SELAMAT DATANG DI RAGAM FORMULA

BERITA DARI RAGAM FORMULA

media berita dan edukasi terpercaya yang menginspirasi dan mencerdaskan umat

Kamis, 31 Juli 2025

Oleh: Rati Suharjo

(Pegiat Literasi)



Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah berkata, "Barangsiapa memiliki sebidang tanah lalu menelantarkannya selama tiga tahun tanpa mengolahnya, kemudian ada orang lain yang mengelolanya, maka orang yang mengelolanya itulah yang lebih berhak atas tanah tersebut." Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, tanah dipandang sebagai sumber daya bernilai yang harus digunakan secara produktif. Siapa pun yang mengelola tanah dengan baik berhak atas hasilnya, bahkan kepemilikannya. Prinsip ini menegaskan bahwa tanah merupakan titipan yang wajib dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Kebijakan Tanah Terlantar di Indonesia

Pandangan ini memiliki kemiripan dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia. Dalam rangka mendorong pemanfaatan tanah secara optimal, negara menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Berdasarkan aturan ini, negara berhak mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan bahwa ketentuan ini berlaku untuk seluruh jenis hak atas tanah, termasuk Hak Milik, HGU, HGB, HPL, maupun Hak Pakai (kompas.com, 18/7/2025).

Untuk mendukung kebijakan tersebut, tanah terlantar didefinisikan sebagai lahan yang sengaja tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara oleh pemegang haknya. Tujuan utama kebijakan ini adalah mencegah praktik spekulasi lahan, mempercepat pembangunan, dan mendukung kepentingan umum melalui pembangunan infrastruktur, reforma agraria, serta pengembangan ekonomi masyarakat. Secara teoritis, kebijakan ini tampak sebagai langkah strategis menuju keadilan agraria.

Realitas Praktik dan Perbedaan dengan Islam

Namun, dalam praktiknya, realitas sering kali tidak sejalan dengan idealisme kebijakan. Pengambilalihan tanah oleh negara kerap kali justru lebih menguntungkan korporasi dan kepentingan investasi, alih-alih berpihak pada masyarakat kecil. Banyak lahan dialihkan untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang justru menghilangkan akses masyarakat terhadap tanah garapan. Sementara itu, angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi, memperlihatkan bahwa manfaat kebijakan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat.

Di sinilah perbedaan mendasar dengan sistem Islam terlihat. Dalam Islam, pengelolaan tanah tidak hanya berbicara soal pemanfaatan, tetapi juga soal keadilan distribusi. Negara bertanggung jawab memastikan tanah benar-benar dikelola oleh mereka yang membutuhkan, bukan dikuasai oleh elite pemilik modal. Tanah tidak boleh menjadi objek spekulasi, melainkan harus menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

Peran Negara dalam Sistem Islam Kaffah

Prinsip ini hanya dapat dijalankan secara menyeluruh dalam sistem Islam kaffah yang diterapkan oleh Daulah Islamiyah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Pemimpin adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya" (HR Bukhari dan Ahmad). Dalam sistem kepemimpinan Islam, negara hadir sebagai pelayan umat, bukan penguasa atas mereka. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, serta akses terhadap sumber daya alam, termasuk tanah.

Jika pengelolaan tanah dilakukan berdasarkan prinsip keadilan dan keberpihakan pada rakyat, maka negeri ini tak hanya akan terbebas dari krisis pangan, tetapi juga berpotensi menjadi lumbung pangan dunia.

Wallahu a’lam bishshawab.


0 comments:

Posting Komentar

Categories

Labels

Tragedi Ponpes Al-Khoziny: Bukti Telanjang Abainya Negara terhadap Pendidikan

Oleh: Rati Suharjo   Pengamat Kebijakan Publik Bangsa ini kembali berduka. Pada 29 September 2025, langit Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, seo...

Popular Posts

Blog Archive