjadi di berbagai kota, sebut saja demo warga Pati, unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, hingga aksi "Indonesia Cemas 2025" yang dimotori oleh mahasiswa. Sayangnya, tidak sedikit dari aksi-aksi ini yang berujung tragis. Salah satunya, publik dikejutkan oleh insiden di depan DPR RI, di mana seorang ojol menjadi korban hingga meninggal dunia setelah terlindas kendaraan Brimob, memicu kerusuhan di beberapa kota.


Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa yang salah? Rakyat yang turun ke jalan atau penguasa yang gagal mengayomi rakyatnya?


Ketika Suara Rakyat Dibungkam

Fenomena demonstrasi massal sejatinya terjadi karena adanya kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih mendengar keluhan, pemerintah seringkali terlihat menutup mata dan telinga. Di saat yang sama, media sosial dipenuhi berita tentang bobroknya negeri. Rakyat yang muak akhirnya menyalurkan aspirasi melalui unjuk rasa, berharap suara mereka didengar dan terjadi perubahan.


Unjuk Rasa dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, istilah “unjuk rasa” memang tidak dikenal secara harfiah. Namun, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan kewajiban menasihati pemimpin adalah hal yang sangat ditekankan. Rasulullah ï·º bersabda, "Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud).


Unjuk rasa sendiri masuk kategori muamalah duniawi, yang hukum asalnya mubah (boleh), selama tidak menyalahi syariat. Bahkan, bisa menjadi wajib jika tujuannya untuk meluruskan kebijakan yang zalim. Tentu, hal ini harus dilakukan secara tertib, damai, tidak merusak, tidak mencaci, dan tidak menumpahkan darah, serta berlandaskan argumen kuat, bukan sekadar emosi.


Teladan Kepemimpinan yang Ideal

Seharusnya, seorang pemimpin justru bersyukur jika ada rakyat yang berani mengingatkan kekeliruannya. Al-Qur'an menegaskan bahwa tugas pemimpin adalah mengemban amanah, melindungi rakyat, dan menegakkan keadilan (QS. An-Nisa: 58).


Kita memiliki teladan agung dari Umar bin Khattab ra., khalifah yang tidak segan mengakui kesalahannya, bahkan ketika dikoreksi oleh seorang wanita. Beliau pernah berkata, "Tidak ada kebaikan pada kalian jika tidak menyampaikannya kepada kami, dan tidak ada kebaikan pada kami jika tidak mendengarkan dari kalian." Ada pula kisah seorang sahabat yang menghunus pedang sambil berkata, "Kalau engkau menyimpang, kami akan meluruskanmu dengan pedang ini." Umar justru bersyukur karena masih ada rakyat yang berani menegurnya.


Realitas Penguasa Masa Kini

Sayangnya, realitas saat ini sangat jauh berbeda. Sebagian penguasa tampak kurang siap menerima kritik, bahkan bersikap represif terhadap rakyatnya. Sikap seperti ini memiliki kecenderungan yang mendekati perilaku diktator.


Sejarah mencatat, sistem negara Islam (Khilafah) pernah berdiri tegak lebih dari seribu tahun. Kekuatan utamanya terletak pada ketaatan penguasa dan rakyatnya kepada syariat Islam. Dalam masa itu, keadilan bisa dirasakan oleh seluruh penduduk, termasuk non-Muslim, menunjukkan bahwa sistem Islam adalah salah satu sistem terbaik yang pernah ada.


Sistem pemerintahan Islam bukan sekadar soal simbol atau nama, melainkan bagaimana seluruh aturan dijalankan sesuai syariat. Pemimpin menjadi pengayom umat, yang merasa takut jika rakyatnya lapar atau terzalimi. Di bawah sistem ini, rakyat juga sadar bahwa hidup mereka terikat dengan aturan Allah, bukan hawa nafsu manusia.


Protes Bukanlah Akar Masalah

Maka jelaslah, unjuk rasa bukanlah kesalahan rakyat. Rakyat hanya menyuarakan kegelisahan dan kebenaran yang semestinya didengar. Justru, kesalahan ada pada pemimpin yang menutup telinga dari kritik. Solusi sejati tidak cukup dengan demonstrasi semata, melainkan perubahan sistem menuju pemerintahan Islam yang benar-benar melindungi semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.



Oleh: Azzimatul Ilmi Ramadhina

(Aktivis Kota Blora)


Pembantaian besar-besaran kembali terjadi di Gaza, Palestina. Dengan dikirimnya tentara barbar berjumlah 60.000 pasukan, penjajah berencana merebut dan mengosongkan seluruh wilayah Gaza di tengah tekanan internasional untuk mengakhiri genosida. Upaya mengosongkan Gaza dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pengeboman pusat pendidikan dan kesehatan, hingga menciptakan penderitaan kelaparan yang disengaja. 


Namun, di tengah semua penderitaan ini, ketangguhan mental generasi muda Gaza untuk mewujudkan mimpi-mimpinya sangatlah kuat. Mereka tetap giat belajar, mengukir prestasi, dan terus berjuang mempertahankan tanah tempat tinggalnya.


Sementara itu, di belahan bumi lain, ada fenomena Duck Syndrome yang sedang menjangkiti para mahasiswa dan pemuda. Mereka terlihat senang dan tenang di luar, padahal batinnya penuh dengan tekanan besar. Kondisi ini digambarkan pada mahasiswa Universitas Stanford, California, sebelum akhirnya diadopsi oleh banyak kampus di seluruh dunia. Sungguh disayangkan, karena kasus ini jarang sekali dibahas oleh banyak intelektual maupun influencer di Indonesia.

Perbedaan yang Mencolok

Kontras antara kedua kondisi ini sangat mencolok. Di tengah perang, anak-anak dan pemuda di Gaza tetap dididik untuk menjadi penjaga Masjid Al-Aqsha. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, mereka memiliki kemampuan untuk memberikan pelajaran dan melakukan diskusi. Pendidikan Qur’ani yang mereka terima membentuk generasi berkepribadian Islami yang kuat. Dalam kondisi genting dan darurat, mereka tetap menuntut ilmu, karena bagi mereka, perang bukanlah alasan untuk berhenti belajar. Bahkan, banyak di antara mereka yang menyelesaikan pendidikan tanpa didampingi orang tuanya karena telah syahid.


Lain halnya dengan apa yang dialami oleh para pemuda yang berada dalam tekanan sistem Kapitalisme saat ini. Mereka bukan berjuang dari trauma perang, melainkan berjuang mati-matian untuk tetap bertahan dengan tuntutan gaya hidup ala Sekuler-Kapitalisme. 

Gaya hidup ini mendorong mereka untuk terus hidup sesuai tren. Ditambah lagi dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) atau takut tertinggal, yang merambah di berbagai lini kehidupan seperti food, fashion, film, fun, dan masih banyak lagi bukti ghazwul fikr (perang pemikiran) lainnya. 

Lemahnya kondisi iman menjadikan generasi muda tidak memahami hakikat kehidupan, prioritas amal, dan rendahnya kesadaran politik. Sistem Sekuler-Kapitalis ini membuat kaum muda menjadi krisis multidimensi sehingga mereka tidak bisa menghadapi segala problematika kehidupannya seorang diri.

Solusi Tuntas Berlandaskan Akidah Islam

Jika seluruh kaum muslimin diibaratkan sebagai satu tubuh yang lengkap, maka Gaza adalah bagian dari tubuh kita yang sedang terkoyak penuh luka. Keadaannya membutuhkan kekuatan dan kesatuan seluruh kaum muslimin agar dapat mengakhiri perang dan mengembalikan kehidupan yang tenteram di bawah naungan Islam. Oleh karena itu, perlu perjuangan untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah. Perjuangan ini membutuhkan dukungan umat, termasuk para pemuda atau para mahasiswa muslim itu sendiri.


Ketangguhan mentalitas anak-anak Gaza harus menjadi inspirasi bagi mereka yang terjangkit fenomena Duck Syndrome. Ketangguhan mental itulah yang menjadi bukti nyata luhurnya sistem Islam dalam membina generasi. Dengan sistem ini, para pemuda-pemudi tidak lagi memiliki mental strawberry, yang visualnya elok nan eksotis tetapi sebenarnya rapuh saat berulang kali disentuh.


Memang bukan tugas yang mudah, terutama untuk memahamkan kembali hakikat identitas hakiki sebagai seorang muslimah yang mampu menjalankan seluruh dimensi kehidupannya. Mereka perlu disadarkan dari jebakan standar gaya hidup ala Sekuler-Kapitalisme yang justru menistakan martabat perempuan. Padahal, seharusnya mereka dapat menjadi muslimah berdaya yang mampu memperdayakan semua dimensi kehidupannya untuk cita-cita umat.


Ini bukan solusi tambal sulam, melainkan butuh solusi tuntas dengan asas Akidah Islam untuk menangani kasus ini, yang mencakup:


  1. Solusi individu: Berusaha untuk terus meluruskan tujuan hidup, membangun kepribadian Islam, memperbanyak ibadah dan taqarrub ilallah, mencari lingkungan positif, dan aktif berdakwah.
  2. Solusi masyarakat: Harus senantiasa aktif dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di mana pun dan kapan pun.
  3. Solusi negara: Harus menggunakan sistem dan hukum kepemerintahan yang berlandaskan Islam secara keseluruhan.


Tentunya, semua itu membutuhkan penyadaran politik sehingga timbul kebutuhan umat terhadap sistem kehidupan yang benar, yaitu sistem Islam, sebagai solusi krisis multidimensi, termasuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis.



Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts